Jumat, 17 Februari 2017

Melejitkan Kembali Sekolah Katolik

Dalam sebuah dialog tentang sekolah Katolik yang digagas oleh Sumber Daya Rasuli (Sudara), kelompok kategorial yang membawahi para praktisi dan pemerhati Sumber Daya Manusia (SDM) Katolik, salah satu narasumbernya, Agung Adiprasetyo mengibaratkan sekolah Katolik itu seperti bemo. Agung Adiprasetyo mantan Direktur Utama Kelompok Kompas Gramedia yang kebetulan sejak TK hingga perguruan tinggi bersekolah di yayasan Katolik, menuturkan dulu ketika ia sekolah, sekolah Katolik merupakan kendaraan paling bersinar di zamannya. Ia mengibaratkan sekolah Katolik itu semacam bemo, kendaraan yang modern, cepat, sesuai dengan zamannya dan “mewah”. Sementara sekolah-sekolah lainnya tak lebih semacam sepeda atau becak. Posisinya di bawah sekolah Katolik.

Menjadi keprihatinan, para pengelola sekolah Katolik itu begitu bangga dengan bemonya. Zaman bergerak, terjadi perubahan dimana-mana. Becak ditinggalkan dan sepeda tak lebih dari “klangenan”. Kendaraan aneka macam ditawarkan kepada konsumen. Mereka tinggal memilih dari mobil paling mewah, motor multifungsi hingga kendaraan yang sifatnya personal. Bagaimana dengan bemo? Tua, kusam, dan meraung-raung di jalanan. Bemo tertinggal zaman.

Itulah mayoritas sekolah Katolik pada hari ini. Sekolah Katolik bangga dengan masa lalu. Lupa berbenah untuk menyambut aneka perubahan. Sekolah Katolik tergagap-gagap untuk bersaing dengan sekolah lainnya, tak peduli dengan yang negeri ataupun swasta. Sekolah Katolik bukan sekolah “kaum elit” seperti dulu, menjadi rujukan utama para penguasa, pengusaha, ekspatriat, duta besar negara sahabat, dan kaum elit lainnya. Pun sekolah Katolik bukan menjadi rujukan “kaum bawah” seperti didengung-dengungkan ajaran Gereja “option for the poor”. Kaum ini memilih sekolah negeri yang dari sisi kurikulum sama dengan sekolah Katolik dan gratis. Alhasil sekolah Katolik menjadi medioker.


Melejitkan kembali sekolah Katolik bukan perkara mudah. Namun bukan pula pekerjaan yang mustahil. Kedigdayaan masa lalu menjadi bekal nan melimpah. Plus pandangan umum yang menancap kuat bahwa sekolah Katolik unggul dalam pembentukan karakter para murid, menjadi modal utama untuk bergerak maju. Hanya diperlukan perubahan pola pikir dari para pemangku kepentingan sekolah Katolik, baik itu dari sisi hierarki maupun awam. Pernyataan yang menyebut bahwa tugas Gereja untuk mencerdaskan bangsa sudah selesai karena peran pemerintah sudah optimal, sehingga Gereja tidak perlu lagi memperkuat sekolah Katolik, layak dihentikan. Ini tak lebih pola pikir orang kalah ketimbang menjawab tantangan zaman.

Enam Bidang
Sudara bersama Vox Institute, kelompok pelaku dan pemerhati politik Katolik lintas partai, mendesain gagasan besar untuk melejitkan kembali sekolah Katolik. Untuk melejitkan kembali sekolah Katolik perlu dibentuk lembaga baru berbadan hukum. Lembaga ini bisa di bawah koordinasi Konferensi Waligereja Indonesia atau Keuskupan seperti selama ini sudah terjadi. Bisa pula berdiri sendiri. Tugas dari lembaga ini (untuk memudahkan disebut saja Lembaga Sekolah Katolik/ LSK) mengawal enam bidang besar.

Pertama, kemitraan. LSK menjadi kaki tangan dari sekolah Katolik yang bergabung di dalamnya untuk melakukan kerjasama dengan pihak luar. Ada tujuh kelompok yang menjadi sasaran utama kemitraan, yaitu eksekutif, legislatif, perguruan tinggi (negeri maupun swasta), LSM (dalam dan luar negeri), perusahaan (multinasional dan nasional), sekolah di luar negeri (milik yayasan Katolik dan non Katolik) dan sekolah dalam negeri (misal dengan Penabur, Pelita Harapan, Al Azhar).

Dari sisi eksekutif, tampak bahwa mayoritas sekolah Katolik kedodoran dalam bermitra dengan mereka. Padahal Kemendikbud, Kemenpora, Kemenag dan berbagai kementerian lainnya memiliki sumber daya material dan non material yang bisa dioptimalkan untuk diajak bermitra tanpa harus meninggalkan sisi idealisme sekolah Katolik. LSK ini bisa berperan menjadi jembatan untuk mempertemukan sekolah Katolik dengan lembaga eksekutif untuk melakukan kemitraan yang produktif.

Kedua, administrasi dan proses data. Tingkat persaingan antarsekolah begitu ketat. Ada kasus beberapa sekolah Katolik kebanyakan murid, sementara banyak yang lain justru kekurangan murid. Kasus lain antarsekolah Katolik juga bersaing karena lokasi berdekatan. Salah satu fokus LSK dalam kaitannya dengan administrasi dan proses data adalah sistem penerimaan siswa baru yang terkoneksi antarsekolah Katolik. Jadi dengan mengunjungi jejaring sekolah Katolik di dunia maya, semua info tentang penerimaan siswa baru dapat diakses dengan mudah oleh para calon murid.

Kaitan lainnya dalam administrasi dan proses data adalah LSK menjadi sumber dalam pembuatan surat, proposal dan sejenisnya untuk berhubungan dengan pihak lain. Misal berhubungan dengan pihak eksekutif menyoal tentang Bantuan Operasional Sekolah (BOS), hibah maupun bentuk bantuan lainnya, LSK membantu sekolah Katolik mulai perencanaan, pembuatan proposal hingga presentasi ke pihak eksekutif. Pun semisal BOS dan sejenisnya itu diterima sekolah Katolik, LSK bisa mengawal sampai proses pelaporan paska penggunaan BOS.

Ketiga, standar nasional pendidikan Katolik. Salah satu keunggulan sekolah Katolik pada masa lalu adalah memiliki standar pendidikan sendiri tanpa harus bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Standar pendidikan sekolah Katolik mampu menjawab tantangan zaman, bahkan melampaui zamannya. Standar pendidikan sekolah Katolik menjadi rujukan sekolah-sekolah lainnya. Hal ini yang sekarang justru pudar. Standar pendidikan sekolah Katolik sebangun dengan sekolah lainnya. Bahkan tertinggal dengan sekolah-sekolah lainnya yang hari ini disebut “sekolah unggulan”.

LSK menawarkan gagasan untuk bersama-sama membuat standar pendidikan sekolah Katolik yang unggul, modern dan “berbeda namun aplikatif”. Standar pendidikan ini mulai dari isi kurikulum, proses pendidikan, kompetensi lulusan, sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga pendidikan, pengelolaan hingga pembiayaan. Tak bisa dipungkiri bahwa setiap yayasan pengelola sekolah Katolik memiliki kekhasannya sendiri. Pun situasi sekolah di kota, pinggiran, dan pedesaan juga berbeda. Namun sinergi antarsekolah Katolik dari berbagai yayasan dan pengelolaan ini bisa menghasilkan standar pendidikan sekolah Katolik seperti dulu pernah menjadi daya pikat sekolah Katolik.

Keempat, penggalangan dana. Tak dapat dipungkiri bahwa organisasi apapun bentuknya hanya bisa berjalan lancar apabila ada uang untuk menggerakkannya. Pun dengan sekolah Katolik. Sumber pembiayaan dari uang sumbangan siswa hanya bisa dilakukan pada sebagian sekolah Katolik yang memang mematok tinggi. Sementara sebagian sekolah Katolik hidup dari subsidi yayasan (tarekatnya). Ketika sekolah Katolik saling bersinergi, LSK dapat berperan sebagai garda depan dalam penggalangan dana dari pihak luar.

Ada banyak sumber penggalangan dana ini, bisa dari pemerintah yang memang memiliki anggaran, tanggung jawab sosial perusahaan, donasi masyarakat, kegiatan penggalangan dana hingga bantuan dari luar negeri. Mengoptimalkan penggalangan dana dari berbagai macam sumber ini akan menjadikan sekolah Katolik memiliki dana untuk berinventasi pada pengembangan sekolah.

Kelima, manajemen SDM. Sekolah-sekolah non Katolik yang sekarang disebut “maju” dan “unggulan” pada dasarnya meniru sekolah Katolik pada masa lalu dengan berbagai modifikasi disesuaikan kebutuhan zaman. Salah satunya menyoal SDM, baik pendidik dan pengelola sekolah. Sekolah “maju” dan “unggulan” itu percaya bahwa SDM yang terampil merupakan aset utama sekolah. Karena itu, mengembangkan SDM menjadi sebuah kewajiban untuk berselancar mengarungi gelombang perubahan pendidikan.

Manajemen SDM dalam gagasan LPK seperti layaknya dalam perusahaan, dimulai dari proses rekrutmen, pelatihan, dan pengembangan, karir hingga pensiun. Ketika sekolah Katolik saling bersinergi, maka manajemen SDM ini akan menjadi mudah dan murah.

Keenam, manajemen pengadaan dan pembelian. Ketika pengadaan dan pembelian dikelola oleh LPK maka sekolah-sekolah Katolik akan memiliki posisi tawar-menawar tinggi terhadap pemasok.

Apabila satu yayasan saja membeli perangkat komputer, maka pembelian itu tak lebih dari puluhan unit. Namun apabila bersinergi maka pembelian perangkat komputer ini akan berjumlah ratusan. Membeli puluhan dibanding ratusan unit tentu posisi tawarnya akan berbeda. Contoh seperti itu salah satu keuntungan dalam manajemen pengadaan dan pembelian.

Melihat enam tugas utama yang akan dikerjakan oleh LPK, pertanyaan kritis kemudian muncul.

Apakah lembaga ini akan menjadi super body yang memiliki otoritas dan kekuasaan yang sangat besar? Tidak. LPK tak lebih semacam koordinator untuk mengelola enam bidang yang merupakan kebutuhan pokok sekolah Katolik untuk melejit kembali. LPK menjadi dirigen untuk mengelola orkestrasi kebutuhan dari berbagai sekolah Katolik. (Indra Charismiadji, A A.M. Lilik Agung/ Sumber Tulisan: Majalah HIDUP Edisi 3 Tanggal 15 Januari 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin