Minggu, 14 Desember 2025

Harmoni dalam Luka; Menemukan Sukacita Sejati dalam Keluarga Katolik

CIBINONG, BOGOR - Minggu pagi, 14 Desember 2025, Paroki Keluarga Kudus di Jalan Raya Tapos Nomor 31, Kabupaten Bogor, dipenuhi wajah-wajah penuh harap. Ratusan keluarga dari berbagai paroki di Keuskupan Bogor berkumpul dalam semangat yang sama: membangun keluarga Katolik yang bahagia dan harmonis. Tema pembinaan kali ini—“Bijak Bermedia Sosial, Keluarga Harmonis dan Bahagia”—bukan sekadar slogan, tetapi refleksi mendalam atas tantangan zaman digital dan krisis relasi dalam keluarga.

Dalam praktik pastoral, istilah “harmonis” kerap direduksi menjadi sekadar ketiadaan konflik. Banyak yang menganggap keluarga harmonis adalah keluarga yang tidak pernah bertengkar, selalu tampak rukun, dan tidak menunjukkan gejolak. Namun, pemahaman ini justru berbahaya. Ia melahirkan kedamaian palsu (false peace) yang menutupi luka-luka batin dan mengabaikan dinamika pertumbuhan iman.

Gereja Katolik memandang keharmonisan bukan sebagai sterilnya konflik, melainkan sebagai kualitas relasi yang dijiwai oleh kasih, kebenaran, dan rahmat. Dalam terang iman, konflik bukan musuh, tetapi peluang untuk bertumbuh dalam pengampunan dan kesetiaan.

Dr. RD. Alfons Sutarno, S.Ag. Lic.Th., dalam sesi reflektifnya, menggarisbawahi bahwa dalam perkawinan Katolik, suami dan istri tidak dipanggil untuk menjadi sama, tetapi untuk menjadi satu dalam perbedaan. “Keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24) bukan berarti peleburan identitas, melainkan persekutuan hidup yang utuh.

“Banyak pasangan hidup serumah, menjalankan fungsi keluarga, tetapi tidak sungguh bersekutu secara batin,” tegasnya. Gereja memahami perkawinan sebagai communio personarum, persekutuan antar pribadi. “Perkawinan adalah persekutuan hidup dan kasih antara seorang pria dan seorang wanita” (Gaudium et Spes, 48).

Keharmonisan bukan hasil teknik komunikasi semata. Ia adalah buah dari rahmat sakramen. “Tanpa Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yohanes 15:5). Kristus adalah sumber kekuatan dalam perkawinan Kristiani (KGK 1615). Pasangan tidak dituntut untuk sempurna, tetapi diajak untuk bersandar pada rahmat Allah.

Perkawinan menjadi tanda kasih Allah yang setia, yang mengampuni, dan yang bertahan dalam penderitaan. “Aku mengikat engkau kepada-Ku untuk selama-lamanya dalam kasih setia dan belas kasihan” (Hosea 2:18). Kasih perkawinan mencerminkan kesetiaan Allah kepada umat-Nya (Amoris Laetitia, 71). Maka, keharmonisan bukanlah ketiadaan luka, tetapi kesetiaan di tengah luka.

Di era digital, media sosial menjadi medan baru dalam kehidupan keluarga. Ia bisa menjadi jembatan komunikasi, tetapi juga jurang pemisah. Pembinaan ini menekankan pentingnya etika digital: menjaga privasi, menghindari konten toksik, dan membangun komunikasi yang sehat.

Keluarga Katolik dipanggil untuk menjadi saksi kasih Allah, termasuk di ruang digital. Bijak bermedia sosial bukan hanya soal etika, tetapi juga spiritualitas: bagaimana menghadirkan terang Kristus di tengah dunia maya yang gelap.

Keluarga Katolik bukan hanya unit sosial, tetapi sakramen kasih. Ia adalah ikon Allah yang setia, yang mengampuni, dan yang mencintai tanpa syarat. Dalam luka, dalam konflik, dalam tantangan zaman, keluarga dipanggil untuk tetap setia—karena di sanalah kasih Allah dinyatakan.

Mari kita bangun keluarga yang tidak hanya tampak harmonis, tetapi sungguh hidup dalam kasih dan rahmat. Karena keharmonisan sejati bukanlah ketiadaan luka, melainkan kesetiaan di tengah luka.

 

✍️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. - Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

#shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang #keluargakatolikbahagia #bijakbermediasosial #harmonikeluarga #katolikindonesia #keuskupanbogor #kerasulanawam #kasihallah #sakramenperkawinan #komunikasikeluarga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin