Selasa, 26 April 2011

Pilatus dan Herodes; Ketika Kekuasaan Tak Mampu Menyelamatkan Kebenaran

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK -
Dalam drama agung sengsara Tuhan kita Yesus Kristus, dua tokoh politik tampil menonjol: Pontius Pilatus dan Herodes Antipas. Keduanya adalah pemegang kekuasaan pada zamannya, namun ironisnya, justru menjadi bagian dari sistem yang menyerahkan Sang Kebenaran kepada salib. Siapakah mereka sebenarnya? Dan bagaimana dinamika kekuasaan mereka berperan dalam tragedi penyaliban Yesus?

Pontius Pilatus adalah seorang pejabat Romawi yang diangkat oleh Kaisar Tiberius pada tahun 26 Masehi sebagai wali negeri kelima di Yudea. Ia berkedudukan di Kaisarea, namun sering berada di Yerusalem, terutama saat perayaan besar Yahudi, untuk mengawasi ketertiban. Sebagai perwakilan kekaisaran, Pilatus memegang otoritas penuh atas hukum dan militer. Salah satu detasemen pasukannya bahkan ditempatkan di benteng Antonia, dekat Bait Allah (Kis. 22:23–29).

Namun, kekuasaan Pilatus tidak menjadikannya pemimpin yang tegas. Dalam kisah sengsara Yesus, ia tampak ragu, gamang, dan terombang-ambing oleh tekanan publik. Ia tahu Yesus tidak bersalah—bahkan tiga kali menyatakannya secara eksplisit (Luk. 23:4, 14, 22). Tetapi demi menjaga stabilitas politik dan menghindari kerusuhan, ia menyerah pada desakan massa. Ia memilih popularitas di atas kebenaran.

Sebagai seorang advokat, saya melihat Pilatus sebagai simbol dari sistem hukum yang gagal melindungi keadilan karena tunduk pada tekanan politik. Ia mencuci tangan, tetapi sejarah tak pernah melupakannya.

Herodes Antipas adalah putra Herodes Agung, dan memerintah wilayah Galilea dan Perea dari tahun 4 SM hingga 39 M. Ia dikenal sebagai penguasa yang licik dan haus kekuasaan. Dialah yang memenggal Yohanes Pembaptis karena kritik terhadap pernikahan tidak sahnya (Mat. 14:1–12).

Ketika Yesus dibawa ke hadapannya oleh Pilatus, Herodes justru berharap melihat mukjizat. Namun Yesus diam. Tak ada pembelaan, tak ada keajaiban. Herodes pun mengejek-Nya, memakaikan jubah indah, dan mengirim-Nya kembali ke Pilatus. Ia tidak menemukan kesalahan, tetapi juga tidak membela kebenaran.

Menariknya, peristiwa ini justru memperbaiki hubungan antara Herodes dan Pilatus yang sebelumnya bermusuhan (Luk. 23:12). Sebuah ironi sejarah: dua penguasa yang bersatu bukan karena kebenaran, tetapi karena kompromi atas ketidakadilan.

Kisah Pilatus dan Herodes adalah cermin dari dinamika kekuasaan yang rapuh. Mereka memiliki otoritas, tetapi tidak memiliki keberanian moral. Mereka tahu kebenaran, tetapi tidak membelanya. Mereka memegang palu keadilan, tetapi membiarkan suara massa menentukan nasib seorang tak bersalah.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa Gereja dipanggil untuk menjadi suara profetik di tengah dunia yang sering kali menyerupai pengadilan Pilatus: gaduh, manipulatif, dan penuh kompromi. Kita dipanggil untuk membela yang lemah, menyuarakan kebenaran, dan menolak tunduk pada tekanan yang mengorbankan nilai-nilai Injil.

Dalam setiap zaman, selalu ada Pilatus dan Herodes baru: pemimpin yang tahu kebenaran tetapi memilih diam; masyarakat yang lebih suka Barabas daripada Yesus; sistem yang lebih peduli pada stabilitas daripada keadilan.

Pertanyaannya: di mana kita berdiri? Apakah kita berani menjadi suara yang berbeda, meski tidak populer? Apakah kita siap menanggung risiko demi membela yang benar?

Yesus disalibkan bukan karena Ia bersalah, tetapi karena terlalu banyak orang yang memilih diam. Maka, marilah kita belajar dari sejarah ini. Jangan biarkan kekuasaan, kenyamanan, atau ketakutan membungkam suara hati nurani kita.

 

#pilatusdanherodes #keadilanyangterkorbankan #kerasulanawam #imandankebenaran #yesusdisalibkan #gerejayangbersuara #mewartakankasihallah #katolikaktif #salibdankeadilan #refleksipaskah

8 komentar:

  1. Tindakan Pilatus menyerahkan Yesus untuk disalib sudah menjadi kisah masa lalu. Namun tindakannya itu membawa dampak luas yaitu menimbulkan ajaran yang menjadi pondasi suatu agama ( Kristen ) yang kemudian diyakini oleh ribuan juta orang. Karena dengan Yesus disalib sampai mati dipercaya menyelamatkan manusia dari dosa.
    Bagaimana manusia yang hidup masa kini dan yang mendatang seharusnya bersikap atas tindakan Pilatus dan para pelaku penyaliban Yesus, apakah menyebut mereka sebagai yang berjasa karena telah diselamatkan dari dosa atau menyebut mereka pengkhianat karena membunuh dengan keji atas orang yang tidak bersalah (Yesus Kristus)?

    BalasHapus
  2. dua org tersangka di depan pilatus :
    1.yesus barabas
    2.yesus kristus

    nama yesus sangat banyak di yahudi sebanyak nama asep di sunda, yesus bukan nama spesial.
    Bodohnya pilatus kok bisa di dikte sm yahudi untuk membebaskan yesus barabas dan menyalib yesus kristus, padahal menurut keadaan di masa justru yg berbahaya adalah yesus barabas.
    Sungguh history yg konyol dijadikan dasar iman suatu umat.
    Wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. anda seperti katak dlm tempurung,andalah yg konyol

      Hapus
    2. urus lah saja agamamu sendiri.Patuhi apa yang IA kehendaki

      Hapus
  3. Apa bedanya hukum jahudi dah hukum roma

    BalasHapus
  4. Apa bedanya hukum jahudi dah hukum roma

    BalasHapus

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin