Namun, pertanyaan besar menggantung di udara: Di manakah suara profetik
Gereja?
“Gereja terlalu sibuk untuk urusan liturgi,” ujar Pastor Peter C. Aman, OFM,
Direktur JPIC OFM. Pernyataan ini bukan sekadar kritik, melainkan refleksi
tajam atas kecenderungan sebagian pemimpin Gereja yang lebih fokus pada ritus
dan seremoni, namun abai terhadap realitas sosial umatnya.
Boni Hargens, seorang intelektual asal NTT, bahkan menyebut kondisi stagnan
di provinsi ini sebagai “kegagalan Gereja untuk mewujudkan Kerajaan Allah.”
Baginya, Gereja seharusnya menjadi kekuatan moral yang melawan praktik busuk
dan menjadi motor perubahan sosial.
Petrus Selestinus, seorang advokat senior, menyoroti lemahnya penegakan
hukum di NTT. “Propinsi ini terkenal karena korupsi dan sedikit sekali pejabat
yang dipenjara,” katanya. Dalam konteks ini, Gereja seharusnya tidak hanya
menjadi penonton, tetapi pelopor dalam membangun budaya hukum yang adil dan
bermartabat.
Kerasulan awam memiliki peran strategis di sini. Sebagai bagian dari umat
Allah yang hidup di tengah masyarakat, para rasul awam dipanggil untuk menjadi
garam dan terang dunia—menjadi suara bagi yang tak bersuara, menjadi pembela
bagi yang tertindas, dan menjadi penggerak perubahan di tengah ketidakadilan.
Kita tidak menolak liturgi. Justru dari liturgi, kita diutus. Namun, liturgi
yang tidak menjelma menjadi tindakan kasih hanyalah ritual kosong. Kerasulan
awam harus menjadi jembatan antara altar dan jalanan, antara misa dan misi.
Di banyak pelosok NTT, komunitas-komunitas basis gerejani (KBG) telah
menjadi titik terang. Mereka membentuk koperasi, mendirikan sekolah alternatif,
mengadvokasi hak atas tanah, dan mendampingi korban ketidakadilan. Namun,
gerakan ini masih sporadis dan belum menjadi arus utama dalam kehidupan Gereja
lokal.
Gereja di NTT harus berani melakukan otokritik. Sudah saatnya kita keluar
dari zona nyaman dan menata ulang prioritas pastoral. Pendidikan kritis,
pemberdayaan ekonomi, advokasi hukum, dan keberpihakan pada kaum miskin harus
menjadi wajah nyata dari pewartaan Injil.
Kita tidak bisa terus membiarkan umat hidup dalam kemiskinan struktural
sementara mimbar-mimbar kita hanya menyuarakan keselamatan di akhirat. Seperti
kata Paus Fransiskus, “Saya lebih suka Gereja yang memar, terluka dan kotor
karena keluar ke jalanan, daripada Gereja yang sakit karena tertutup dan nyaman
dalam keamanan palsu.”
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa Gereja memiliki potensi
luar biasa untuk menjadi agen transformasi sosial. Namun potensi itu hanya akan
menjadi nyata jika kita berani keluar, menyingsingkan lengan baju, dan hadir di
tengah luka-luka umat.
NTT tidak butuh Gereja yang hanya berkhotbah. NTT butuh Gereja yang berjalan
bersama rakyatnya, yang menangis bersama yang tertindas, dan yang berani
berkata benar di hadapan kekuasaan.
Inilah saatnya kita mewartakan kasih dan cinta Allah bukan hanya dengan
kata, tetapi dengan tindakan nyata.
Oleh: Darius
Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#kerasulanawam
#gerejauntukrakyat #nttbangkit #gerejadankeadilan #liturgidanaksi #jpic #gerejaprofetik
#cintaallahuntukdunia #ntttanahmisi #gerejabergerak

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin