BOGOR - “Pujilah Tuhan, hai jiwaku, dan janganlah lupa segala kebaikan-Nya.” (Mazmur 103:2). Ayat ini bukan sekadar seruan pujian, tetapi sebuah perintah rohani yang mengandung kekuatan penyembuhan. Di tengah dunia yang penuh hiruk-pikuk, di mana manusia mudah lupa akan kebaikan Tuhan, Mazmur ini menjadi pengingat abadi: bahwa kasih Allah tidak pernah surut, bahkan ketika dunia tampak gelap.
Sebagai advokat yang kerap mendampingi masyarakat kecil, saya menyaksikan
betapa mudahnya manusia terjebak dalam keluhan. Ketika keadilan terasa jauh,
ketika ekonomi menekan, ketika hukum tak berpihak, banyak yang bertanya: “Di
mana Tuhan?”
Namun, di balik semua itu, saya juga melihat wajah-wajah yang tetap
bersyukur. Seorang ibu penjual sayur yang kehilangan suaminya karena kecelakaan
kerja, tetap berkata, “Tuhan baik, Pak. Saya masih bisa jualan, anak-anak masih
bisa sekolah.” Inilah iman yang hidup—iman yang tidak bergantung pada situasi,
tetapi bersandar pada kasih Yesus yang besar.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa syukur adalah bentuk tertinggi dari doa.
Dalam Katekismus (KGK 2637), disebutkan bahwa doa syukur mengakui bahwa segala
sesuatu adalah anugerah dari Allah. Maka, ketika kita mengucap syukur, kita
sedang mengakui bahwa hidup ini bukan hasil usaha semata, tetapi buah dari
kasih karunia.
Liturgi Ekaristi sendiri adalah puncak dari syukur umat Katolik. Kata
“Ekaristi” berasal dari bahasa Yunani eucharistia, yang berarti
“ucapan syukur”. Setiap kali kita merayakan Misa, kita sedang menghidupi Mazmur
103:2—memuji Tuhan dan mengingat segala kebaikan-Nya.
Di berbagai komunitas kerasulan awam, syukur tidak berhenti di bibir. Ia
menjelma menjadi aksi nyata: pelayanan kepada lansia, pendampingan hukum bagi
korban ketidakadilan, pelatihan keterampilan bagi kaum muda, hingga gerakan
pangan murah bagi masyarakat miskin kota.
Kami percaya bahwa mewartakan kasih Allah bukan hanya lewat kata-kata,
tetapi lewat perbuatan. Ketika kita mengingat kebaikan Tuhan, kita terdorong
untuk menjadi saluran kebaikan itu bagi sesama.
Kasih Yesus bukanlah teori. Ia adalah realitas yang hidup. Ia hadir dalam
pelukan seorang ibu, dalam peluh seorang pekerja, dalam senyum anak-anak
jalanan yang belajar membaca. Ketika kita membuka mata iman, kita akan melihat
bahwa kebaikan Tuhan tidak pernah berhenti mengalir.
Mazmur 103 bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk dihidupi. Mari kita
menjadi mazmur yang hidup—yang memuji Tuhan dengan tindakan, yang mengingat
kebaikan-Nya dengan pelayanan, dan yang mewartakan kasih-Nya dengan keberanian.
Oleh: Darius
Leka, S.H., M.H. – Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#shdariusleka
#reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang #mazmur103 #kerasulanawam
#syukurdalamtindakan #kasihyesusnyata #katolikuntuksemua

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin