Selasa, 06 Desember 2011

KAWIN CAMPUR; BAHTERA DI TENGAH KABUT

Angka perkawinan campur meningkat!
Sebagai umat minoritas sangat dimungkinkan terjadinya perkawinan campur. Perkawinan campur beda agama tentu menjadi sesuatu hal yang tak terhindarkan dan pasti akan terus terjadi. Berdasarkan data statistik tahun 2009 hingga 2011 tercatat angka perkawinan campur di Keuskupan Bogor meningkat mencapai angka 34,04%.Hal ini menunjukan bahwa perkawinan campur beda agama/ gereja di Keuskupan Bogor mendapat rangking satu di Asia. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya.

Hal ini Gereja harus tetap realistis. Namun berbagai upaya untuk memperkecil angka ini, baik dari tingkat Keuskupan maupun tingkat Dekenat/ paroki terus dilakukan. Usaha ini seperti yang dilakukan oleh Komisi Keluarga Dekenat Utara-Keuskupan Bogor yang menyelenggarakan Seminar Kawin Campur di Gereja Katolik St. Thomas Kelapa Dua Depok, Minggu (19/11). Seminar yang mengangkat tema BAHTERA DI TENGAH KABUT menurut Bapak Yohanes Handoyo dalam sambutannya mengatakan “rumah tangga ibarat bahtera yang akan melewati kabut. Apakah kabut ini akan menjadi cerah atau semakin tebal. Jika dipaksakan apakah kemungkinan akan berjalan mulus atau tertabrak karang? Kabut pasti tetap ada dalam perkawinan kita, apakah kita sudah mempersiapkannya secara baik sebelumnya?“ demikian pernyataan yang sampaikan Ketua Panitia Pelaksana sekaligus Ketua Seksi Kerasulan Keluarga St. Markus Depok Timur.

Tampak hadir RD Antonius Dwi Haryanto pastor paroki St. Markus Depok Timur, menunjukan seminar ini didukung dan difasilitasi oleh para pastor serta kerjasama yang baik dari tim Seksi Kerasulan Keluarga se-Dekenat Utara. Bapak Adi Kurdi dan Taru Guritno sebagai moderator dalam kegiatan ini menghadirkan para pembicara handal diantaranya RP. Andang L. Binawan, SJ, RD Alfons Sutarno dan Dra. Ratih Ibrahim, MM, Psi.

Seminar yang dilaksanakan sejak pukul 09.00 hingg 16.00 WIB itu dihadiri sekitar 213 peserta berasal dari Paroki St. Matias Cinere, Paroki St. Herkulanus, Paroki St. Paulus, Paroki St. Matheus, Paroki St. Markus dan Paroki St. Thomas. Mereka terdiri dari 55 pasutri, 80 Orang Muda Katolik se-Dekenat Utara dan 23 orang dari kepanitiaan. Secara resmi acara ini dibuka oleh RD. Andreas Bramantyo selaku Pastor Deken Dekenat Utara.

Terjadi Konflik Besar
Perkawinan bukan sekedar hidup bersama berdua.Perkawinan adalah sebuah proyek berdua antara laki-laki dan perempuan yang sepakat untuk saling mencintai dan saling memberikan diri yang dilandasi oleh cinta yang murni dan utuh. Artinya siap menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya. Jika terjadi konflik hal itu masih dalam batas wajar. Namun alasan penting bagi gereja Katolik melarang terjadinya perkawinan campur karena sangat membayakan iman. Selain itu persoalan yang tidak bisa dikompromikan.

Pada dasarnya setiap agama melarang atau setidaknya memberi warning (peringatan) keras dengan syarat-syarat yang ketat bagi yang akan menikah beda agama. Dalam konteks ini kita berbenturan dengan situasi keragaman agama dalam masyarakat majemuk seperti sekarang ini. Meski dilarang atau diperingatkan, perkawinan campur tidak bisa dicegah secara total. Namun RP. Andang L. Binawan, SJ mengatakan “Pernikahan beda agama akan terjadi konflik besar untuk itu selamat berjuang”, ungkap pastor yang bertugas sebagai anggota tribunal di Keukupan Agung Jakarta.

Sehubungan dengan kawin campur, sejarah menunjukan bagaimana gereja terutama gereja Asia, RD Alfonsus Sutarno mengatakan mereka harus bergumul dengan kesulitan-kesulitan dimana perkawinan campur sangat membahayakan iman. Seperti dalam Familiaris Consortio (78) menempatkan Pastoral Kawin Campur sebagai reksa pastoral keluarga dalam kasus sulit (situazione irregolare). Dan mereka harus memerlukan perhatian pastoral yang serius”. Selain itu kaum muda diharapkan untuk memperhitungkan secara matang dan realistis demi iman dan kesejahteraan keluarga sebelum memilih kawin campur, harapnya.

Kegelisahan itu dialami oleh Ibu Anastasia Irene, Ibu Editha Yuli dan Ibu Sri Hasnawati. Ketiganya adalah narasumber perkawinan beda agama yang bersedia berbagi suka dukanya dalam hidup berkeluarga beda agama. Ibu Editha Yuli misalnya dia mengatakan “Pernikahan saya adalah pernikahan yang buruk dari yang paling buruk”. Berbeda dengan Ibu Anastasia Irene “saya menyesal karena mengabaikan efek atau dampak buruk dari pernikahan kawin campur dan memilih berpisah hanya demi iman dan anak-anaknya. Sementara Ibu Sri Hasnawati, mengaku bahagia dengan perkawinannya karena dalam menjalankan aktifitas di gereja, lingkungan selalu bersama. Kebahagiaan yang diperolehnya berkat usaha dan doa yang terus menerus dilakukan. Dengan cara itu akan terjadinya perubahan dalam hidup kita. Darius AR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin