Hillary Clinton pernah mengagumi gambar Bunda Maria dari Guadalupe saat kunjungan diplomatik ke Meksiko, menunjukkan bagaimana simbol iman Katolik mampu menyentuh hati lintas budaya dan keyakinan.
MEKSIKO - Pada 27 Maret 2009,
sebuah momen tak terduga terjadi di Basilika Bunda Maria dari Guadalupe,
Meksiko. Hillary Clinton, saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat, melakukan kunjungan resmi ke negara tersebut. Di luar agenda protokol,
ia menyempatkan diri mengunjungi basilika yang menjadi pusat ziarah Katolik
terbesar di dunia. Di hadapan gambar ajaib Bunda Maria yang terlukis di tilma
Santo Juan Diego, Clinton bertanya dengan polos, “Siapa yang melukisnya?”
Monsinyur Diego Monroy menjawab singkat, “Tuhan!”.
Pertanyaan itu, meski dianggap sebagai kekeliruan diplomatik oleh sebagian
media, justru membuka ruang refleksi yang dalam: bagaimana sebuah gambar yang
lahir dari peristiwa iman pada 1531 masih mampu menggugah hati seorang pemimpin
dunia sekuler hampir lima abad kemudian?
Gambar Bunda Maria dari Guadalupe bukan sekadar karya seni. Ia adalah ikon
yang dipercaya umat Katolik sebagai hasil mukjizat: tercetak secara ajaib di
kain tilma milik Juan Diego, seorang pribumi Nahuatl yang menjadi santo pertama
dari benua Amerika. Ilmuwan dan ahli seni telah lama meneliti gambar ini, namun
banyak aspek—seperti ketahanan kain selama ratusan tahun dan refleksi wajah
manusia dalam mata Maria—masih menjadi misteri hingga kini.
Bagi umat Katolik, gambar ini bukan hanya simbol devosi, tetapi juga tanda
kehadiran Allah yang menyapa umat-Nya melalui budaya lokal. Maria menampakkan
diri sebagai perempuan pribumi, berbicara dalam bahasa Nahuatl, dan mengenakan
pakaian khas masyarakat Aztek. Ini adalah bentuk inkulturasi iman yang paling
kuat dan menyentuh.
Kunjungan Hillary Clinton ke basilika tersebut, meski singkat, menyiratkan
bahwa simbol-simbol iman Katolik memiliki daya tarik universal. Ia meletakkan
bunga putih “atas nama rakyat Amerika” dan menyalakan lilin di area doa.
Tindakan ini, meski mungkin bersifat simbolik, menunjukkan bahwa nilai-nilai
spiritual tetap memiliki tempat dalam ruang publik dan diplomasi internasional.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat ini sebagai peluang: bahwa
pewartaan kasih Allah tidak terbatas pada altar dan mimbar, tetapi juga bisa
menjangkau ruang-ruang strategis dunia. Gereja Katolik, melalui komunitas
awamnya, dipanggil untuk terus menghadirkan wajah Kristus dalam bidang sosial,
hukum, dan kemasyarakatan—bahkan di tengah dinamika politik global.
Gambar Bunda Maria dari Guadalupe adalah pengingat bahwa pewartaan tidak
selalu dilakukan dengan kata-kata. Ia bisa hadir dalam simbol, dalam tindakan
kasih, dan dalam kesaksian hidup. Komunitas kerasulan awam di Indonesia,
khususnya di Keuskupan Bogor, terus bergerak dalam semangat ini: mendampingi
masyarakat kecil, memperjuangkan keadilan, dan membangun solidaritas lintas
iman.
Ketika seorang tokoh dunia seperti Hillary Clinton bisa tergerak oleh gambar
Maria, kita diingatkan bahwa kasih Allah tidak mengenal batas. Ia hadir di mana
pun ada hati yang terbuka.
“Ia menampakkan diri kepada yang rendah hati, dan melalui mereka Ia mengubah
dunia.” — Refleksi atas Guadalupe
✍️
Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. - Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja
Katolik
#shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang #guadalupe
#bundamaria #katolikindonesia #kerasulanawam #imanlintasbudaya #kasihallah
#devosikatolik

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin