Senin, 27 Maret 2017

“Nyepi dan Cermin Damai; Saatnya Kita Belajar dari Hening”

BALI
- Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota yang tak pernah tidur, ada satu hari dalam setahun ketika keheningan menjadi hukum, dan kesunyian menjadi ibadah. Hari itu adalah Nyepi—hari raya umat Hindu yang sejak 1984 ditetapkan sebagai hari libur nasional. Namun, lebih dari sekadar libur, Nyepi adalah perayaan spiritual yang sarat makna, dan bagi kita semua, lintas iman, ia adalah undangan untuk merenung, berdamai, dan kembali pada jati diri kemanusiaan.

Empat larangan utama dalam Catur Brata Penyepian—amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak bersenang-senang)—bukan sekadar pantangan ritual. Ia adalah latihan pengendalian diri, puasa dari ego, dan pembelajaran akan makna hidup yang lebih dalam.

Dalam keheningan total, umat Hindu diajak untuk menyelami batin, menutup buku kehidupan selama setahun, dan membuka lembar baru dengan kesadaran spiritual yang diperbarui. Di sinilah letak paradoks Nyepi: dalam kesendirian, kita justru menemukan makna kebersamaan; dalam keheningan, kita mendengar suara nurani; dalam ketiadaan aktivitas, kita menemukan makna sejati dari hidup yang penuh makna.

Sebagai umat Katolik dan bagian dari kerasulan awam, saya melihat Nyepi bukan sebagai milik eksklusif umat Hindu, tetapi sebagai warisan spiritual bangsa yang patut kita renungkan bersama. Dalam terang ajaran Katolik, keheningan adalah ruang perjumpaan dengan Allah. Santo Yohanes dari Salib menyebutnya sebagai “malam gelap jiwa” yang justru menjadi jalan menuju terang kasih Tuhan.

Dalam masa Prapaskah, ketika kita diajak untuk berpantang dan berpuasa, semangat Nyepi menjadi sangat relevan. Kita diajak untuk menahan diri, menanggalkan kesenangan duniawi, dan membuka hati bagi sesama. Di tengah dunia yang penuh kebisingan, kita butuh hening untuk mendengar suara Tuhan dan jeritan sesama.

Namun, di luar ruang batin yang hening, kita menyaksikan dunia yang gaduh. Kebencian merajalela, baik di dunia nyata maupun maya. Perbedaan agama, suku, dan pilihan politik kerap dijadikan bahan bakar konflik. Kita menyaksikan bagaimana “bigotisme”—fanatisme buta terhadap kelompok sendiri—merusak jalinan persaudaraan kebangsaan.

Kita lupa bahwa musuh kita bukanlah umat beragama lain, melainkan korupsi, kemiskinan, dan kebodohan. Kita lupa bahwa Pancasila dan UUD 1945 bukan sekadar dokumen, tetapi kompas moral dan sosial yang menuntun kita hidup dalam damai dan keadilan.

Dalam konteks ini, kerasulan awam memiliki peran strategis. Kita dipanggil untuk menjadi jembatan antariman, bukan tembok pemisah. Kita harus hadir di ruang publik sebagai pembawa damai, pelaku dialog, dan penjaga kebinekaan. Kita harus berani menolak narasi kebencian, dan menggantinya dengan narasi kasih dan pengharapan.

Sebagaimana umat Hindu memulai Nyepi dengan Makiyis dan Tawur Agung untuk membersihkan diri dan mengusir kekuatan jahat, kita pun perlu membersihkan hati dari prasangka, dan mengusir kebencian dari ruang batin dan sosial kita. Kita perlu Dharma Santi—rekonsiliasi dan saling memaafkan—sebagai budaya lintas iman.

Pesan penutup umat Hindu dalam setiap doa mereka adalah “Om Santhi, Santhi, Santhi”—damai di hati, damai di dunia, damai selamanya. Pesan ini bukan hanya milik satu agama, tetapi milik seluruh umat manusia.

Mari kita jadikan damai sebagai gaya hidup. Mari kita rayakan perbedaan sebagai anugerah, bukan ancaman. Mari kita belajar dari Nyepi, bahwa dalam keheningan, kita bisa menemukan kembali kemanusiaan kita.

Selamat Hari Raya Nyepi dan Tahun Baru Saka 1939. Semoga damai dan kasih Allah senantiasa menyertai kita semua.

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

 

#kerasulanawam #gerejauntukdamai #nyepi1939 #omsanthisanthisanthi #caturbratapenyepian #imandantoleransi #gerejakatolikindonesia #prapaskahdannyepi #damaisebagaigayahidup #cintaallahuntuksemua #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin