Oleh: Rm. Tauchen Hotlan Girsang, OFM |
Dewasa ini semakin disadari bahwa kehidupan umat katolik pada umumnya dilanda tiga krisis besar. Krisis yang pertama adalah krisis pengalaman akan Allah. Krisis yang kedua adalah krisis kesadaran sebagai anggota gereja. Krisis yang ketiga adalah krisis moral. Hal ini masih diperparah lagi oleh krisis pengetahuan tentang ajaran iman katolik.
Krisis tersebut ditandai oleh semakin banyak kita temukan orang yang menganggap hal-hal yang berkaitan dengan iman yang seakan tidak perlu lagi mendapatkan perhatian yang serius. Bahkan beberapa orang sudah terang-terangan mengatakan alergi dengan hal-hal rohani. Berbagai kegiatan yang berbau rohani atau spiritual seperti: rekoleksi, retret, pendalaman iman, katekese, renungan kitab suci, mulai ditinggalkan. Orang beralih kepada iman yang instan, yang serba cepat, yang tak perlu perjuangan, yang tak perlu proses, yang tak perlu kesetiaan, yang tak perlu pengorbanan.
Apakah kondisi ini sudah sangat mengkhawatirkan? Apakah kita merasa tak nyaman apabila hanya sebagian kecil dari umat yang bisa berkumpul? Bukankah kualitas (iman yang bermutu) lebih penting daripada kuantitas (jumlah yang banyak)?
Bacaan Injil hari ini berkisah tentang Yesus memberi makan kepada orang banyak (Mat 14:13-21). Alur cerita bermula dari Yesus hendak berlayar ke tempat yang terpencil untuk menyendiri. Tetapi gagal karena orang banyak mengejar-Nya melalui jalan darat. Sesampai di darat Yesus tidak bisa menyendiri. Melihat orang banyak itu Yesus merasa kasihan. Sikap Yesus ini sangat penting dan mendasar. Ternyata keajaiban selalu bersal dari kasih.
Seperti dikisahkan dalam percakapan antara Yesus dan para murid-Nya. Suasana yang melukiskan tentang keadaan kritis, seperti: hari sudah jauh malam, tempat terpencil jauh dari kota, orang banyak tanpa bekal. Yesus dan para murid menjadi harapan dalam memberikan solusi untuk memecahkan persoalan/ keadaan ini.
Dalam situasi bingung dan tidak mau bertanggungjawab maka para murid pun mengusulkan agar orang banyak disuruh pergi mengurus dirinya sendiri. Tetapi usulan mereka ditolak oleh Yesus. Bahkan Yesus mengusulkan agar para murid memberi mereka makan. Sesuatu yang mustahil terjadi ditengah keterbatasan yang ada. Mereka hanya memiliki lima roti dan dua ikan.
Roti dan ikan ibaratnya “nasi dan lauk” rakyat Palestina. Ketika murid-murid menyerahkannya kepada Yesus, Yesus memperlihatkan kuasa-Nya. Ini dibuat Yesus untuk menyadarkan murid yang kurang sadar akan tanggungjawabnya. Juga untuk membuat para murid percaya karena mereka masih kurang percaya. Hal itu tampak pada saat Yesus melibatkan mereka dalam pembagian roti dan ikan. Sekaligus Yesus mengubah keadaan kritis dan mustahil menjadi keadaan penuh rahmat dan berkelimpahan.
Ajaran yang penting kita simak dalam kisah Yesus memberi orang banyak makan adalah fokus perhatian Yesus pada murid-murid. Mereka masih kurang sadar akan tanggungjawabnya. Mereka juga masih kurang percaya akan kuasa yang diberikan Yesus kepada mereka. Mereka kurang sadar bahwa bersama Dia mereka akan kuat. Yesus menghendaki iman para murid bermutu.
Kita pun memiliki panggilan yang sama. Kita perlu memiliki iman yang bermutu. Kita perlu yakin bahwa bersama Dia kita kuat. Marilah kita sadar akan tanggungjawab kita sebagai murid Yesus. Marilah kita percaya pada kuasa yang diberikan-Nya. Tuhan memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin