Senin, 16 Januari 2012

Tuhan, dimanakah Engkau Tinggal?

Oleh: Sdr. Ophin Agut, OFM
Manusia (kita semua) dalam relasi kita dengan Allah, pastilah mengalami ketegangan akan hidup kita yang begitu terbatas. Kita begitu sulit memahami misteri Allah dalam hidup kita, dan juga memahami mengapa Allah sungguh mencintai kita manusia yang rapuh dan berdosa ini. Misteri Inkarnasi, yang kita kenangkan dalam perayaan Natal, merupakan awal dari misteri Allah yang sulit dipahami itu. Melalui inkarnasi, Allah menjadi bagitu dekat dengan kita dalam segala keberdosaan kita. Misteri inilah yang sulit kita selami dan hanya dapat kita imani dalam pengalaman hidup sehari-hari.

Allah yang sedemikian jauh (transendens) menjadi begitu dekat dengan kita (imanens), karena cintaNya kepada kita. Dalam keterbatasan manusia untuk memahami keluasan dan ketakterbatasan Allah, kita diajak untuk mengarahkan hati kepadaNya. Perlu disadari bahwa saat ini kita, dengan segala situasi yang ada di sekitar kita, sengaja menjauh dari Dia. Kita perlu menyadari kerapuhan kita sebagai manusia. Karl Rahner mencatat demikian: “dalam segala pengetahuan dan perbuatannya, manusia selaku pribadi rohani selalu mengakui secara implisit Allah sebagai dasar hidupnya, dan itu sebagai misteri.” Yang hendak dikatakan adalah manusia selalu memiliki keterarahan dasar (vorgriff) kepada Allah.

Pertanyaan, “Tuhan, dimanakah Engkau tinggal?” merupakan pertanyaan eksistensial manusia yang ingin mengarahkan hati kepada Tuhan. Dalam tradisi Timur, menanyakan tempat tinggal berarti ingin mengenal lebih dalam orang itu. Tempat tinggal (home) selalu berisikan segala atribut pribadi orang tersebut.

Pada tempat tinggal (kediaman) itu terdapat dan tergambar segala suka-duka hidup, segala kecemasan dan harapan. Permintaan tinggal mengandung makna ingin berelasi dengan orang tersebut. Yang meminta tentu ingin mengenal dan memahami bagaimana sang ‘Tuan Rumah” memahami suka-duka, kecemasan, dan harapan. Dari sana, tentunya ia ingin belajar membangun hidup pribadinya dengan lebih baik.

Kiranya itulah yang mendasari pertanyaan dua Murid pertama kepada Yesus. Dalam hal ini, para Murid tentunya ingin mengenal Yesus secara lebih mendalam dan dapat segera berelasi dengan Dia. Mereka telah mengenal Yesus dari pengajaran Yohanes Pembaptis, tetapi ingin lebih mengenal secara pribadinya. Rasa penasaran itu membangkitkan rasa ingin tahu dan ingin tinggal bersama Yesus. Rasa ingin tahu itupun terlunasi dengan jawaban Yesus, “Mari dan lihatlah!” Alangkah indahnya kerinduan itu ketika terjawab oleh Dia sendiri.

Perlu diingat bahwa dalam penggalan Injil yang dibacakan Minggu ini, harapan dasar para Murid itu diawali sebuah pertanyaan Tuhan sendiri, “Apakah yang kamu cari?” Kita memang begitu ingin berelasi dengan Tuhan, dengan segala kelemahan dan keterbatasan manusiawi kita. Demikian halnya dengan Tuhan sendiri yang sudah selalu berinisiatif untuk mencintai kita lebih dahulu dari kita. Namun, pertanyaan Yesus perlu dijawab lebih dahulu, “Motivasi apa yang melandasi kita ingin berelasi denganNya?” Apakah kita ingin tinggal denganNya karena ingin terus sukses dengan kekayaan, keuntungan, dan kesembuhan jasmani semata? Pertanyaan Yesus dan harapan para Murid kiranya relevan dengan kehidupan kita sekarang ini. Apa sebenarnya yang kita cari di dunia ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin