Senin, 27 Maret 2017

“Catur Brata dan Cinta Tanah Air; Belajar Toleransi dari Heningnya Nyepi”

JAKARTA
- Di pelataran megah Candi Prambanan, pada Senin 27 Maret 2017, ribuan umat Hindu berkumpul dalam suasana sakral. Upacara Tawur Agung Kesanga digelar, menandai dimulainya rangkaian Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1939. Namun yang lebih menggugah dari prosesi itu bukan hanya keindahan ritualnya, melainkan pesan yang mengalir dari podium: “Catur Brata Penyepian Memperkuat Toleransi Kebhinekaan Berbangsa dan Bernegara Demi Keutuhan NKRI.”

Pesan ini disampaikan langsung oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang hadir mewakili Presiden Joko Widodo. Dalam suasana yang penuh makna, beliau menegaskan bahwa Nyepi bukan hanya perayaan keagamaan, tetapi juga momentum kebangsaan.

Catur Brata Penyepian—amati geni, amati karya, amati lelungan, dan amati lelanguan—adalah latihan spiritual yang mendalam. Ia mengajak umat Hindu untuk menahan diri dari segala bentuk aktivitas duniawi, demi menyelami keheningan batin dan menyucikan diri. Namun, lebih dari itu, Nyepi adalah panggilan untuk menyelaraskan diri dengan alam, sesama, dan Sang Pencipta.

Menteri Lukman menyebut upacara Tawur Agung sebagai sarana memahami diri. “Layaknya ulat menjadi kepompong dan kupu-kupu yang indah,” katanya. Sebuah metafora yang menyentuh: bahwa manusia, melalui refleksi dan pengendalian diri, dapat terlahir kembali sebagai pribadi yang lebih luhur.

Sebagai aktivis kerasulan awam Katolik, saya melihat bahwa pesan Nyepi tahun ini sangat relevan dengan tantangan bangsa. Di tengah maraknya intoleransi, ujaran kebencian, dan polarisasi sosial, kita butuh lebih banyak ruang hening untuk merenung. Kita butuh lebih banyak “Nyepi” dalam kehidupan publik kita.

Semboyan Bhineka Tunggal Ika bukan sekadar slogan. Ia adalah janji luhur bangsa ini untuk hidup dalam keberagaman. Namun, janji itu kini diuji. Maka, seperti harapan Menteri Lukman, tema besar Nyepi harus menjadi “buku manual” untuk mewujudkan kerukunan umat beragama.

Gereja Katolik, melalui ajaran sosialnya, menegaskan pentingnya dialog antaragama dan kerja sama lintas iman. Dalam dokumen Nostra Aetate, Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Gereja menghormati segala yang benar dan suci dalam agama-agama lain. Maka, merayakan Nyepi bersama saudara-saudari Hindu bukanlah bentuk kompromi iman, tetapi ekspresi solidaritas dan cinta kasih.

Kerasulan awam dipanggil untuk hadir di tengah masyarakat sebagai jembatan damai. Kita harus menjadi pelaku dialog, penjaga toleransi, dan penggerak rekonsiliasi. Dalam konteks ini, menghadiri upacara seperti Tawur Agung Kesanga bukan hanya bentuk penghormatan, tetapi juga perwujudan iman yang hidup.

Tawur Agung juga mengandung pesan ekologis yang kuat. Ia adalah upaya menyucikan alam, menjaga keseimbangan kosmis, dan mengingatkan manusia akan tanggung jawabnya terhadap bumi. Dalam terang ensiklik Laudato Si’, Paus Fransiskus menyerukan pertobatan ekologis sebagai bagian dari iman Kristiani. Maka, semangat Nyepi sejalan dengan panggilan Gereja untuk merawat rumah bersama.

Dari pelataran Candi Prambanan, pesan damai dan toleransi menggema ke seluruh penjuru negeri. Kita diajak untuk tidak hanya menghormati perbedaan, tetapi juga merayakannya. Kita diajak untuk tidak hanya hidup berdampingan, tetapi juga saling menguatkan.

Sebagaimana umat Hindu memulai tahun baru dengan refleksi dan penyucian diri, kita semua, apapun agama kita, bisa menjadikan momen ini sebagai titik tolak untuk memperbarui komitmen kita pada persaudaraan, keadilan, dan perdamaian.

Karena pada akhirnya, seperti yang diucapkan dalam mantra penutup umat Hindu:
Om Santhi, Santhi, Santhi.
Damai di hati. Damai di dunia. Damai selamanya.

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

 

#kerasulanawam #gerejauntuktoleransi #nyepi1939 #caturbratapenyepian #omsanthisanthisanthi #gerejakatolikindonesia #imandankebangsaan #toleransilintasiman #cintaallahuntuksemua #damaisebagaigayahidup #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin