Selasa, 01 April 2014

Umat Theresia dan Maria Magdalena Sambut Gembira Kupas

Para pengrus DPP/DKP Santo Paulus-Depok, dalam kegiatan KUPAS
Dewan Pastoral Paroki (DPP) dan Dewan Keuangan Paroki (DKP) St. Paulus Depok rupanya tidak basa-basi dan bukan sekedar mengumbar janji kepada umatnya. Dibawah pimpinan Pastor Paroki P. Yosef Paleba Tolok, OFM selaku Ketua DPP dan DKP,  para petinggi paroki ini langsung ‘turun gunung’. Mereka tidak hanya ingin berada di ‘puncak Tabor” dan berseru dari balik mimbar gereja, melainkan mau mewujudkan impiannya sebagai pelayan dengan melakukan kunjungan pastoral (KUPAS) ke dua wilayah sekaligus, Wilayah St. Theresia dan St. Maria Magdalena.

KUPAS yang direncanakan setiap akhir minggu dalam bulan ini, untuk pertama kalinya berlangsung pada Minggu ( 23/3). Rombongan KUPAS beranggotakan 10 orang yaitu: Pater Yosepf Tote, Bpk. Anton Wibisono, Bpk. Aline Subiyanto, Bpk. Sudir Inu Menggolo, Bpk Danun, Ibu Paula Sudira, Bpk Yohanes Kho Hang Sing, Bpk XFuruhitho, Ibu Lusia Mugiyati dan Ibu Greice Dorothy dari Seksi Kerasulan Keluarga. Demikian Wakil Ketua II DPP Bp Aline Subiyanto lewat laporan tertulisnya kepada WP, Rabu (26/3)




Rombongan ini tidak sekedar Road Show melainkan ingin melihat dari dekat, mengalami lebih dalam dan merasakan sungguh-sungguh suka-duka dan pahit-manisnya realitas kehidupan umat yang dilayaninya. Tentu akan berusaha  mencarikan jalan keluar atas berbagai persoalan yang dihadapi umat.

Para pelayan peserta KUPAS yang baru dilantik oleh Uskup Bogor, Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM pada Minggu, 9 Maret 2014 itu sungguh merasakan kehangatan dan sukacita penuh persaudaraan yang terpancar dari wajah-wajah umat yang entusias menyambut rombongan ini. Akibatnya, penatnya perjalanan panjang yang ditempuh tidak kurang dari satu jam itu lenyap seketika dihempas gloranya semangat anak-anak, orang muda, orang tua dan pengurus wilayah yang sudah siap menjemput. ”Rombongan berangkat dari gereja pukul 15.30, kami melalui Jalan Vitara, kompleks Pertanian dan akhirnya sampai di perumahan Satria Jingga. Perjalanan cukup lancar sehingga kami bisa tiba di rumah keluarga bapak Mei Dudung, Ketua Wilayah St. Theresia pada pukul 16.30. Ternyata kami disambut oleh umat yang terdiri dari anak-anak, orang muda, orang tua dan Pengurus Wilayah,” jelas Biyanto.

Sambil menikmati hidangan serba rebusan makanan organik hasil karya umat sendiri –tentu sangat bergizi--, dialog dan sharing pengalaman pun berjalan penuh sukacita, akrab dan bersemangat. Dialog dibuka dengan sambutan pembukaan oleh Ketua Wilayah, dan dilanjutkan dengan penyampaian apa yang menjadi maksud dan tujuan KUPAS dari DPP dan DKP oleh Pastor Yosef dengan wajah berseri-seri.

Di tengah keceriaan penuh persaudaraan dan keakraban itu, unek-unek dalam bentuk pertanyaan, keluh kesah dan kritik saran pun dilontarkan untuk segera mendapat jawaban dan respon dari yang berwewenang (bukan yang berkuasa, red). Beberapa pertanyaan yang sempat terlontar dari antara ke-21 kk wilayah St. Theresia itu antara lain:

Pertama,  letak wilayah Theresia terpencil dan jauh dari gereja, bagi umat yang tidak memiliki kendaraan pribadi, untuk berangkat ke gereja saja membutuhkan biaya Rp 30.000,00 per orang. Sungguh sangat memprihatinkan, sementara bagi yang menggunakan motor biaya Rp10.000,00 untuk bensin. Mungkinkah ada solusi bagi umat wilayah ini?

Kedua,  Ada 4 kk yang kawin campur  membutuhkan pendampingan. Mengingat besarnya pengaruh dari luar yang menggoda, ditambah lagi dengan beban biaya yang tidak sedikit kalau hendak menghadiri ekaristi dan ibadat lain di gereja St. Paulus Depok.
Ketiga, Selain jauhnya jarak, umat di wilayah ini juga masih jauh lebih sedikit dibanding dengan wilayah lain. Untuk itu masalah tanggungan di paroki misalnya daharan romo dan koor jangan disamakan dengan wilayah yang jumlah umatnya lebih banyak dan jarak tempuhnya lebih dekat ke paroki.

Keempat, Sebagian besar anak-anak bersekolah di sekolah negeri bahkan ada yang di Madrasah Tsanawiyah karena orang tua tidak mampu membiayai sekolah di sekolah katolik. Umat mohon peran Gereja (dalam hal ini DPP-DKP, red) untuk menjadi jembatan antara umat katolik dengan yayasan sekolah katolik, agar anak-anak katolik diberi tempat dan diterima pada sekolah katolik untuk mendapatkan pendidikan katolik.
Kelima,  Walaupun kondisi umat yang demikian, umat di wilayah ini tidak pernah minta untuk di kasihani, namun harapan umat adalah perhatian dalam bentuk sapaan, sentuhan dan support agar motivasi umat dalam menggereja dan pelayanan selalu bertumbuh.

Selagi bersemangat, pastor Tote dan anggota DPP-DKP yang hadirpun tidak ingin menyia-nyiakan waktu dan kesempatan alias langsung memberi tanggapan dan jawaban sesuai hak dan kewenangan mereka.

Pertama,  Untuk mengatasi kondisi jarak dan kesulitan transportasi, pastor menyediakan waktu khusus untuk misa di wilayah setiap 3 bulan sekali. Mengapa tiga bulan sekali, karena mungkin kendala yang sama dialami juga oleh wilayah lain sehingga harus dabagi secara adil.

Kedua,  Tugas mengirim daharan romo sebaiknya dikurangi kuantitasnya, dan tugas rutin koor di gereja bisa dijadwal ulang (akan disampaikan ke seksi liturgi).

Ketiga, Untuk pendampingan umat yang kawin campur, pastor siap menerima konsultasi pribadi di gereja, atau sesekali pastor mendatangi keluarga yang dimaksud. Bisa diatur jadwalnya dengan pengurus wilayah.

Keempat, Selain ketiga jawaban yang ada, pastor paroki berpesan sekaligus mengharapkan agar membangun komunikasi, keterbukaan dan relasi yang baik antar pengurus, antar umat dan dengan lingkungan tempat tinggal senantiasa dijaga dan ditingkatkan. ”Perlu dipupuk dan dikembangkan komunikasi dan relasi dengan pengurus, antar pengurus dan dengan lingkungan sekitar sehingga kesulitan-kesulitan umat yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dapat dimusyawarahkan”, demikian ungkap pastor Yosef mengakhiri dialog dengan umat St. Theresia.

Tak terasa jarum jam telah menunjukan pukul 18.30. Waktu yang ditentukan untuk wilayah Theresia sudah berakhir, rombongan harus beralih ke wilayah berikutnya. Pertemuan ditutup  dengan doa dan berkat oleh romo Tote dan langkah mereka ke wilayah St. Maria Magdalena diiringi azan magrib tetangga.

Waktu tempu untuk mancapai kediaman ketua wilayah St. Magdalena tidak lebih dari 15 menit. Tidak ubahnya dengan wilayah St. Theresia, umat wilayah St. Magdalena pun penuh semangat dan bersukacita menyambut kehadiran rombongan KUPAS DPP-DKP. Pertemuan dan dialog diawali dengan makan malam bersama karena sudah saatnya untuk mengisi ’kampung tengah’. ”Kami mulai bersantap bersama umat, kalau tadi kami makan hasil pertanian, sekarang kami disuguhi dengan hasil dari peternakan. Selesai santap malam, acara dilanjutkan dengan perkenalan pengurus wilayah”, demikian tulis Biyanto.
Di wilayah yang dihuni 47 kk ini, menurut Biyanto memiliki sistem administrasi yang cukup rapi dan teratur. Kami diberikan dua bundel data wilayah yang lengkap termasuk data keuangan, empat anak yang menjadi misdinar, dua orang prodiakon dan juga peran umat sebagai pengurus di Rt dan Rw penghuni dua kompleks dan sebagian di perkampungan itu.

Rangkaian acara tidak berbeda dengan wilayah St. Teheresia, hanya ada sedikit beda permasalahan yang dihadapi misalnya: tugas koor pagi menjadi suatu kesulitan tersendiri karena jika berangkat terlalu pagi belum ada kendaraan umum yang melintas. Sementara belum semua umat memiliki kendaraan pribadi. Selain itu untuk latihan koor tidak semua keluarga ketempatan latihan karena berbagai alasan.

Terhadap persoalan kesulitan kendaraan jawaban tidak berbeda dengan Wilayah St. Theresia, sedangkan masalah ketempatan latihan, pastor paroki mengharapkan agar yang bisa ketempatan ya...pengurus bisa membicarakan agar mereka selalu siapkan rumahnya  untuk latihan karena sudah pasti ada berkatnya.

Berkaitan dengan pelayanan pelajaran katakumen, umat wilayah ini mengharapkan agar waktu belajar bisa lebih lama sehingga pada saat menikah misalnya, mereka sudah dibaptisg agar tidak terkendala di kemudian hari. Untuk kasus ini, pastor paroki mrngatakan bahwa pihaknya bisa membaptis asalkan ada jaminan dari pengajar katakumen. Kalau pun tidak, masih ada kesempatan untuk belajar setelah melangsungkan pernikahan sampai memenuhi syarat untuk dibaptis.

Jika umat wilayah Theresia merasa terbebani dengan ongkos kendaraan yang cukup mahal, umat wilayah Maria Magdalena mengeluhkan adanya beban yang terlalu berat bagi keluarga yang anak-anak-nya komuni pertama. Hal ini perlu dipikirkan demi menghindari persepsi atau terkesan seolah-olah sakramen komuni dibeli dengan harga yang mahal. Terkait beban ini pastor paroki bersama DPP-DKP sudah berencana untuk menyederhanakan dengan mengadakan rekoleksi sehari dan dilaksanakan di gereja sehingga tidak perlu biaya besar. Karena biaya yang besar itu, timbul karena ada biaya akomodasi, tempat penginapan, transport dan konsumsi.

Tak terasa waktu berjalan terus dan sudah sampai pada titik batas kesepakatan yakni hanya sampai pukul 21.00 malam. Sementara umat kelihatan masih bersemangat namuh harus ditahan dulu. Masih ada hari esok. Sebagai penutup pastor paroki berpesan agar anak-anak mau lebih banyak lagi menjadi pelayan sebagai misdinar di gereja, karena mereka adalah generasi penerus gereja yang harus selalu dekat dengan kegiatan di sekitar gereja. Doa penutup oleh bapak Damianus dan berkat oleh Pater Tote.. Rodapun  berputar menuju gereja St. Paulus Depok, setiap orang yang ikut rombongan merasakan kebahagiaan dan sukacita karena dapat bertemu, berbicara, mendengar dan mengetahui secara langsung keadaan umat di wilayah dengan segala suka dukanya.

Semoga program KUPAS Wilayah ini menjadi program yang dirindukan oleh umat dan pengurus, DPP DKP dan Pastor Paroki. (Alines/ Bernad).













Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin