Senin, 27 Maret 2017

“Di Tengah Keragaman, Gereja Berdiri”; Santa Carla dan Hak Konstitusional Umat Beriman

JAKARTA
- Jumat pagi, 24 Maret 2017, udara di Jalan Teluk Pucung, Bekasi Utara, mendadak tegang. Sekelompok massa berkumpul, menuntut dihentikannya pembangunan Gereja Katolik Santa Carla. Mereka menyebut adanya “status quo”, menyuarakan ketidaksetujuan, bahkan memicu kericuhan yang menimbulkan korban dari pihak aparat dan demonstran.

Namun di balik hiruk-pikuk itu, ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh nurani dan akal sehat: apakah membangun rumah ibadah di negeri yang menjunjung tinggi konstitusi dan keberagaman adalah sebuah pelanggaran?

Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi, menjelaskan dengan tegas bahwa pembangunan Gereja Santa Carla adalah respons terhadap kebutuhan nyata umat Katolik di wilayah Bekasi Utara. “Di Bekasi Utara itu ada 33.000 Nasrani, Katolik ada 7.000. Belum ada gereja Katolik. Ini kebutuhan nyata,” ujarnya.

Pernyataan ini bukan sekadar pembelaan, tetapi penegasan bahwa hak beribadah adalah hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006, pembangunan rumah ibadah harus memenuhi syarat administratif dan kebutuhan nyata umat. Santa Carla telah melalui proses panjang: Muspida, FKUB, Kemenag, RT/RW, hingga SIPMB resmi.

Tuduhan pemalsuan dokumen, manipulasi data, dan pelanggaran administratif menjadi senjata retorik yang dilemparkan ke publik. Namun, seperti ditegaskan oleh Wali Kota, “Kalau dibilang pemalsuan, ya tinggal panggil yang mengizinkannya. Kalau ada pelanggaran, laporkan ke polisi atau ajukan ke PTUN.”

Sayangnya, hingga saat ini tidak ada gugatan hukum yang diajukan. Yang terjadi justru demonstrasi yang mengganggu ketertiban dan melanggar hak orang lain untuk beribadah. Ini bukan lagi soal perbedaan pendapat, tetapi soal pelanggaran terhadap prinsip dasar hidup bersama.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat peristiwa ini bukan hanya sebagai konflik administratif, tetapi sebagai ujian bagi Gereja dan masyarakat sipil. Gereja Katolik, melalui komunitas awamnya, harus hadir sebagai penjaga martabat dan penegak keadilan.

Kita tidak membangun gereja untuk menantang, tetapi untuk melayani. Santa Carla bukan simbol kekuasaan, tetapi simbol kasih. Ia adalah ruang doa, tempat penghiburan, dan pusat pelayanan sosial. Menolaknya berarti menolak hak dasar ribuan umat untuk beribadah dan hidup bermartabat.

Dalam terang ajaran sosial Gereja, pembangunan rumah ibadah adalah bagian dari partisipasi aktif umat dalam kehidupan bermasyarakat. Gaudium et Spes mengajarkan bahwa Gereja harus hadir di tengah dunia, menjadi saksi kasih Allah, dan membangun peradaban kasih.

Santa Carla adalah perwujudan dari ajaran itu. Ia dibangun bukan untuk memecah, tetapi untuk menyatukan. Ia berdiri bukan untuk menyaingi, tetapi untuk melayani.

Bekasi adalah kota multi-etnik dan multi-agama. Di sana, Gereja Santa Carla berdiri sebagai simbol harapan, bukan ancaman. Kita harus belajar bahwa membangun rumah ibadah bukanlah ancaman bagi kerukunan, tetapi justru fondasi bagi persaudaraan.

Sebagai kerasulan awam, kita dipanggil untuk menjadi jembatan, bukan tembok. Kita harus hadir di tengah masyarakat, menyuarakan kebenaran, dan menolak segala bentuk intoleransi. Karena pada akhirnya, mewartakan kasih Allah berarti membela yang lemah, memperjuangkan keadilan, dan menjaga ruang ibadah sebagai tempat suci, bukan arena konflik.

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

 

#kerasulanawam #gerejasantacarla #hakberibadah #gerejauntukmasyarakat #pluralismeindonesia #gerejakatolikindonesia #cintaallahuntuksemua #santacarlabekasi #gerejamelawanintoleransi #imandankonstitusi #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin