Selasa, 18 Juli 2017

Tanggapan Gereja atas Perppu Pembubaran Ormas

JAKARTA - Presiden Indonesia Joko Widodo telah menandatangani Perppu Ormas yang memungkinkan pemerintah untuk mengambil tindakan tegas dan melarang kelompok ekstremis.

Menko Polhukam Wiranto mengatakan keputusan yang ditandatangani oleh presiden berkaitan dengan dengan organisasi massa yang berusaha merusak stabilitas nasional.

“Beberapa organisasi massa mengatur kegiatan yang jelas bertentangan dengan ideologi nasional dan konstitusi. Tentu saja ini merupakan ancaman nyata bagi keberadaan bangsa ini dan telah menciptakan konflik di masyarakat,” kata Wiranto, 12 Juli.

Wiranto mengacu pada kelompok Islam garis keras seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Kelompok garis keras dituduh telah menyebabkan peningkatan intoleransi agama di Indonesia dan mencoba untuk melemahkan pluralisme yang tercantum dalam konstitusi negara.

Pada bulan Mei pemerintah mengumumkan niatnya untuk melarang HTI – sebuah kelompok berbasis di London dengan sekitar 40.000 anggota – yang dituduh telah mencoba mengubah Indonesia menjadi negara Islam. Larangan tersebut saat ini sedang menunggu persetujuan pengadilan.

Wiranto meminta masyarakat untuk menerima keputusan tersebut karena, ini tidak bertujuan untuk membatasi organisasi massa dan melukai organisasi-organisasi Islam namun untuk menjaga persatuan nasional dan melindungi keberadaan bangsa.

Juru bicara HTI Ismail Yusanto membantah bahwa kelompoknya telah berusaha untuk mendirikan sebuah negara Islam.

“HTI adalah kelompok dakwah dan merupakan badan hukum. HTI memberikan ceramah dengan sopan dan damai dan tidak melanggar undang-undang,” katanya.

Menurut Yusanto, Perppu tersebut sewenang-wenang.

Andreas Harsono, seorang peneliti Human Rights Watch (HRW), mengatakan bahwa keputusan pemerintah untuk melarang HTI merupakan pelanggaran yang mengganggu hak universal kebebasan berserikat dan berekspresi.

“Pemerintah Indonesia memiliki wewenang untuk melakukan tindakan hukum yang tepat terhadap kelompok manapun, termasuk HTI, yang diduga melanggar undang-undang,” katanya.

“Tapi melarang setiap organisasi hanya berdasarkan ideologi … adalah tindakan kejam yang merongrong hak kebebasan berserikat dan berekspresi yang diperjuangkan orang Indonesia dengan kerja keras sejak kediktatoran Suharto,” kata Andreas.

Tanggapan KWI dan PGI
Pastor Guido Suprapto, Sekretaris Eksekutif Komisi Kerawam Konferensi Waligereja Indonesia, mendukung langkah tersebut.

“Baik pemerintah maupun masyarakat melihat kegiatan yang diselenggarakan oleh kelompok radikal, termasuk HTI, jelas bertentangan dengan ideologi nasional,” katanya kepada ucanews.com.

Dia percaya bahwa pemerintah harus memiliki wewenang untuk melarang kelompok radikal manapun.

“Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa kelompok radikal sangat berbahaya,” kata Pastor Guido.

Menurut Pendeta Gomar Gultom dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) penerbitan Perpu ini dibutuhkan sebagai dasar hukum bagi sebuah tindakan oleh negara dalam menghadapi sebuah ancaman yang membahayakan negara, dan tidak perlu dilihat sebagai ancaman bagi demokrasi.

“Perpu ini tak harus dilihat mengancam demokrasi dan HAM karena demokrasi dan HAM juga punya keterbatasan. Olehnya dibutuhkan regulasi dalam mengatasi keterbatasan tersebut,” kata Pdt. Gultom.

Hanya saja, menurut Gultom, Perpu ini masih memasukkan masalah penodaan agama.

“Lagi-lagi ini ancaman bagi kelompok-kelompok minoritas dan mereka yang punya interpretasi berbeda dengan agama main stream,” lanjut Gultom.

Dia menambahkan, bahwa meskipun sudah ada Perppu, hendaknya niat untuk pembubaran suatu ormas tetap melalui proses pengadilan atau setidaknya fatwa MA. Hal ini diperlukan agar tidak menjadi preseden bagi negara melakukan sesuatu tanpa penyeimbang.


__________________
Sumber: www.indonesia.ucanews.com/ Foto ilustrasi: Suara Merdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin