Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, gubernur petahana kala itu, menghadapi
badai kampanye hitam yang tak lagi berbicara soal program, visi, atau rekam
jejak. Yang diserang bukan kebijakannya, melainkan identitasnya: keyakinannya
sebagai seorang Kristen dan etnisitasnya sebagai Tionghoa.
Jajak pendapat menunjukkan bahwa meski tingkat kepuasan publik terhadap
kinerjanya mencapai 65 persen, dukungan terhadapnya merosot drastis. Bonar
Tigor Naipospos dari Setara Institute menyebut ini sebagai anomali demokrasi.
“Pemanfaatan agama adalah satu-satunya cara menyaingi dan mengalahkan Ahok,”
katanya. Sebuah pengakuan pahit bahwa rasionalitas publik telah dikalahkan oleh
sentimen sektarian.
Usep Ahyar dari Populi Center menyoroti bagaimana intimidasi berbasis agama
telah merampas kebebasan memilih. “Banyak orang kehilangan kebebasan mereka
untuk membuat pilihan,” katanya. Taktik-taktik seperti larangan menyolatkan
jenazah bagi pemilih non-Muslim, atau ancaman tidak masuk surga bagi yang
memilih pemimpin “kafir”, menjadi senjata yang menakutkan.
Pada 11 Maret 2017, Djarot Saiful Hidayat, calon wakil gubernur, ditolak
masuk ke sebuah masjid di Jakarta Timur. Ia dicaci sebagai “kafir”, bukan
karena perbuatannya, tetapi karena afiliasinya. Ini bukan sekadar
intoleransi—ini adalah bentuk kekerasan simbolik yang merusak sendi-sendi
kebangsaan.
Pastor Yohanes Kristoforus Tara, OFM, dari Komisi JPIC, menyebut fenomena
ini sebagai bentuk paling vulgar dari politik sektarian. Ia mengecam keras
larangan menyolatkan jenazah dan menyerukan agar agama dikembalikan pada
esensinya: pembebasan, bukan penindasan.
Sebagai bagian dari kerasulan awam, kita tidak bisa diam. Gereja Katolik,
melalui ajaran sosialnya, menegaskan bahwa iman harus menjadi kekuatan yang
menyatukan, bukan memecah belah. Gaudium et Spes mengingatkan kita
bahwa martabat manusia harus dijunjung tinggi, tanpa memandang agama, ras, atau
latar belakang.
Kita dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia. Dalam konteks ini,
kerasulan awam harus menjadi garda terdepan dalam melawan politisasi agama.
Kita harus hadir di ruang publik, menyuarakan kebenaran, dan menolak segala
bentuk manipulasi iman demi kekuasaan.
Ahmad Syafii Maarif, tokoh Muslim moderat, menyebut praktik kampanye
sektarian ini sebagai bentuk “menjual agama dengan harga murah.” Pernyataan ini
menggambarkan betapa rendahnya nilai demokrasi ketika agama dijadikan alat
transaksi politik.
Sebagai warga negara dan umat beriman, kita harus menolak politik kebencian.
Demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh dalam iklim yang menjunjung tinggi
kebebasan, rasionalitas, dan penghormatan terhadap perbedaan.
Kita tidak sedang membela satu kandidat. Kita sedang membela nilai. Kita
sedang membela martabat iman. Kita sedang membela masa depan demokrasi yang
sehat dan inklusif.
Kerasulan awam bukan hanya soal pelayanan di altar, tetapi juga keberanian
untuk bersuara di tengah badai. Kita harus menjadi saksi kasih dan kebenaran,
bahkan ketika dunia memilih jalan sebaliknya.
Mari kita kembalikan agama pada tempatnya: sebagai jalan menuju kasih, bukan
alat untuk membenci. Sebagai jembatan, bukan tembok. Sebagai cahaya, bukan
senjata.
Oleh: Darius
Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#kerasulanawam
#gerejamelawanintoleransi #imanyangmembebaskan #demokrasibermartabat
#stoppolitisasiagama #gerejaprofetik #cintaallahuntuksemua #gerejauntukkeadilan
#jakartabersatu #imandankemanusiaan

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin