Namun di balik hiruk-pikuk itu, ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab
oleh nurani dan akal sehat: apakah membangun rumah ibadah di negeri yang
menjunjung tinggi konstitusi dan keberagaman adalah sebuah pelanggaran?
Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi, menjelaskan dengan tegas bahwa pembangunan
Gereja Santa Carla adalah respons terhadap kebutuhan nyata umat Katolik di
wilayah Bekasi Utara. “Di Bekasi Utara itu ada 33.000 Nasrani, Katolik ada
7.000. Belum ada gereja Katolik. Ini kebutuhan nyata,” ujarnya.
Pernyataan ini bukan sekadar pembelaan, tetapi penegasan bahwa hak beribadah
adalah hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam
Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006,
pembangunan rumah ibadah harus memenuhi syarat administratif dan kebutuhan
nyata umat. Santa Carla telah melalui proses panjang: Muspida, FKUB, Kemenag,
RT/RW, hingga SIPMB resmi.
Tuduhan pemalsuan dokumen, manipulasi data, dan pelanggaran administratif
menjadi senjata retorik yang dilemparkan ke publik. Namun, seperti ditegaskan
oleh Wali Kota, “Kalau dibilang pemalsuan, ya tinggal panggil yang
mengizinkannya. Kalau ada pelanggaran, laporkan ke polisi atau ajukan ke PTUN.”
Sayangnya, hingga saat ini tidak ada gugatan hukum yang diajukan. Yang
terjadi justru demonstrasi yang mengganggu ketertiban dan melanggar hak orang
lain untuk beribadah. Ini bukan lagi soal perbedaan pendapat, tetapi soal
pelanggaran terhadap prinsip dasar hidup bersama.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat peristiwa ini bukan hanya
sebagai konflik administratif, tetapi sebagai ujian bagi Gereja dan masyarakat
sipil. Gereja Katolik, melalui komunitas awamnya, harus hadir sebagai penjaga
martabat dan penegak keadilan.
Kita tidak membangun gereja untuk menantang, tetapi untuk melayani. Santa
Carla bukan simbol kekuasaan, tetapi simbol kasih. Ia adalah ruang doa, tempat
penghiburan, dan pusat pelayanan sosial. Menolaknya berarti menolak hak dasar
ribuan umat untuk beribadah dan hidup bermartabat.
Dalam terang ajaran sosial Gereja, pembangunan rumah ibadah adalah bagian
dari partisipasi aktif umat dalam kehidupan bermasyarakat. Gaudium et Spes
mengajarkan bahwa Gereja harus hadir di tengah dunia, menjadi saksi kasih
Allah, dan membangun peradaban kasih.
Santa Carla adalah perwujudan dari ajaran itu. Ia dibangun bukan untuk
memecah, tetapi untuk menyatukan. Ia berdiri bukan untuk menyaingi, tetapi
untuk melayani.
Bekasi adalah kota multi-etnik dan multi-agama. Di sana, Gereja Santa Carla
berdiri sebagai simbol harapan, bukan ancaman. Kita harus belajar bahwa
membangun rumah ibadah bukanlah ancaman bagi kerukunan, tetapi justru fondasi
bagi persaudaraan.
Sebagai kerasulan awam, kita dipanggil untuk menjadi jembatan, bukan tembok.
Kita harus hadir di tengah masyarakat, menyuarakan kebenaran, dan menolak
segala bentuk intoleransi. Karena pada akhirnya, mewartakan kasih Allah berarti
membela yang lemah, memperjuangkan keadilan, dan menjaga ruang ibadah sebagai
tempat suci, bukan arena konflik.
Oleh: Darius
Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#kerasulanawam
#gerejasantacarla #hakberibadah #gerejauntukmasyarakat #pluralismeindonesia
#gerejakatolikindonesia #cintaallahuntuksemua #santacarlabekasi
#gerejamelawanintoleransi #imandankonstitusi

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin