Selasa, 15 Mei 2012

AGAPE

Oleh: Pastor Tauchen Hotlan Girsang, OFM
Bacaan-bacaan yang kita dengar minggu ini mengingatkan kita akan ensiklik Paus Benedictus XVI berjudul: Deus caritas est. Di dalam ensikliknya Paus menekankan agape (kasih tanpa batas) sebagai bentuk kasih yang tertinggi melampaui eros (kasih atas dasar ketertarikan/afeksi) atau philia (kasih persahabatan).
Tentu saja, Gereja mengalami kasih Allah dalam rupa agape. Agape dialami melalui kehadiran dan karya Roh Kudus. Melalui Roh Kudus, para murid mampu mempersatukan bangsa manusia tanpa pembeda-bedaan dan sekat-sekat. Hal ini kita jumpai dalam bacaan pertama hari ini di mana Petrus mengakui dirinya sebagai manusia biasa saja tetapi Roh Kudus berkarya melalui kata-katanya.
Kita juga sangat mengenal kata-kata Rasul Yohanes: “ marilah kita saling mengasihi sebab kasih itu berasal dari Allah, dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah sebab Allah adalah kasih... Bukan kita yang telah mengasihi Allah tetapi Allahlah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai silih atas dosa-dosa kita.” Dalam bacaan kedua ini agape dialami melalui kehadiran dan karya sesama. Agape lebih lanjut semakin jelas dan nyata sekali di dalam diri Yesus Kristus. Dia yang rela memberikan naya-Nya sebagai silih atas dosa kita seperti disebutkan dalam bacaan Injil: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Kasih yang total sekaligus radikal inilah yang dinamai agape, yang contoh dan teladannya mewujud dalam diri Yesus.
Bangsa manusia pastilah membutuhkan agape. Apalagi kita lihat suasana kehidupan bersama dalam bermasyarakat. Adanya geng motor yang pamer kekerasan. Adanya penggunaan senjata api liar di jalanan bahkan digunakan secara terang-terangan dalam perampokan. Adanya korupsi yang meraja lela dan tersistematis. Kisruh politik yang tak kunjung memiliki titik terang. Maraknya aksi penipuan bermodus pelayanan rohani dan amal. Rasa-rasanya kehadiran agape sangat dirindukan dalam suasana seperti ini.
Orang beriman di dalam gereja pastilah juga merindukan agape. Keluarga kita juga merindukan hal yang sama. Kita lihat misalnya pengalaman Ibu Theresia dari Kalkuta. Ia menulis: ”...kegelapan tak terperikan ini, kesepian ini, kerinduan yang terus-menerus kepada Allah ini, yang memberi saya rasa nyeri yang dalam di hati saya. Kegelapan sedemikian rupa sehingga saya tidak dapat melihat, entah dengan pikiran atau dengan akal budi saya. Tempat Allah dalam jiwa saya terasa hampa. Tidak ada Allah dalam diri saya ketika nyeri karena kerinduan yang begitu dahsyat. Saya hanya merindukan Allah dan kemudian inilah yang saya rasakan. Allah tidak menginginkan saya. Terkadang saya cuma mendengar hati saya sendiri menjerit “Allahku” dan tak ada lain yang datang. Siksaan dan nyeri yang tak dapat saya jelaskan.”
Jelaslah bahwa Ibu Theresia dari Kalkuta merindukan agape. Betapa jiwanya haus akan kasih Allah. Dahaga itu terasa begitu menyiksa karena seakan-akan selalu dibiarkan dalam penantian yang panjang. Penantian yang terasa sunyi, sepi, hampa dan menyiksa. Barangkali kita pun merindukan adanya agape di dalam keluarga kita. Suami merindukan agape isteri dan anak. Isteri merindukan agape dari suami dan anak. Anak merindukan agape dari orangtuanya. Demikian juga dengan sanak-saudara kita yang lain. Kita kadang-kadang tak memiliki waktu dan kesempatan untuk berbuat kasih. Atau kita mengabaikan kesempatan emas yang ada di depan mata kita. Kita lihat saja. Di dalam rumah kerap suami sibuk menonton televisi. Isteri sibuk dengan blackberrynya. Anak-anak sibuk dengan game. Masing-masing anggota keluarga sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka ada bersama tetapi tak ada kesempatan untuk berbagi kasih karena setiap orang sibuk dengan dirinya sendiri.
Mari kita bertanya. Apakah suasana kasih di dalam keluarga kita telah hilang karena masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri? Apakah sarana-sarana teknologi sudah merampas kasih kita? Jika memang benar itu yang terjadi, maka saatnya kita perlu melakukan puasa teknologi barang sejenak. Puasa ini kita pakai sebagai kesempatan untuk berbagi kasih. Sebab, setiap orang pasti merindukan agape. Tuhan Yesus memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin