Selasa, 18 Juli 2017

Pakar Pendidikan Katolik Merumuskan Pedoman Menangkal Radikalisme di Indonesia

JAKARTA - Pakar pendidikan Katolik di Indonesia saat ini tengah merancang sebuah pedoman yang baru bagi sekolah-sekolah untuk menangkal intoleransi dan radikalisme yang meningkat di sekolah.

Panduan ini diharapkan siap dalam beberapa bulan ke depan dan diterapkan di sekolah-sekolah Katolik ketika tahun ajaran berikutnya dimulai.

“Apa yang kami lakukan adalah tanggapan terhadap situasi saat ini, di mana radikalisme begitu kuat, termasuk di kalangan remaja,” kata Pastor Vinsensius Darmin Mbula, OFM, Ketua Majelis Pendidikan Katolik kepada ucanews.com, pada 10 Juli.

“Untuk membendung ini, kami yakin salah satu solusinya adalah melalui pendidikan,” katanya.

Pastor Darmin merujuk pada sebuah survei Setara Institute tahun 2015 di 171 sekolah di Jakarta dan Bandung, Jawa Barat yang mengungkapkan bahwa 9,5 persen siswa mendukung kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikal, termasuk kelompok negara Islam yang disebut.

Survei sebelumnya oleh Lembaga Studi Islam dan Perdamaian mengungkapkan bahwa hampir 50 persen siswa mendukung gagasan radikal.

Darmin mengatakan bahwa jika ini diabaikan, Indonesia akan terus dihantui oleh kehancuran.

Dia mengatakan bahwa pihaknya akan berkonsultasi dan meminta saran dari para ahli dan pemikir Islam serta agama lain.

Dia juga mengatakan bahwa pedoman tersebut akan dipresentasikan kepada pemerintah, dan berharap agar dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum utama.

“Dalam kurikulum saat ini tidak ada perhatian khusus yang diberikan pada upaya untuk menumbuhkan kesadaran tentang keragaman dan toleransi.”

Pedoman tersebut, tidak hanya menggabungkan nilai Pancasila tapi juga dokumen Paus Fransiuskus tentang “Mengajarkan Dialog Antarbudaya di Sekolah Katolik: Hidup dalam Harmoni untuk Peradaban Kasih.”

Prudentia, seorang dosen di Universitas Indonesia dan bagian dari tim yang menyusun panduan tersebut mengatakan bahwa para pendidik juga ingin mengenalkan program dimana siswa mengunjungi tempat ibadah, situs budaya dan pertemuan keagamaan lainnya yang dihadiri oleh penganut agama lain.

“Apa yang ingin kita capai adalah proses interaksi dalam lingkungan sosial tempat mereka tinggal,” katanya.

Ahmad Nurcholish, ketua divisi pendidikan keragaman dan perdamaian ICRP mengatakan bahwa para siswa harus memiliki pemahaman agama yang inklusif dan kontekstual.

“Masih banyak yang hanya percaya pada ‘kebenaran’ agama mereka yang menganggap keyakinan orang lain salah dan salah arah,” katanya.

“Sikap seperti itu membuat sulit untuk menerima keberadaan orang yang berbeda,” kata Nurcholish.

Kelompok radikal semakin kuat karena mereka lebih solid, sementara pendidikan agama baik di institusi formal maupun informal hanya menekankan aspek kesalehan ritual, bukan kesalehan sosial, kata Nurcholish.

Keterangan foto:
Pastor Vinsensius Darmin Mbula, OFM, Ketua Majelis Nasional Pendidikan Katolik


_______________
Sumber: www.indonesia.ucanews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin