Jumat, 31 Maret 2017

“Tanah Adalah Kehidupan”; Seruan Profetik Uskup Saklil dan Tanggung Jawab Kerasulan Awam

PAPUA
- Pada pagi yang tenang di Timika, 27 Maret 2017, suara lantang seorang gembala menggema dari altar ke pelosok dusun. Uskup Timika, Mgr. John Philip Saklil, menyampaikan seruan yang mengguncang kesadaran: “Saya marah mereka yang suka jual-jual tanah.” Pernyataan ini bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan jeritan hati seorang gembala yang menyaksikan umatnya perlahan kehilangan akar identitasnya.

Tanah bagi masyarakat Amungme dan Kamoro bukan sekadar aset ekonomi. Ia adalah tungku api kehidupan, tempat berakar budaya, spiritualitas, dan keberlangsungan generasi. Ketika tanah dijual, bukan hanya lahan yang berpindah tangan, tetapi juga sejarah, nilai, dan martabat yang ikut tergerus.

Uskup Saklil memahami betul bahwa arus kapitalisme dan pembangunan yang tak terkendali telah menggerus nilai-nilai luhur masyarakat adat. Ia menyaksikan bagaimana masyarakat asli Mimika mulai tergoda oleh iming-iming uang tunai, menjual tanah ulayat demi kebutuhan sesaat, tanpa menyadari dampak jangka panjangnya.

Sebagai bagian dari kerasulan awam, kita dipanggil untuk menjadi suara kenabian di tengah masyarakat. Gereja Katolik, melalui ajaran sosialnya, menegaskan bahwa hak atas tanah adalah bagian dari hak asasi manusia dan martabat manusia. Gaudium et Spes mengingatkan kita bahwa “barang-barang duniawi harus dibagi secara adil dan digunakan demi kesejahteraan bersama.”

Kita tidak bisa tinggal diam ketika tanah-tanah adat dijadikan komoditas oleh para pemodal. Kerasulan awam harus hadir sebagai penjaga nilai, pendamping masyarakat, dan pengawal keadilan sosial. Ini bukan hanya soal hukum, tetapi soal iman yang diwujudkan dalam tindakan nyata.

Uskup Saklil juga menegur para pengusaha yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat adat dengan menawarkan uang demi menguasai ratusan hektar tanah. Ia menyerukan kepada pemerintah untuk hadir sebagai pelindung, bukan pelaku pembiaran. “Kalau tungku api di rumah sudah tidak berasap lagi maka itu sama dengan tidak ada kehidupan,” tegasnya.

Sebagai umat Katolik, kita diajak untuk merenungkan: Apakah kita telah cukup peduli terhadap nasib saudara-saudari kita di tanah Papua? Apakah kita telah menjadi bagian dari solusi atau justru diam dalam kenyamanan?

Kini saatnya kerasulan awam bangkit. Melalui pendidikan hukum, pendampingan sosial, dan pemberdayaan ekonomi, kita bisa menjadi perpanjangan tangan kasih Allah. Tanah bukan untuk dijual, tetapi untuk diwariskan sebagai tanda cinta kepada generasi mendatang.

Ditulis oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

 

#tanahadalahkehidupan #kerasulanawam #gerejakatolik #papuabermartabat #janganjualtanahadat #kasihallahuntukdunia #uskupsaklil #amungmekamoro #keadilansosial #cintatanahair #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin