Grup yang dibentuk sejak 2014 itu telah mengumpulkan lebih dari 7.000
anggota. Di balik layar ponsel dan komputer, predator anak bersembunyi dalam
bayang-bayang algoritma, menyamar sebagai teman sebaya, dan menyusup ke
ruang-ruang virtual yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak.
Menurut data Kepolisian Indonesia, pada 2014 saja tercatat 697 kasus
kekerasan seksual terhadap anak dengan 859 korban. Angka ini melonjak drastis
menjadi 1.953 korban pada tahun-tahun berikutnya. Interpol dan FBI bahkan
menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan kasus pedofilia tertinggi
di Asia.
Pastor Markus Nur Widipranoto, Direktur Karya Kepausan Indonesia, menyebut
kasus ini sebagai “sangat mencemaskan.” Gereja, sebagai ibu dan guru, tidak
bisa tinggal diam. Dalam terang ajaran sosial Katolik, setiap anak adalah citra
Allah yang harus dijaga martabat dan keselamatannya. Maka, perlawanan terhadap
pedofilia bukan hanya tugas negara, tetapi juga panggilan iman.
Gereja Katolik di Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk bekerja sama
dengan Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) serta Komisi
Kateketik dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Namun, komitmen
ini harus menjelma dalam tindakan nyata: edukasi digital di paroki, pelatihan
bagi orang tua, dan pendampingan psikososial bagi korban.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa umat awam memiliki peran
strategis dalam melindungi anak-anak. Kita hidup di tengah masyarakat, mengenal
dinamika keluarga, dan bersentuhan langsung dengan realitas digital anak-anak
kita. Maka, kita harus menjadi mata dan telinga Gereja—mengawasi, melaporkan,
dan bertindak.
Kita perlu membentuk komunitas-komunitas peduli anak di lingkungan paroki.
Kita harus mendorong sekolah-sekolah Katolik untuk memasukkan literasi digital
dan pendidikan seksualitas yang sehat dalam kurikulum. Kita harus menjadi suara
yang lantang menolak segala bentuk kekerasan terhadap anak, baik di dunia nyata
maupun maya.
Yohana Fransisca, seorang ibu dari dua anak di Jakarta Utara, mengungkapkan
kecemasannya. “Saya takut bukan hanya untuk anak-anak saya, tapi juga untuk
teman-teman mereka. Mereka semua bisa jadi target,” katanya. Kekhawatiran ini
nyata. Dunia maya bukan lagi tempat bermain yang aman.
Orang tua harus menjadi pendamping digital anak-anak. Bukan dengan melarang,
tetapi dengan membangun komunikasi terbuka, membekali mereka dengan
pengetahuan, dan menciptakan ruang aman di rumah.
Anak-anak adalah masa depan Gereja dan bangsa. Mereka bukan objek, bukan
komoditas, bukan mangsa. Mereka adalah wajah Allah yang harus dijaga dengan
segenap cinta dan keberanian.
Gereja, kerasulan awam, dan seluruh masyarakat harus bersatu dalam satu
suara: Tidak untuk pedofilia. Ya untuk perlindungan anak. Inilah
bentuk pewartaan kasih Allah yang paling nyata di zaman digital ini.
Oleh: Darius
Leka, S.H., M.H., Advokat
dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#lindungianak
#gerejamelawanpedofilia #kerasulanawam #anakadalahwajahallah #digitalsafety
#jpic #gerejakatolikindonesia #cintaallahuntukanak #stopeksploitasianak
#gerejabergerak

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin