Pesan ini disampaikan langsung oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin,
yang hadir mewakili Presiden Joko Widodo. Dalam suasana yang penuh makna,
beliau menegaskan bahwa Nyepi bukan hanya perayaan keagamaan, tetapi juga
momentum kebangsaan.
Catur Brata Penyepian—amati geni, amati karya, amati lelungan, dan amati
lelanguan—adalah latihan spiritual yang mendalam. Ia mengajak umat Hindu untuk
menahan diri dari segala bentuk aktivitas duniawi, demi menyelami keheningan
batin dan menyucikan diri. Namun, lebih dari itu, Nyepi adalah panggilan untuk
menyelaraskan diri dengan alam, sesama, dan Sang Pencipta.
Menteri Lukman menyebut upacara Tawur Agung sebagai sarana memahami diri.
“Layaknya ulat menjadi kepompong dan kupu-kupu yang indah,” katanya. Sebuah
metafora yang menyentuh: bahwa manusia, melalui refleksi dan pengendalian diri,
dapat terlahir kembali sebagai pribadi yang lebih luhur.
Sebagai aktivis kerasulan awam Katolik, saya melihat bahwa pesan Nyepi tahun
ini sangat relevan dengan tantangan bangsa. Di tengah maraknya intoleransi,
ujaran kebencian, dan polarisasi sosial, kita butuh lebih banyak ruang hening
untuk merenung. Kita butuh lebih banyak “Nyepi” dalam kehidupan publik kita.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika bukan sekadar slogan. Ia adalah janji luhur
bangsa ini untuk hidup dalam keberagaman. Namun, janji itu kini diuji. Maka,
seperti harapan Menteri Lukman, tema besar Nyepi harus menjadi “buku manual”
untuk mewujudkan kerukunan umat beragama.
Gereja Katolik, melalui ajaran sosialnya, menegaskan pentingnya dialog
antaragama dan kerja sama lintas iman. Dalam dokumen Nostra Aetate,
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Gereja menghormati segala yang benar dan
suci dalam agama-agama lain. Maka, merayakan Nyepi bersama saudara-saudari
Hindu bukanlah bentuk kompromi iman, tetapi ekspresi solidaritas dan cinta
kasih.
Kerasulan awam dipanggil untuk hadir di tengah masyarakat sebagai jembatan
damai. Kita harus menjadi pelaku dialog, penjaga toleransi, dan penggerak
rekonsiliasi. Dalam konteks ini, menghadiri upacara seperti Tawur Agung Kesanga
bukan hanya bentuk penghormatan, tetapi juga perwujudan iman yang hidup.
Tawur Agung juga mengandung pesan ekologis yang kuat. Ia adalah upaya
menyucikan alam, menjaga keseimbangan kosmis, dan mengingatkan manusia akan
tanggung jawabnya terhadap bumi. Dalam terang ensiklik Laudato Si’,
Paus Fransiskus menyerukan pertobatan ekologis sebagai bagian dari iman
Kristiani. Maka, semangat Nyepi sejalan dengan panggilan Gereja untuk merawat
rumah bersama.
Dari pelataran Candi Prambanan, pesan damai dan toleransi menggema ke
seluruh penjuru negeri. Kita diajak untuk tidak hanya menghormati perbedaan,
tetapi juga merayakannya. Kita diajak untuk tidak hanya hidup berdampingan,
tetapi juga saling menguatkan.
Sebagaimana umat Hindu memulai tahun baru dengan refleksi dan penyucian
diri, kita semua, apapun agama kita, bisa menjadikan momen ini sebagai titik
tolak untuk memperbarui komitmen kita pada persaudaraan, keadilan, dan
perdamaian.
Karena pada akhirnya, seperti yang diucapkan dalam mantra penutup umat
Hindu:
Om Santhi, Santhi, Santhi.
Damai di hati. Damai di dunia. Damai selamanya.
Oleh: Darius
Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#kerasulanawam
#gerejauntuktoleransi #nyepi1939 #caturbratapenyepian #omsanthisanthisanthi
#gerejakatolikindonesia #imandankebangsaan #toleransilintasiman
#cintaallahuntuksemua #damaisebagaigayahidup

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin