Kalimat ini bukan sekadar slogan. Ia adalah gema dari Konsili Vatikan II
yang menegaskan bahwa setiap orang beriman, tanpa kecuali, dipanggil untuk
hidup kudus. Kekudusan bukanlah hak istimewa kaum tertahbis atau religius,
melainkan panggilan universal yang berakar dalam pembaptisan. Di sinilah kerasulan
awam menemukan tempatnya: menjadi saksi Kristus di tengah dunia, dalam
kehidupan sehari-hari, di tengah pasar, kantor, pengadilan, sekolah, dan
keluarga.
Kerasulan awam bukanlah aktivitas tambahan, melainkan jantung dari misi
Gereja. Dalam dokumen Lumen Gentium, Gereja menyebut kaum awam sebagai
“garam dunia dan terang dunia” (bdk. Mat 5:13-14). Mereka dipanggil untuk
menguduskan dunia dari dalam, bukan dengan menjauh dari dunia, tetapi dengan
menghadirkan nilai-nilai Injil di dalamnya.
Di Indonesia, khususnya dalam konteks urbanisasi dan tantangan
sosial-ekonomi yang kompleks, kerasulan awam menjadi semakin relevan. Banyak
komunitas awam Katolik kini bergerak aktif dalam bidang sosial, ekonomi, hukum,
dan kemasyarakatan. Mereka hadir di tengah masyarakat, bukan untuk menggurui,
tetapi untuk melayani—dengan semangat Injil dan cinta kasih Kristus.
Di berbagai paroki, kita menyaksikan geliat kerasulan awam yang nyata.
Komunitas-komunitas seperti WKRI, Legio Maria, OMK, dan kelompok kategorial
lainnya tidak hanya berkutat pada kegiatan internal, tetapi juga menjangkau
masyarakat luas. Mereka mendampingi keluarga miskin, mengadvokasi keadilan
sosial, mengelola koperasi umat, hingga memberikan bantuan hukum bagi yang
tertindas.
Sebagai advokat, saya menyaksikan sendiri bagaimana umat awam Katolik
terlibat dalam pembelaan hak-hak masyarakat kecil. Dalam banyak kasus,
kehadiran seorang Katolik di ruang sidang bukan hanya soal hukum, tetapi juga
soal iman yang diwujudkan dalam keadilan dan belas kasih.
Kekudusan bukanlah soal banyaknya doa atau panjangnya waktu di gereja.
Kekudusan adalah kesetiaan dalam hal-hal kecil: bekerja dengan jujur,
membesarkan anak dengan kasih, memperjuangkan keadilan di tempat kerja, dan
tidak diam saat melihat ketidakadilan. Seorang guru yang mengajar dengan hati,
seorang pedagang yang jujur, seorang ibu rumah tangga yang setia—mereka semua
adalah saksi Kristus di dunia.
Paus Fransiskus dalam Gaudete et Exsultate menulis bahwa kekudusan
adalah “jalan yang sederhana dan penuh sukacita.” Ia tidak menuntut hal-hal
luar biasa, tetapi kesetiaan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, kerasulan awam tidak tanpa tantangan. Masih banyak umat yang merasa
bahwa tugas kerasulan adalah urusan pastor dan suster. Masih ada mentalitas
“penonton” dalam kehidupan menggereja. Padahal, Gereja hanya akan hidup jika
setiap anggotanya terlibat aktif.
Maka, dibutuhkan pembinaan yang berkelanjutan, pendampingan rohani, dan
ruang partisipasi yang terbuka. Gereja harus menjadi rumah yang memberdayakan,
bukan hanya mengarahkan. Dan umat awam harus berani melangkah keluar dari zona
nyaman, masuk ke tengah dunia, dan menjadi saksi kasih Allah.
Kekudusan bukanlah milik eksklusif altar dan biara. Ia adalah panggilan bagi
setiap orang yang mencintai Tuhan dan sesama. Di tengah dunia yang penuh
tantangan, umat awam dipanggil untuk menjadi saksi harapan, pembawa damai, dan
pelayan kasih.
Mari kita jawab panggilan itu—dengan setia, dengan rendah hati, dan dengan
sukacita. Karena dunia menanti kehadiran kita. Dan Tuhan telah lebih dahulu
memanggil kita.
“Servite in Caritate – Melayanilah dalam Kasih.”
✍️
Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. - Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja
Katolik
#shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang #kerasulanawam
#gerejakatolik #kekudusanuntuksemua #serviteincaritate #imanaktif
#katolikbergerak

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin