Jumat, 17 Februari 2017

Agama dan Integrasi Sosial

Foto: www.hidupkatolik.com/
Akhir-akhir ini, citra kita sebagai bangsa plural sedang tercoreng. Hal ini terjadi karena munculnya gerakan-gerakan distortif yang mengganggu stabilitas. Keyakinan dan pegangan kelompok tertentu “dipaksa” untuk menjadi acuan kolektif. Dampaknya, masyarakat terpolarisasi ke dalam “segmen kelompok” tertentu. Persoalannya adalah kita merupakan bangsa majemuk. Di sini, hukum positiflah yang mestinya menjadi rujukan dalam menjalankan kehidupan bersama. Saya percaya, hukum positif dapat menjadi instrumen efektif untuk mengelola kehidupan bersama sehingga Pancasila bukan hanya menjadi das Sollen (norma/pedoman), tetapi juga das Sein (praktik dalam keseharian)

Hukum positif memang tidak berorientasi homogenisasi, tetapi lebih sebagai sarana yang disiapkan agar aspek-aspek heterogen tidak menjadi ancaman bagi stabilitas sosial. Hukum justru bertujuan agar suku, etnis, agama, budaya, dan alam menjadi pilar-pilar yang memajukan bangsa dan bukan sebaliknya sebagai unsur yang menciptakan disintegrasi. Namun apa yang telah digambarkan di awal ulasan ini menjadi “pukulan telak” bagi kebersamaan kita sebagai bangsa plural. Kelompok tertentu berusaha untuk menabrak hukum dan mengabaikan Pancasila.

Kalau ditelusuri, harus diakui bahwa agama seringkali menjadi aktor antagonis yang menyebabkan adanya kondisi seperti itu. Agama terjerat dalam agenda setting fragmentaris. Memang, agama memiliki dimensi sosio-politik. Konsekuensinya, agama selalu ada di tengah konstelasi politik.


Karenanya, persoalan-persoalan sosial-politik mesti direfleksikan sebagai “persoalan” agama juga. Itu berarti grand desain ajaran agama mesti mengakomodasi persoalan-persoalan tersebut, lalu dijabarkan dalam agenda iman berdimensi pluralistis. Hal tersebut bukan berarti agama tidak “indepeden”. Agama justru semakin orisinal dan independen jika ditafsir selaras nalar politik/ demokrasi. Praksis kebernegaraan tidak mesti kontras dengan keyakinan/tindakan keagamaan. Hal inilah yang secara implisit ditegaskan Yesus: “Berikanlah kepada kaisar, apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah” (Mat 22:21). Jawaban itu memperlihatkan relasi saling mempengaruhi antara agama dan negara (Budi Kleden, 2003).

Karena itu, agama perlu kembali kepada fitrahnya dan menyumbang pikiran serta agenda bagi terpeliharanya demokrasi yang berhakikat pluralis. Kajian dan tafsiran terhadap ajaran agama mesti mengafirmasi kemajemukan. Agama harus mendobrak cara berpikir radikal yang mengobrak-abrik esensi kebinekaan menjadi hancur berkeping-keping. Agama perlu mewaspadai jebakan politik yang berpotensi melahirkan disintegrasi sosial. Prinsipnya agama harus memperkuat integrasi sosial lewat “maklumat-maklumat”-nya. Diktum keagamaan mesti membuka diskursus yang memperdalam cakrawala kebinekaan.

Otokritik dan Literasi
Terhadap “keterlibatan” agama dalam melahirkan distorsi dan disintegrasi, agama perlu “bertobat”. Agama harus menginventarisasi “kesalahan-kesalahannya” dan melakukan revitalisasi. Karena itu, “kekhilafan-kekhilafan” agama mesti menjadi otokritik yang perlu dijadikan rujukan refleksi agar ke depannya tidak lagi menjadi aktor antagonis yang turut menyumbang lahirnya potensi disintegrasi. Agama mesti direposisi agar benar-benar menjadi matra sakral. Di tengah perhelatan politik nasional, otonomi agama amat dibutuhkan agar terus merestorasi kehancuran demokrasi akibat praksis-praksis disintegrasi. Di sini, agama mesti tampil sebagai “alat penyelamatan semua orang” (Lumen Gentium (LG) art.9) dan “sakramen keselamatan bagi semua orang” (LG art.48).

Sebagai tindak lanjutnya, gerakan literasi kemajemukan mesti diakomodasi dan dikontekstualisasikan ke dalam ajaran-ajaran agama dan ajakan-ajakan tokoh agama. Untuk agama Katolik misalnya, altar suci, Komunitas Basis Gerejani dan berbagai kelompok kategorial/rohani lainnya mesti menjadi elemen penting bagi kegiatan literasi tersebut. Kita harus secara masif menyebarluaskan paham kebinekaan agar umat Allah menginternalisasinya dan menjabarkan dalam keseharian hidup. Dengan begitu, agama memiliki andil dalam menguatkan integrasi sosial. (Inosentius Mansur/ Sumber Tulisan: Majalah HIDUP Edisi 3 Tanggal 15 Januari 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin