Empat larangan utama dalam Catur Brata Penyepian—amati geni (tidak
menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian),
dan amati lelanguan (tidak bersenang-senang)—bukan sekadar pantangan ritual. Ia
adalah latihan pengendalian diri, puasa dari ego, dan pembelajaran akan makna
hidup yang lebih dalam.
Dalam keheningan total, umat Hindu diajak untuk menyelami batin, menutup
buku kehidupan selama setahun, dan membuka lembar baru dengan kesadaran
spiritual yang diperbarui. Di sinilah letak paradoks Nyepi: dalam kesendirian,
kita justru menemukan makna kebersamaan; dalam keheningan, kita mendengar suara
nurani; dalam ketiadaan aktivitas, kita menemukan makna sejati dari hidup yang
penuh makna.
Sebagai umat Katolik dan bagian dari kerasulan awam, saya melihat Nyepi
bukan sebagai milik eksklusif umat Hindu, tetapi sebagai warisan spiritual
bangsa yang patut kita renungkan bersama. Dalam terang ajaran Katolik,
keheningan adalah ruang perjumpaan dengan Allah. Santo Yohanes dari Salib
menyebutnya sebagai “malam gelap jiwa” yang justru menjadi jalan menuju terang
kasih Tuhan.
Dalam masa Prapaskah, ketika kita diajak untuk berpantang dan berpuasa,
semangat Nyepi menjadi sangat relevan. Kita diajak untuk menahan diri,
menanggalkan kesenangan duniawi, dan membuka hati bagi sesama. Di tengah dunia
yang penuh kebisingan, kita butuh hening untuk mendengar suara Tuhan dan
jeritan sesama.
Namun, di luar ruang batin yang hening, kita menyaksikan dunia yang gaduh.
Kebencian merajalela, baik di dunia nyata maupun maya. Perbedaan agama, suku,
dan pilihan politik kerap dijadikan bahan bakar konflik. Kita menyaksikan
bagaimana “bigotisme”—fanatisme buta terhadap kelompok sendiri—merusak jalinan
persaudaraan kebangsaan.
Kita lupa bahwa musuh kita bukanlah umat beragama lain, melainkan korupsi,
kemiskinan, dan kebodohan. Kita lupa bahwa Pancasila dan UUD 1945 bukan sekadar
dokumen, tetapi kompas moral dan sosial yang menuntun kita hidup dalam damai
dan keadilan.
Dalam konteks ini, kerasulan awam memiliki peran strategis. Kita dipanggil
untuk menjadi jembatan antariman, bukan tembok pemisah. Kita harus hadir di
ruang publik sebagai pembawa damai, pelaku dialog, dan penjaga kebinekaan. Kita
harus berani menolak narasi kebencian, dan menggantinya dengan narasi kasih dan
pengharapan.
Sebagaimana umat Hindu memulai Nyepi dengan Makiyis dan Tawur Agung untuk
membersihkan diri dan mengusir kekuatan jahat, kita pun perlu membersihkan hati
dari prasangka, dan mengusir kebencian dari ruang batin dan sosial kita. Kita
perlu Dharma Santi—rekonsiliasi dan saling memaafkan—sebagai budaya lintas
iman.
Pesan penutup umat Hindu dalam setiap doa mereka adalah “Om Santhi, Santhi,
Santhi”—damai di hati, damai di dunia, damai selamanya. Pesan ini bukan hanya
milik satu agama, tetapi milik seluruh umat manusia.
Mari kita jadikan damai sebagai gaya hidup. Mari kita rayakan perbedaan
sebagai anugerah, bukan ancaman. Mari kita belajar dari Nyepi, bahwa dalam
keheningan, kita bisa menemukan kembali kemanusiaan kita.
Selamat Hari Raya Nyepi dan Tahun Baru Saka 1939. Semoga damai dan kasih
Allah senantiasa menyertai kita semua.
Oleh: Darius
Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#kerasulanawam
#gerejauntukdamai #nyepi1939 #omsanthisanthisanthi #caturbratapenyepian
#imandantoleransi #gerejakatolikindonesia #prapaskahdannyepi #damaisebagaigayahidup
#cintaallahuntuksemua

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin