KOTA DEPOK - Di tengah dinamika zaman yang terus berubah, saya kerap menerima pertanyaan dari umat, terutama kaum muda: “Pak Darius, apakah salah jika saya memilih untuk tidak menikah?” Pertanyaan ini bukan sekadar soal status sipil, tetapi menyentuh ranah spiritual, sosial, dan eksistensial. Maka, izinkan saya menjawabnya bukan hanya sebagai seorang advokat, tetapi sebagai seorang rasul awam yang mencintai Gereja dan umatnya.
Gereja Katolik, dalam ajarannya yang kaya dan mendalam, tidak pernah
mewajibkan umat untuk menikah. Katekismus Gereja Katolik (KGK 1618–1620)
menegaskan bahwa hidup dalam selibat atau tidak menikah demi Kerajaan Allah
adalah panggilan yang luhur. Yesus sendiri hidup selibat, dan banyak orang
kudus memilih jalan ini sebagai bentuk totalitas cinta kepada Allah dan sesama.
Namun, penting untuk membedakan antara memilih tidak menikah karena
panggilan dan menghindari pernikahan karena luka, trauma, atau
ketakutan. Yang pertama adalah panggilan suci; yang kedua membutuhkan
penyembuhan dan pendampingan pastoral.
Sayangnya, dalam masyarakat kita, masih ada stigma terhadap mereka yang
tidak menikah. Mereka dianggap “tidak laku”, “tidak normal”, atau “tidak
lengkap”. Padahal, banyak dari mereka justru menjadi pribadi yang sangat
produktif, penuh kasih, dan berkontribusi besar dalam bidang sosial, hukum,
pendidikan, dan pelayanan.
Saya mengenal seorang sahabat, seorang wanita Katolik yang memilih hidup
selibat dan mendedikasikan hidupnya untuk mendampingi anak-anak jalanan di
Jakarta. Apakah ia kurang berharga karena tidak menikah? Justru sebaliknya—ia
menjadi wajah nyata kasih Kristus di tengah dunia.
Kerasulan awam bukanlah soal status, tetapi soal panggilan untuk
mewartakan Injil dalam kehidupan sehari-hari. Baik menikah maupun tidak,
setiap orang dipanggil untuk menjadi saksi kasih Allah. Di komunitas kami, banyak
awam yang tidak menikah namun aktif dalam pelayanan sosial, advokasi hukum bagi
kaum miskin, dan pemberdayaan ekonomi umat.
Mereka tidak hanya hadir di altar, tetapi juga di pasar, pengadilan, dan
jalanan—membawa terang Kristus ke tempat-tempat yang paling gelap.
Memilih untuk tidak menikah bukanlah dosa. Yang menjadi persoalan adalah
jika hidup dijalani tanpa arah, tanpa kasih, dan tanpa pelayanan. Maka,
pertanyaannya bukan lagi “salahkah saya tidak menikah?”, tetapi “apakah hidup
saya menjadi berkat bagi sesama?”
Allah memanggil setiap orang dengan cara yang unik. Ada yang dipanggil dalam
pernikahan, ada yang dalam hidup selibat, dan ada pula yang dalam pelayanan
awam. Yang terpenting adalah menjawab panggilan itu dengan setia, dengan kasih,
dan dengan sukacita.
Oleh; Darius
Leka, S.H., M.H. – Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#shdariusleka
#reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang #kerasulanawam #panggilanhidup
#katolikuntuksemua #hidupdalamkasih #tidakmenikahbukandosa

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin