Jumat, 31 Maret 2017

“Anak-Anak Adalah Wajah Allah”; Gereja, Kerasulan Awam, dan Perlawanan terhadap Pedofilia Digital

JAKARTA
- Di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang kian tak terbendung, sebuah kabar mengejutkan datang dari jantung ibu kota. Kepolisian Metropolitan Jakarta menangkap empat pelaku yang tergabung dalam grup Facebook bernama Official Candy’s Group, sebuah jaringan gelap yang memperdagangkan pornografi anak dan berbagi “tips” menjebak anak-anak sebagai mangsa. Dua dari pelaku adalah remaja di bawah usia 17 tahun. Lebih dari 500 video dan 100 foto eksploitasi seksual anak ditemukan. Fakta ini bukan hanya mencengangkan—ia mengguncang nurani.

Grup yang dibentuk sejak 2014 itu telah mengumpulkan lebih dari 7.000 anggota. Di balik layar ponsel dan komputer, predator anak bersembunyi dalam bayang-bayang algoritma, menyamar sebagai teman sebaya, dan menyusup ke ruang-ruang virtual yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak.

Menurut data Kepolisian Indonesia, pada 2014 saja tercatat 697 kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan 859 korban. Angka ini melonjak drastis menjadi 1.953 korban pada tahun-tahun berikutnya. Interpol dan FBI bahkan menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan kasus pedofilia tertinggi di Asia.

Pastor Markus Nur Widipranoto, Direktur Karya Kepausan Indonesia, menyebut kasus ini sebagai “sangat mencemaskan.” Gereja, sebagai ibu dan guru, tidak bisa tinggal diam. Dalam terang ajaran sosial Katolik, setiap anak adalah citra Allah yang harus dijaga martabat dan keselamatannya. Maka, perlawanan terhadap pedofilia bukan hanya tugas negara, tetapi juga panggilan iman.

Gereja Katolik di Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk bekerja sama dengan Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) serta Komisi Kateketik dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Namun, komitmen ini harus menjelma dalam tindakan nyata: edukasi digital di paroki, pelatihan bagi orang tua, dan pendampingan psikososial bagi korban.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa umat awam memiliki peran strategis dalam melindungi anak-anak. Kita hidup di tengah masyarakat, mengenal dinamika keluarga, dan bersentuhan langsung dengan realitas digital anak-anak kita. Maka, kita harus menjadi mata dan telinga Gereja—mengawasi, melaporkan, dan bertindak.

Kita perlu membentuk komunitas-komunitas peduli anak di lingkungan paroki. Kita harus mendorong sekolah-sekolah Katolik untuk memasukkan literasi digital dan pendidikan seksualitas yang sehat dalam kurikulum. Kita harus menjadi suara yang lantang menolak segala bentuk kekerasan terhadap anak, baik di dunia nyata maupun maya.

Yohana Fransisca, seorang ibu dari dua anak di Jakarta Utara, mengungkapkan kecemasannya. “Saya takut bukan hanya untuk anak-anak saya, tapi juga untuk teman-teman mereka. Mereka semua bisa jadi target,” katanya. Kekhawatiran ini nyata. Dunia maya bukan lagi tempat bermain yang aman.

Orang tua harus menjadi pendamping digital anak-anak. Bukan dengan melarang, tetapi dengan membangun komunikasi terbuka, membekali mereka dengan pengetahuan, dan menciptakan ruang aman di rumah.

Anak-anak adalah masa depan Gereja dan bangsa. Mereka bukan objek, bukan komoditas, bukan mangsa. Mereka adalah wajah Allah yang harus dijaga dengan segenap cinta dan keberanian.

Gereja, kerasulan awam, dan seluruh masyarakat harus bersatu dalam satu suara: Tidak untuk pedofilia. Ya untuk perlindungan anak. Inilah bentuk pewartaan kasih Allah yang paling nyata di zaman digital ini.

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

 

#lindungianak #gerejamelawanpedofilia #kerasulanawam #anakadalahwajahallah #digitalsafety #jpic #gerejakatolikindonesia #cintaallahuntukanak #stopeksploitasianak #gerejabergerak #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin