Senin, 27 Maret 2017

“Mewarisi Spirit Gus Dur; Kepemimpinan yang Menyejukkan di Tengah Arus Radikalisme”

JAKARTA
- Di tengah gelombang radikalisme dan ekstremisme yang mengancam sendi-sendi kebangsaan, suara yang menyejukkan kembali menggema dari jantung ibu kota. Di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, pada Minggu 26 Maret 2017, digelar “Sekolah Kepemimpinan Gus Dur”—sebuah inisiatif yang bukan hanya mengenang warisan pemikiran Abdurrahman Wahid, tetapi juga menanamkan nilai-nilai pluralisme, kemanusiaan, dan keadilan kepada generasi pemimpin masa depan.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar, dalam sambutannya menegaskan bahwa PKB dan Nahdlatul Ulama (NU) hadir sebagai solusi di tengah masyarakat yang dilanda ketakutan akibat narasi keagamaan yang menyimpang. “Islam tidak menyeramkan,” tegasnya. “Islam itu menyejukkan, menyejahterakan, dan menentramkan.”

Sebagai umat Katolik dan aktivis kerasulan awam, saya melihat sosok Gus Dur sebagai teladan lintas iman. Ia bukan hanya pemimpin Muslim, tetapi juga pelindung bagi semua golongan. Ia menyelamatkan siapa pun yang terancam, bahkan preman yang nyaris mati karena konflik. Ia tidak bertanya agama, suku, atau latar belakang. Ia hanya bertanya satu hal: “Apakah kamu manusia?”

Inilah kepemimpinan yang berakar pada nilai-nilai Injil: kasih tanpa syarat, keberpihakan pada yang lemah, dan keberanian untuk berdiri di tengah badai demi kebenaran. Dalam terang ajaran sosial Gereja Katolik, Gus Dur adalah contoh nyata dari seorang pemimpin yang menjadikan iman sebagai sumber inspirasi, bukan alat kekuasaan.

Muhaimin menyadari bahwa belum semua kader PKB memahami cara Gus Dur memimpin. Maka, sekolah ini bukan sekadar pelatihan politik, tetapi pembentukan karakter. Para peserta diuji bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam pemahaman mendalam tentang ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, dan persatuan—nilai-nilai yang menjadi fondasi kepemimpinan Gus Dur.

Kehadiran tokoh lintas bidang seperti Luhut Binsar Panjaitan, Ignas Kleden, dan Siane Indrawati menunjukkan bahwa sekolah ini bukan ruang eksklusif, tetapi ruang dialog. Di sinilah benih-benih toleransi ditanam, bukan dalam seminar-seminar elitis, tetapi dalam perjumpaan nyata antar anak bangsa.

Sebagai bagian dari kerasulan awam, kita dipanggil untuk hadir di ruang publik sebagai pembawa damai. Kita tidak bisa hanya berkutat di altar dan ruang doa. Kita harus hadir di parlemen, di ruang kelas, di media, dan di jalanan—menjadi suara bagi yang tak bersuara, menjadi cahaya di tengah kegelapan intoleransi.

Sekolah Kepemimpinan Gus Dur adalah contoh konkret bagaimana nilai-nilai iman bisa diterjemahkan dalam kebijakan publik. Kita butuh lebih banyak ruang seperti ini, di mana politik tidak menjadi alat perpecahan, tetapi sarana pelayanan.

Gus Dur pernah berkata, “Tidak penting apa agamamu, yang penting adalah apakah kamu bisa berbuat baik kepada sesamamu.” Kalimat ini sejalan dengan semangat Injil: kasih kepada sesama adalah hukum yang utama.

Maka, mari kita jadikan politik sebagai medan kerasulan. Mari kita warisi semangat Gus Dur—bukan hanya dalam kata, tetapi dalam tindakan. Karena pada akhirnya, mewartakan kasih Allah berarti membela kemanusiaan, memperjuangkan keadilan, dan menjaga kebinekaan.

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

 

#kerasulanawam #gusduruntuksemua #islammenyejukkan #gerejauntuktoleransi #kepemimpinanberbasisnilai #gerejakatolikindonesia #cintaallahuntukdunia #sekolahkepemimpinangusdur #imandankebangsaan #pluralismeadalahberkat #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin