Jumat, 09 Desember 2011

Dari Magelang ke Altar; Kisah Panggilan dan Pengabdian Pastor Agustinus Anton Widarto, OFM

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK
- Sabtu sore, 3 September 2011, menjadi momen yang tak terlupakan bagi umat Paroki St. Paulus Depok. Dalam Misa pukul 17.30 WIB, umat menyambut dengan sukacita Misa Perdana Pastor Agustinus Anton Widarto, OFM, yang baru saja ditahbiskan oleh Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta. Misa ini menjadi perayaan iman dan syukur atas panggilan hidup imamat yang dijawab dengan penuh keberanian dan kerendahan hati oleh putra Magelang ini.

Lahir pada 8 April 1983 dari pasangan FX. Srinyoto dan Fransiska Romana Sriwarti, Pastor Anton adalah anak kedua dari dua bersaudara. Sejak kecil, benih panggilan hidup membiara telah tumbuh dalam dirinya. Ketertarikannya semakin kuat ketika ia berkenalan dengan seorang bruder yang memperkenalkannya pada kehidupan religius. Namun, jalan menuju altar tidak selalu mulus. Orangtuanya sempat menolak keputusannya karena kekhawatiran akan kesepian di masa tua. Namun, cinta yang tulus dan keteguhan hati Anton akhirnya meluluhkan hati mereka.

Setelah menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 1 Muntilan dan SMA Negeri Magelang, ia melanjutkan ke Seminari Menengah Martoyudan pada tahun 2001. Tahun berikutnya, ia menjalani masa postulan di Yogyakarta, dan kemudian menempuh studi Filsafat dan Teologi di Jakarta dari 2004 hingga 2010.

Selama masa diakonatnya di Paroki St. Paulus Depok, Pastor Anton merasakan dukungan yang luar biasa dari umat dan para imam. “Bersyukur diterima di paroki ini. Pastor paroki selalu mengingatkan dan memotivasi saya untuk menyapa umat,” ujarnya. Ia mengutip pesan St. Fransiskus Asisi: “Perbaikilah gerejamu,” sebagai inspirasi untuk terlibat aktif dalam kehidupan komunitas.

Dalam homilinya yang singkat namun menyentuh, ia berkata, “Orang baik adalah orang yang berani memperbaiki kesalahannya. Terima kasih atas perhatian dan dukungan atas panggilan saya.” Ucapan ini mencerminkan kerendahan hati dan kesadaran akan pentingnya pertobatan dan pembaruan diri dalam panggilan hidup imamat.

Kini, Pastor Anton mengemban tugas sebagai pengelola keuangan di Provinsi OFM Indonesia. Sebuah tanggung jawab besar yang dijalani dengan semangat pelayanan dan kesetiaan.

Keputusannya bergabung dengan Ordo Fratrum Minorum (OFM) bukan tanpa alasan. Sejak masa novisiat di Transitus Depok (2003–2004), ia merasakan kedekatan spiritual dengan semangat St. Fransiskus Asisi. “Saya yakin ada maksud Tuhan di balik semua ini. Nama besar St. Fransiskus Asisi menjadi inspirasi saya,” ungkapnya.

Sebagai imam Fransiskan, ia tidak hanya menjalani hidup doa dan pelayanan, tetapi juga menjadi bagian dari komunitas yang hidup dalam kesederhanaan, persaudaraan, dan cinta terhadap ciptaan.

Kepada Orang Muda Katolik (OMK) St. Paulus Depok, Pastor Anton menyampaikan pesan yang tegas namun penuh kasih. “Kaum muda adalah masa depan Gereja. Mereka harus lebih dewasa. Jika melihat sesuatu yang dianggap tradisional atau ketinggalan zaman, jangan hanya mengkritik. Lakukan sesuatu. Bangun komunikasi. Terima kritik dan teguran dengan hati terbuka.”

Pesan ini menjadi pengingat bahwa Gereja bukan hanya tempat ibadah, tetapi ruang pertumbuhan dan keterlibatan. Kaum muda dipanggil bukan hanya untuk hadir, tetapi untuk berkontribusi.

Dalam acara ramah tamah, Pastor Stanislaus Agus Haryanto, OFM, menyampaikan pesan mendalam: “Menjadi imam membutuhkan waktu lama, sekitar 10–11 tahun. Jangan merasa paling super. Imam hadir untuk melayani, bukan dilayani.”

Kisah Pastor Anton adalah kisah tentang panggilan, perjuangan, dan pengabdian. Ia adalah saksi bahwa jalan menuju altar bukanlah jalan yang mudah, tetapi penuh rahmat. Dan bagi kita semua, kisah ini menjadi undangan untuk terus mendukung panggilan hidup membiara, serta menjadi bagian dari Gereja yang hidup, dinamis, dan penuh kasih.

 

#panggilanimamat #pastorantonwidartoofm #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imanyanghidup #omkberkarya #fransiskanindonesia #pelayananbukankekuasaan #menjadiimamadalahpilihan

Yohanes Pembaptis; Nabi yang Membuka Jalan dan Menyusutkan Diri

Oleh: Fr. Leonardus Hambur, OFM, yang kini sedang menjalan Tahun Orientasi Pastoral di Paroki Santo Paulus Depok

KOTA DEPOK
- Dalam sejarah keselamatan, nama Yohanes Pembaptis tidak pernah tenggelam. Ia bukan hanya tokoh transisi antara Perjanjian Lama dan Baru, tetapi juga menjadi figur profetik yang menggetarkan hati dan menggugah kesadaran. Ia bukan nabi biasa. Ia adalah suara yang berseru-seru di padang gurun, mempersiapkan jalan bagi Tuhan. Dan lebih dari itu, ia adalah teladan kerendahan hati yang radikal.

Yesus sendiri memberikan kesaksian yang luar biasa tentang Yohanes. “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis” (Mat 11:11). Namun, Yohanes tidak pernah menepuk dada. Ia tidak membangun panggung untuk dirinya. Ia justru berkata, “Ia (Yesus) harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh 3:30).

Dalam dunia yang haus akan pengakuan dan sorotan, Yohanes tampil sebagai anomali. Ia hidup di padang gurun, mengenakan pakaian dari bulu unta, dan makan belalang serta madu hutan. Ia tidak mencari kenyamanan, apalagi popularitas. Ia tidak tertarik menjadi pusat perhatian. Ia tahu siapa dirinya: bukan Mesias, bukan Elia, bukan nabi besar yang ditunggu-tunggu. Ia hanyalah suara. Suara yang memanggil pertobatan. Suara yang menunjuk kepada Sang Terang.

Yesus mengajukan pertanyaan retoris kepada orang banyak: “Untuk apakah kamu pergi ke padang gurun? Melihat buluh yang digoyangkan angin? Melihat orang berpakaian halus?” Tidak. Mereka pergi untuk melihat nabi. Dan bukan sembarang nabi, melainkan utusan yang mempersiapkan jalan bagi Tuhan.

Yohanes adalah pribadi yang tahu tempatnya. Ia tidak mengambil kemuliaan yang bukan miliknya. Ia tidak membiarkan orang-orang mengkultuskannya. Ia menolak semua klaim kebesaran. Ia tahu bahwa tugasnya adalah membuka jalan, bukan menjadi tujuan. Ia tahu bahwa dirinya hanyalah lentera, bukan cahaya itu sendiri.

Namun, kerendahan hatinya tidak membuatnya lemah. Ia adalah nabi yang berani. Ia mengkritik ketidakadilan, bahkan kepada penguasa. Ia menegur Herodes karena mengambil istri saudaranya, dan karena itu ia dipenjara dan akhirnya dipenggal. Tapi Yohanes tidak pernah mundur. Ia tetap setia pada kebenaran, meski harus membayar dengan nyawa.

Dalam masa Advent ini, Yohanes mengajak kita untuk menyiapkan jalan bagi Tuhan—bukan di padang gurun, tetapi di hati kita. Ia mengajak kita untuk merendahkan diri, membersihkan hati dari kesombongan, dan membuka ruang bagi Kristus untuk lahir. Sebab Yesus tidak lahir di istana, tetapi di kandang yang sederhana. Maka, hanya hati yang sederhana yang mampu menyambut-Nya.

Sebagai umat Katolik, kita dipanggil untuk menjadi seperti Yohanes: menjadi suara yang menghadirkan terang Kristus bagi mereka yang menderita, tersingkir, tertawan, dan miskin. Kita dipanggil untuk berkarya bukan demi kemuliaan pribadi, tetapi demi kemuliaan Allah. Kita dipanggil untuk menjadi besar dalam kerendahan hati, bukan dalam kesombongan.

Pertanyaan reflektif untuk kita semua: Apakah kita siap menjadi kecil agar Kristus semakin besar? Apakah kita bersedia menjadi suara yang memudar agar terang Kristus bersinar? Apakah kita cukup rendah hati untuk mengakui bahwa kita hanyalah utusan, bukan tujuan?

Yohanes Pembaptis telah menunjukkan jalannya. Kini giliran kita untuk melanjutkan jejaknya.

 

#yohanespembaptis #advent #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imanyanghidup #kerendahanhati #yesussemakinbesar #suaradipadanggurun #pewartakebenaran

Selasa, 06 Desember 2011

Bahtera di Tengah Kabut; Menyikapi Perkawinan Campur dalam Terang Iman Katolik

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK - Perkawinan adalah perjumpaan dua pribadi yang berkomitmen untuk saling mencintai dan mengarungi kehidupan bersama. Namun dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, perjumpaan itu kerap kali melintasi batas-batas agama. Maka, tak mengherankan jika angka perkawinan campur—terutama beda agama—terus meningkat. Data Keuskupan Bogor mencatat bahwa antara tahun 2009 hingga 2011, angka perkawinan campur mencapai 34,04%, tertinggi di Asia. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin dari dinamika sosial dan tantangan pastoral yang nyata.

Minggu, 19 November 2011, Komisi Keluarga Dekenat Utara Keuskupan Bogor menyelenggarakan Seminar Kawin Campur di Gereja Katolik St. Thomas Kelapa Dua, Depok. Mengangkat tema “Bahtera di Tengah Kabut”, seminar ini menjadi ruang refleksi dan diskusi terbuka bagi umat Katolik yang sedang atau akan menghadapi realitas perkawinan beda agama.

Dalam sambutannya, Yohanes Handoyo, Ketua Panitia sekaligus Ketua Seksi Kerasulan Keluarga St. Markus Depok Timur, mengibaratkan rumah tangga sebagai bahtera yang harus siap menembus kabut. “Kabut pasti ada dalam perkawinan. Pertanyaannya: apakah kita sudah mempersiapkan bahtera itu dengan baik?” ujarnya.

Acara ini dihadiri oleh 213 peserta dari enam paroki se-Dekenat Utara, termasuk 55 pasangan suami istri dan 80 Orang Muda Katolik. Hadir pula para pastor, di antaranya RD Antonius Dwi Haryanto dan RD Andreas Bramantyo, serta para pembicara kompeten seperti RP. Andang L. Binawan, SJ, RD Alfons Sutarno, dan psikolog Dra. Ratih Ibrahim, MM, Psi.

Gereja Katolik tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa perkawinan campur akan terus terjadi. Namun, Gereja juga tidak tinggal diam. Dalam dokumen Familiaris Consortio (78), Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa perkawinan campur adalah situasi pastoral yang sulit (situazione irregolare) dan memerlukan perhatian khusus.

RP. Andang L. Binawan, SJ, menyampaikan dengan lugas, “Pernikahan beda agama akan terjadi konflik besar. Untuk itu, selamat berjuang.” Sebuah pernyataan yang bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk menyadarkan bahwa cinta saja tidak cukup. Diperlukan kesiapan iman, komunikasi, dan komitmen yang matang.

RD Alfons Sutarno menambahkan bahwa sejarah Gereja di Asia menunjukkan betapa beratnya pergumulan dalam menghadapi perkawinan campur. “Iman bisa tergerus jika tidak dipersiapkan dengan baik,” tegasnya. Ia mengajak kaum muda untuk berpikir realistis dan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap iman dan keluarga.

Tiga narasumber perempuan—Anastasia Irene, Editha Yuli, dan Sri Hasnawati—berbagi kisah nyata mereka. Ibu Editha Yuli menyebut pernikahannya sebagai “yang terburuk dari yang paling buruk.” Sementara Ibu Anastasia Irene mengaku menyesal karena mengabaikan dampak buruk dari perkawinan campur dan akhirnya memilih berpisah demi iman dan anak-anaknya.

Namun, tidak semua kisah berakhir pahit. Ibu Sri Hasnawati justru menemukan kebahagiaan dalam perkawinannya. “Kuncinya adalah doa dan usaha yang terus-menerus. Dalam pelayanan di gereja dan lingkungan, saya selalu bersama,” ungkapnya. Kisah ini menunjukkan bahwa meski sulit, bukan tidak mungkin membangun keluarga lintas iman yang harmonis—asal ada komitmen dan dukungan komunitas.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa tugas kita bukan menghakimi, tetapi mendampingi. Gereja harus hadir sebagai ibu yang bijak—tegas dalam ajaran, tetapi penuh kasih dalam pendekatan. Kita perlu menciptakan ruang dialog yang jujur dan terbuka, di mana kaum muda bisa bertanya, berdiskusi, dan menemukan terang dalam kebingungan mereka.

Seminar ini adalah langkah konkret ke arah itu. Ia bukan solusi instan, tetapi benih kesadaran. Bahwa perkawinan bukan hanya soal cinta, tetapi juga iman. Bahwa bahtera rumah tangga harus dibangun di atas dasar yang kokoh, agar mampu menembus kabut zaman.

Perkawinan campur adalah realitas yang tak bisa dihindari. Namun, Gereja dan umatnya tidak boleh menyerah. Kita harus terus membina, mendampingi, dan mendoakan. Karena pada akhirnya, yang menyelamatkan bukanlah keseragaman, tetapi kesetiaan. Kesetiaan pada iman, pada pasangan, dan pada Tuhan.

 

#kawincampur #kerasulankeluarga #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imandanperkawinan #bahteraditengahkabut #familiarisconsortio #omkberpikirmatang #keluargakatolik #seminarkawincampur

Rekoleksi Misdinar; Menyalakan Semangat Pelayanan Sejak Dini

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK
-Dalam dunia yang semakin pragmatis dan serba instan, menemukan anak-anak muda yang bersedia melayani di altar adalah anugerah yang tak ternilai. Mereka bukan hanya pelengkap liturgi, tetapi wajah Gereja yang hidup. Pada Minggu, 6 November 2011, sebanyak 75 misdinar dari Paroki Santo Paulus dan Santo Matius Depok Tengah berkumpul dalam sebuah rekoleksi bersama di Novisiat Transitus Depok. Sebuah momentum yang bukan hanya membekali, tetapi juga menyegarkan kembali semangat pelayanan mereka.

Rekoleksi yang berlangsung dari pukul 11.00 hingga 15.00 WIB ini dipandu oleh tiga frater OFM: Frater Leon, Frater Edu, dan Frater Epa. Kegiatan diawali dengan doa pembuka dan sesi perkenalan yang hangat. Para peserta dibagi ke dalam tujuh kelompok kecil, masing-masing dinamai dengan nama binatang peliharaan—sebuah pendekatan kreatif untuk membangun keakraban dan dinamika kelompok.

Sesi pertama yang dipandu Frater Leon membahas secara mendalam tentang siapa itu misdinar dan apa tugasnya. Bukan sekadar mengenakan jubah dan membawa lilin, tetapi menjadi pelayan altar yang memahami makna liturgi dan spiritualitasnya. Sesi ini diselingi dengan tanya jawab dan permainan interaktif yang dipandu Frater Epa, menciptakan suasana yang hidup dan menyenangkan.

Setelah doa Angelus dan makan siang bersama, sesi kedua dimulai dengan nyanyian dan permainan yang kembali membangkitkan semangat. Frater Leon kemudian melanjutkan dengan materi tentang spiritualitas misdinar. Ia menekankan bahwa pelayanan di altar bukan sekadar rutinitas, tetapi panggilan untuk menghadirkan Kristus dalam tindakan sederhana.

Materi tentang “pirus misdinar”—nilai-nilai dasar yang harus dimiliki seorang pelayan altar—juga dibahas. Di antaranya: kesetiaan, tanggung jawab, kerendahan hati, dan semangat pengorbanan. Para peserta diajak untuk merenungkan kembali motivasi mereka melayani dan bagaimana mereka dapat menjadi teladan di tengah komunitas.

Menjelang akhir kegiatan, perwakilan dari kedua paroki menyampaikan kesan dan pesan. Suara-suara yang muncul mencerminkan kegembiraan, rasa syukur, dan harapan agar kegiatan seperti ini dapat terus berlanjut. Rekoleksi ini bukan hanya mempererat persaudaraan antar misdinar, tetapi juga memperdalam pemahaman mereka akan tugas suci yang mereka emban.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat bahwa kegiatan seperti ini adalah investasi jangka panjang Gereja. Misdinar bukan hanya pelayan altar, tetapi calon-calon pemimpin umat, pewarta, bahkan mungkin imam dan biarawan di masa depan. Mereka perlu dibina, didampingi, dan diberi ruang untuk bertumbuh dalam iman dan pelayanan.

Rekoleksi ini adalah bukti bahwa Gereja tidak tinggal diam. Ia hadir, membina, dan menumbuhkan. Ia menanam benih-benih panggilan dalam hati anak-anak muda yang bersedia berkata “ya” kepada Tuhan, bahkan dalam hal-hal kecil.

Kepada semua pihak yang telah mendukung terselenggaranya rekoleksi ini—para frater, panitia, orang tua, dan para pendamping—kami ucapkan terima kasih. Semoga semangat pelayanan yang telah ditanam hari ini terus tumbuh dan berbuah dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat.

Karena di sekitar altar, bukan hanya lilin yang menyala. Tetapi juga hati yang terbakar oleh kasih dan semangat untuk melayani.

 

#rekoleksimisdinar #pelayanaltar #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imanyanghidup #melayanidengansukacita #misdinarstpaulus #misdinarstmatius #semangatpelayanansejakdini

Di Sekitar Altar; Misdinar dan Semangat Pelayanan Sejak Dini

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK
- Minggu pagi, 20 November 2011, menjadi hari yang penuh sukacita dan haru bagi keluarga besar Paroki St. Paulus Depok. Dalam Misa kedua pukul 08.00 WIB, sebanyak 28 anak dilantik menjadi Misdinar baru oleh Pastor Paroki, Pater Tauchen Hotlan Girsang, OFM. Mereka adalah wajah-wajah muda yang telah melewati proses pembinaan dan pelatihan selama lima bulan—sebuah proses panjang yang menuntut komitmen, kedisiplinan, dan semangat pelayanan.

Dari sekitar 40 anak yang mendaftar, hanya 28 yang bertahan hingga akhir. Ini bukan sekadar angka, tetapi cerminan dari proses pemurnian niat dan ketekunan. Dalam dunia yang serba instan, kesediaan anak-anak ini untuk bertumbuh dalam pelayanan adalah tanda harapan bagi Gereja.

Misa pagi itu diawali dengan perarakan dari halaman gereja. Para calon misdinar mengenakan jubah merah, didampingi oleh misdinar senior seperti Michael dan Selvi. Suasana liturgi menjadi lebih hidup, bukan hanya karena warna-warni jubah, tetapi karena semangat yang terpancar dari wajah-wajah muda yang siap melayani.

Dalam homilinya, Pastor Tauchen menyampaikan pesan yang menyentuh dan membumi. “Para misdinar yang dilantik tahun ini kecil-kecil. Tapi semoga semangat pelayanannya sangat besar, tidak sekecil badannya,” ujarnya disambut senyum hangat umat. Ia juga menyinggung tantangan geografis yang dihadapi anak-anak yang tinggal di Citayam. “Kalau bertugas pukul 06.00, mereka harus berangkat jam 05.00 karena macet. Ini pengorbanan yang luar biasa.”

Pastor Tauchen tak lupa menyampaikan terima kasih kepada para orang tua. “Tanpa dukungan mereka, Perayaan Ekaristi tidak bisa berjalan dengan baik,” katanya. Pernyataan ini bukan basa-basi. Dalam kerasulan awam, keluarga adalah ladang pertama tempat iman ditanam dan tumbuh. Ketika orang tua mendukung anaknya menjadi misdinar, mereka sedang menanam benih pelayanan yang akan tumbuh menjadi pohon panggilan hidup.

Menjadi misdinar bukan sekadar tugas liturgis. Ia adalah sekolah pelayanan. Di sekitar altar, anak-anak belajar tentang disiplin, tanggung jawab, dan spiritualitas. Mereka belajar bahwa melayani bukan soal dilihat, tetapi soal memberi. Bahwa altar bukan panggung, tetapi tempat perjumpaan dengan Kristus.

Setelah misa, para misdinar baru mengikuti sesi perkenalan dan dinamika kelompok. Acara ditutup dengan makan siang bersama—sebuah momen sederhana yang mempererat persaudaraan dan semangat kolegialitas.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa pelantikan misdinar bukan hanya seremoni tahunan. Ia adalah pernyataan iman. Bahwa Gereja tidak pernah kehabisan pelayan. Bahwa di tengah dunia yang sibuk dan bising, masih ada anak-anak yang mau bangun pagi, mengenakan jubah, dan berdiri di sekitar altar.

Proficiat kepada para misdinar baru Paroki St. Paulus Depok. Semoga kalian menjadi lilin-lilin kecil yang menerangi dunia dengan semangat pelayanan dan kasih Kristus.

 

#misdinarstpaulusdepok #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imanyanghidup #pelayanansejakdini #anakanakpelayanaltar #semangatliturgi #proficiatmisdinarbaru #menjadiberkat