Jumat, 31 Maret 2017

“Ketika Agama Dijual Murah”; Seruan Kerasulan Awam Melawan Politisasi Iman

JAKARTA
- Di tengah riuh rendah demokrasi Jakarta, menjelang putaran kedua Pilkada DKI 2017, kita menyaksikan sebuah ironi yang menyayat nurani: agama, yang seharusnya menjadi sumber kasih dan kedamaian, justru dijadikan alat untuk memecah belah, menakut-nakuti, bahkan menghakimi. Dalam pusaran politik elektoral, iman dijadikan komoditas kampanye, dan tempat ibadah berubah menjadi panggung agitasi.

Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, gubernur petahana kala itu, menghadapi badai kampanye hitam yang tak lagi berbicara soal program, visi, atau rekam jejak. Yang diserang bukan kebijakannya, melainkan identitasnya: keyakinannya sebagai seorang Kristen dan etnisitasnya sebagai Tionghoa.

Jajak pendapat menunjukkan bahwa meski tingkat kepuasan publik terhadap kinerjanya mencapai 65 persen, dukungan terhadapnya merosot drastis. Bonar Tigor Naipospos dari Setara Institute menyebut ini sebagai anomali demokrasi. “Pemanfaatan agama adalah satu-satunya cara menyaingi dan mengalahkan Ahok,” katanya. Sebuah pengakuan pahit bahwa rasionalitas publik telah dikalahkan oleh sentimen sektarian.

Usep Ahyar dari Populi Center menyoroti bagaimana intimidasi berbasis agama telah merampas kebebasan memilih. “Banyak orang kehilangan kebebasan mereka untuk membuat pilihan,” katanya. Taktik-taktik seperti larangan menyolatkan jenazah bagi pemilih non-Muslim, atau ancaman tidak masuk surga bagi yang memilih pemimpin “kafir”, menjadi senjata yang menakutkan.

Pada 11 Maret 2017, Djarot Saiful Hidayat, calon wakil gubernur, ditolak masuk ke sebuah masjid di Jakarta Timur. Ia dicaci sebagai “kafir”, bukan karena perbuatannya, tetapi karena afiliasinya. Ini bukan sekadar intoleransi—ini adalah bentuk kekerasan simbolik yang merusak sendi-sendi kebangsaan.

Pastor Yohanes Kristoforus Tara, OFM, dari Komisi JPIC, menyebut fenomena ini sebagai bentuk paling vulgar dari politik sektarian. Ia mengecam keras larangan menyolatkan jenazah dan menyerukan agar agama dikembalikan pada esensinya: pembebasan, bukan penindasan.

Sebagai bagian dari kerasulan awam, kita tidak bisa diam. Gereja Katolik, melalui ajaran sosialnya, menegaskan bahwa iman harus menjadi kekuatan yang menyatukan, bukan memecah belah. Gaudium et Spes mengingatkan kita bahwa martabat manusia harus dijunjung tinggi, tanpa memandang agama, ras, atau latar belakang.

Kita dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia. Dalam konteks ini, kerasulan awam harus menjadi garda terdepan dalam melawan politisasi agama. Kita harus hadir di ruang publik, menyuarakan kebenaran, dan menolak segala bentuk manipulasi iman demi kekuasaan.

Ahmad Syafii Maarif, tokoh Muslim moderat, menyebut praktik kampanye sektarian ini sebagai bentuk “menjual agama dengan harga murah.” Pernyataan ini menggambarkan betapa rendahnya nilai demokrasi ketika agama dijadikan alat transaksi politik.

Sebagai warga negara dan umat beriman, kita harus menolak politik kebencian. Demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh dalam iklim yang menjunjung tinggi kebebasan, rasionalitas, dan penghormatan terhadap perbedaan.

Kita tidak sedang membela satu kandidat. Kita sedang membela nilai. Kita sedang membela martabat iman. Kita sedang membela masa depan demokrasi yang sehat dan inklusif.

Kerasulan awam bukan hanya soal pelayanan di altar, tetapi juga keberanian untuk bersuara di tengah badai. Kita harus menjadi saksi kasih dan kebenaran, bahkan ketika dunia memilih jalan sebaliknya.

Mari kita kembalikan agama pada tempatnya: sebagai jalan menuju kasih, bukan alat untuk membenci. Sebagai jembatan, bukan tembok. Sebagai cahaya, bukan senjata.

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

 

#kerasulanawam #gerejamelawanintoleransi #imanyangmembebaskan #demokrasibermartabat #stoppolitisasiagama #gerejaprofetik #cintaallahuntuksemua #gerejauntukkeadilan #jakartabersatu #imandankemanusiaan #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin