Oleh: RP. Tauchen Hotlan Girsang, OFM |
Tak dapat dipungkiri bahwa tradisi ekaristi berasal dari tradisi perjamuan Yahudi. Kita tahu bahwa menyembelih domba jantan adalah tradisi bangsa Israel sewaktu menjadi penggembala ternak. Memakan roti tak beragi adalah tradisi bangsa Israel sewaktu menjadi petani di Kanaan. Keduanya digabungkan dalam perjamuan PASSAH (Tuhan lewat menyelamatkan). Perjamuan PASSAH ini juga diadakan oleh Yesus. Tetapi berbeda bahan perjamuan yang digunakan, bukan domba dan roti tak beragi, melainkan TUBUH dan DARAH-NYA sendiri.
Hari ini kita merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. Tentang hal ini, Injil Yohanes (6:51) menuliskan kata-kata Yesus demikian: Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” Kata-kata ini memang sukar untuk ditangkap dengan pikiran. Kata-kata ini perlu ditangkap dengan iman. Jika kata-kata itu dicerna dengan pikiran, maka sulitlah untuk diterima. Sebab, seperti pertanyaan orang Yahudi yang menggunakan pikiran itu: Bagaimana mungkin Dia memberikan tubuh-Nya untuk dimakan? Jika kita memikirkannya, maka kita akan merasa begitu ngeri dan miris. Kita seakan-akan menjadi manusia kanibal si pemakan daging manusia. Tentulah, Yesus memberikan diri-Nya sebagai roti kehidupan bukan dimaksudkan agar kita menjadi manusia kanibal. Roti surga yang adalah daging-Nya itu merupakan santapan jiwa kita. Di dalam pemberian diri itu, Dia hadir sebagai Tuhan.
Itulah yang terjadi juga di dalam ekaristi. Kita tahu bahwa bahan persembahan yang ada di altar adalah roti dan anggur. Namun, berkat tangan imam, roti dan anggur itu diubah menjadi tubuh dan darah-Nya. Kalau kita menangkap peristiwa ini dengan pikiran, maka yang terjadi adalah kemandegan dan rasa jenuh, hampa tanpa makna dan sia-sia belaka. Mengapa? Karena pikiran kita bisa saja tertuju kepada si imam dengan seluruh kemanusiaannya. Kita barangkali akan berkata: “Ah...imam itu kan juga manusia. Ia sama seperti kita. Dia juga berdosa. Karena itu, aku tidak bisa bertemu dengan Yesus kalau dia yang pimpin misa.” Inilah yang terjadi kalau kita menangkap ekaristi dengan pikiran kita. Tapi, marilah kita mencoba menangkapnya dengan iman.
Pasti ada perbedaan.
Yang pertama sekali adalah bahwa sekalipun ekaristi dipimpin oleh seorang imam yang paling malang di dunia ini, yang paling berdosa, di sana Tuhan tetap hadir. Di sini perlu mata iman kita selalu awas dan tajam. Di sini terletak pusat dari iman kita. Yesus yang adalah Tuhan, mau hadir dalam rupa yang sederhana, roti dan anggur.
Dia mau hadir juga melalui tangan imam yang berdosa. Yang kedua, melalui ekaristi Tuhan memperlihatkan kerendahan diri-Nya yang begitu mendalam. Tuhan merendah agar Dia bisa dikenali lebih dekat, lebih menyatu, dan lebih menguatkan. Pandangan inilah yang perlu kita amini selalu dan selalu. Siapa pun imamnya yang merayakan ekaristi, di sana Tuhan selalu hadir. Dia mengajarkan kita kerendahan. Agar setelah kita bersatu dengan-Nya, kita semakin menjadi manusia yang rendah hati. Tuhan mau merendahkan diri karena kasih-Nya yang begitu besar atas kita. Patutlah kita bertanya pada diri kita. Apakah aku mengalami perjumpaan dengan Tuhan ketika mengikuti perayaan ekaristi? Bagaimanakah sikapku ketika mengikuti ekaristi? Tuhan memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin