
Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013
KOTA DEPOK - Dalam
drama agung sengsara Tuhan kita Yesus Kristus, dua tokoh politik tampil
menonjol: Pontius Pilatus dan Herodes Antipas. Keduanya adalah pemegang
kekuasaan pada zamannya, namun ironisnya, justru menjadi bagian dari sistem
yang menyerahkan Sang Kebenaran kepada salib. Siapakah mereka sebenarnya? Dan
bagaimana dinamika kekuasaan mereka berperan dalam tragedi penyaliban Yesus?
Pontius Pilatus adalah seorang pejabat Romawi yang diangkat
oleh Kaisar Tiberius pada tahun 26 Masehi sebagai wali negeri kelima di Yudea.
Ia berkedudukan di Kaisarea, namun sering berada di Yerusalem, terutama saat
perayaan besar Yahudi, untuk mengawasi ketertiban. Sebagai perwakilan kekaisaran,
Pilatus memegang otoritas penuh atas hukum dan militer. Salah satu detasemen
pasukannya bahkan ditempatkan di benteng Antonia, dekat Bait Allah (Kis.
22:23–29).
Namun, kekuasaan Pilatus tidak menjadikannya pemimpin yang
tegas. Dalam kisah sengsara Yesus, ia tampak ragu, gamang, dan terombang-ambing
oleh tekanan publik. Ia tahu Yesus tidak bersalah—bahkan tiga kali
menyatakannya secara eksplisit (Luk. 23:4, 14, 22). Tetapi demi menjaga
stabilitas politik dan menghindari kerusuhan, ia menyerah pada desakan massa.
Ia memilih popularitas di atas kebenaran.
Sebagai seorang advokat, saya melihat Pilatus sebagai simbol
dari sistem hukum yang gagal melindungi keadilan karena tunduk pada tekanan
politik. Ia mencuci tangan, tetapi sejarah tak pernah melupakannya.
Herodes Antipas adalah putra Herodes Agung, dan memerintah
wilayah Galilea dan Perea dari tahun 4 SM hingga 39 M. Ia dikenal sebagai
penguasa yang licik dan haus kekuasaan. Dialah yang memenggal Yohanes Pembaptis
karena kritik terhadap pernikahan tidak sahnya (Mat. 14:1–12).
Ketika Yesus dibawa ke hadapannya oleh Pilatus, Herodes
justru berharap melihat mukjizat. Namun Yesus diam. Tak ada pembelaan, tak ada
keajaiban. Herodes pun mengejek-Nya, memakaikan jubah indah, dan mengirim-Nya
kembali ke Pilatus. Ia tidak menemukan kesalahan, tetapi juga tidak membela
kebenaran.
Menariknya, peristiwa ini justru memperbaiki hubungan antara
Herodes dan Pilatus yang sebelumnya bermusuhan (Luk. 23:12). Sebuah ironi
sejarah: dua penguasa yang bersatu bukan karena kebenaran, tetapi karena
kompromi atas ketidakadilan.
Kisah Pilatus dan Herodes adalah cermin dari dinamika
kekuasaan yang rapuh. Mereka memiliki otoritas, tetapi tidak memiliki keberanian
moral. Mereka tahu kebenaran, tetapi tidak membelanya. Mereka memegang palu
keadilan, tetapi membiarkan suara massa menentukan nasib seorang tak bersalah.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa Gereja
dipanggil untuk menjadi suara profetik di tengah dunia yang sering kali
menyerupai pengadilan Pilatus: gaduh, manipulatif, dan penuh kompromi. Kita
dipanggil untuk membela yang lemah, menyuarakan kebenaran, dan menolak tunduk
pada tekanan yang mengorbankan nilai-nilai Injil.
Dalam setiap zaman, selalu ada Pilatus dan Herodes baru:
pemimpin yang tahu kebenaran tetapi memilih diam; masyarakat yang lebih suka
Barabas daripada Yesus; sistem yang lebih peduli pada stabilitas daripada
keadilan.
Pertanyaannya: di mana kita berdiri? Apakah kita berani
menjadi suara yang berbeda, meski tidak populer? Apakah kita siap menanggung
risiko demi membela yang benar?
Yesus disalibkan bukan karena Ia bersalah, tetapi karena
terlalu banyak orang yang memilih diam. Maka, marilah kita belajar dari sejarah
ini. Jangan biarkan kekuasaan, kenyamanan, atau ketakutan membungkam suara hati
nurani kita.
#pilatusdanherodes #keadilanyangterkorbankan #kerasulanawam #imandankebenaran #yesusdisalibkan #gerejayangbersuara #mewartakankasihallah #katolikaktif #salibdankeadilan #refleksipaskah
Tindakan Pilatus menyerahkan Yesus untuk disalib sudah menjadi kisah masa lalu. Namun tindakannya itu membawa dampak luas yaitu menimbulkan ajaran yang menjadi pondasi suatu agama ( Kristen ) yang kemudian diyakini oleh ribuan juta orang. Karena dengan Yesus disalib sampai mati dipercaya menyelamatkan manusia dari dosa.
BalasHapusBagaimana manusia yang hidup masa kini dan yang mendatang seharusnya bersikap atas tindakan Pilatus dan para pelaku penyaliban Yesus, apakah menyebut mereka sebagai yang berjasa karena telah diselamatkan dari dosa atau menyebut mereka pengkhianat karena membunuh dengan keji atas orang yang tidak bersalah (Yesus Kristus)?
dua org tersangka di depan pilatus :
BalasHapus1.yesus barabas
2.yesus kristus
nama yesus sangat banyak di yahudi sebanyak nama asep di sunda, yesus bukan nama spesial.
Bodohnya pilatus kok bisa di dikte sm yahudi untuk membebaskan yesus barabas dan menyalib yesus kristus, padahal menurut keadaan di masa justru yg berbahaya adalah yesus barabas.
Sungguh history yg konyol dijadikan dasar iman suatu umat.
Wkwkwk
anda seperti katak dlm tempurung,andalah yg konyol
Hapusurus lah saja agamamu sendiri.Patuhi apa yang IA kehendaki
HapusAp
BalasHapusApa bedanya hukum jahudi dah hukum roma
BalasHapusApa bedanya hukum jahudi dah hukum roma
BalasHapusAp
BalasHapus