Jumat, 31 Maret 2017

“Mewartakan Kasih di Tengah Derita”; Seruan Kerasulan Awam untuk Gereja di NTT

KUPANG
- Di balik senyum hangat dan keramahan khas masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT), tersembunyi realitas getir yang tak bisa terus disembunyikan: kemiskinan struktural, ketimpangan sosial, dan lemahnya penegakan hukum. Ironisnya, semua ini terjadi di sebuah provinsi yang mayoritas penduduknya adalah umat Kristiani, dan di mana Gereja Katolik telah lama berakar kuat.

Namun, pertanyaan besar menggantung di udara: Di manakah suara profetik Gereja?

“Gereja terlalu sibuk untuk urusan liturgi,” ujar Pastor Peter C. Aman, OFM, Direktur JPIC OFM. Pernyataan ini bukan sekadar kritik, melainkan refleksi tajam atas kecenderungan sebagian pemimpin Gereja yang lebih fokus pada ritus dan seremoni, namun abai terhadap realitas sosial umatnya.

Boni Hargens, seorang intelektual asal NTT, bahkan menyebut kondisi stagnan di provinsi ini sebagai “kegagalan Gereja untuk mewujudkan Kerajaan Allah.” Baginya, Gereja seharusnya menjadi kekuatan moral yang melawan praktik busuk dan menjadi motor perubahan sosial.

Petrus Selestinus, seorang advokat senior, menyoroti lemahnya penegakan hukum di NTT. “Propinsi ini terkenal karena korupsi dan sedikit sekali pejabat yang dipenjara,” katanya. Dalam konteks ini, Gereja seharusnya tidak hanya menjadi penonton, tetapi pelopor dalam membangun budaya hukum yang adil dan bermartabat.

Kerasulan awam memiliki peran strategis di sini. Sebagai bagian dari umat Allah yang hidup di tengah masyarakat, para rasul awam dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia—menjadi suara bagi yang tak bersuara, menjadi pembela bagi yang tertindas, dan menjadi penggerak perubahan di tengah ketidakadilan.

Kita tidak menolak liturgi. Justru dari liturgi, kita diutus. Namun, liturgi yang tidak menjelma menjadi tindakan kasih hanyalah ritual kosong. Kerasulan awam harus menjadi jembatan antara altar dan jalanan, antara misa dan misi.

Di banyak pelosok NTT, komunitas-komunitas basis gerejani (KBG) telah menjadi titik terang. Mereka membentuk koperasi, mendirikan sekolah alternatif, mengadvokasi hak atas tanah, dan mendampingi korban ketidakadilan. Namun, gerakan ini masih sporadis dan belum menjadi arus utama dalam kehidupan Gereja lokal.

Gereja di NTT harus berani melakukan otokritik. Sudah saatnya kita keluar dari zona nyaman dan menata ulang prioritas pastoral. Pendidikan kritis, pemberdayaan ekonomi, advokasi hukum, dan keberpihakan pada kaum miskin harus menjadi wajah nyata dari pewartaan Injil.

Kita tidak bisa terus membiarkan umat hidup dalam kemiskinan struktural sementara mimbar-mimbar kita hanya menyuarakan keselamatan di akhirat. Seperti kata Paus Fransiskus, “Saya lebih suka Gereja yang memar, terluka dan kotor karena keluar ke jalanan, daripada Gereja yang sakit karena tertutup dan nyaman dalam keamanan palsu.”

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa Gereja memiliki potensi luar biasa untuk menjadi agen transformasi sosial. Namun potensi itu hanya akan menjadi nyata jika kita berani keluar, menyingsingkan lengan baju, dan hadir di tengah luka-luka umat.

NTT tidak butuh Gereja yang hanya berkhotbah. NTT butuh Gereja yang berjalan bersama rakyatnya, yang menangis bersama yang tertindas, dan yang berani berkata benar di hadapan kekuasaan.

Inilah saatnya kita mewartakan kasih dan cinta Allah bukan hanya dengan kata, tetapi dengan tindakan nyata.

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

 

#kerasulanawam #gerejauntukrakyat #nttbangkit #gerejadankeadilan #liturgidanaksi #jpic #gerejaprofetik #cintaallahuntukdunia #ntttanahmisi #gerejabergerak #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin