Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar, dalam
sambutannya menegaskan bahwa PKB dan Nahdlatul Ulama (NU) hadir sebagai solusi
di tengah masyarakat yang dilanda ketakutan akibat narasi keagamaan yang menyimpang.
“Islam tidak menyeramkan,” tegasnya. “Islam itu menyejukkan, menyejahterakan,
dan menentramkan.”
Sebagai umat Katolik dan aktivis kerasulan awam, saya melihat sosok Gus Dur
sebagai teladan lintas iman. Ia bukan hanya pemimpin Muslim, tetapi juga
pelindung bagi semua golongan. Ia menyelamatkan siapa pun yang terancam, bahkan
preman yang nyaris mati karena konflik. Ia tidak bertanya agama, suku, atau
latar belakang. Ia hanya bertanya satu hal: “Apakah kamu manusia?”
Inilah kepemimpinan yang berakar pada nilai-nilai Injil: kasih tanpa syarat,
keberpihakan pada yang lemah, dan keberanian untuk berdiri di tengah badai demi
kebenaran. Dalam terang ajaran sosial Gereja Katolik, Gus Dur adalah contoh
nyata dari seorang pemimpin yang menjadikan iman sebagai sumber inspirasi,
bukan alat kekuasaan.
Muhaimin menyadari bahwa belum semua kader PKB memahami cara Gus Dur
memimpin. Maka, sekolah ini bukan sekadar pelatihan politik, tetapi pembentukan
karakter. Para peserta diuji bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam pemahaman
mendalam tentang ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, dan persatuan—nilai-nilai
yang menjadi fondasi kepemimpinan Gus Dur.
Kehadiran tokoh lintas bidang seperti Luhut Binsar Panjaitan, Ignas Kleden,
dan Siane Indrawati menunjukkan bahwa sekolah ini bukan ruang eksklusif, tetapi
ruang dialog. Di sinilah benih-benih toleransi ditanam, bukan dalam
seminar-seminar elitis, tetapi dalam perjumpaan nyata antar anak bangsa.
Sebagai bagian dari kerasulan awam, kita dipanggil untuk hadir di ruang
publik sebagai pembawa damai. Kita tidak bisa hanya berkutat di altar dan ruang
doa. Kita harus hadir di parlemen, di ruang kelas, di media, dan di
jalanan—menjadi suara bagi yang tak bersuara, menjadi cahaya di tengah
kegelapan intoleransi.
Sekolah Kepemimpinan Gus Dur adalah contoh konkret bagaimana nilai-nilai
iman bisa diterjemahkan dalam kebijakan publik. Kita butuh lebih banyak ruang
seperti ini, di mana politik tidak menjadi alat perpecahan, tetapi sarana
pelayanan.
Gus Dur pernah berkata, “Tidak penting apa agamamu, yang penting adalah
apakah kamu bisa berbuat baik kepada sesamamu.” Kalimat ini sejalan dengan
semangat Injil: kasih kepada sesama adalah hukum yang utama.
Maka, mari kita jadikan politik sebagai medan kerasulan. Mari kita warisi
semangat Gus Dur—bukan hanya dalam kata, tetapi dalam tindakan. Karena pada
akhirnya, mewartakan kasih Allah berarti membela kemanusiaan, memperjuangkan
keadilan, dan menjaga kebinekaan.
Oleh: Darius
Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#kerasulanawam
#gusduruntuksemua #islammenyejukkan #gerejauntuktoleransi
#kepemimpinanberbasisnilai #gerejakatolikindonesia #cintaallahuntukdunia
#sekolahkepemimpinangusdur #imandankebangsaan #pluralismeadalahberkat

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin