KOREA — Santa Agatha Yi Kyong-i adalah martir Katolik Korea yang kisah hidupnya mencerminkan keberanian iman di tengah penganiayaan brutal Kekaisaran Joseon. Meski bukan ibu rumah tangga, ia adalah seorang perempuan awam sederhana yang tetap teguh dalam iman hingga wafat sebagai martir pada tahun 1839.
Di balik tembok-tembok sunyi penjara Kekaisaran Joseon, seorang perempuan
muda bernama Agatha Yi Kyong-i menatap langit dari balik jeruji. Ia bukan
bangsawan, bukan pula pemimpin besar. Ia hanyalah seorang perempuan awam,
sederhana, miskin, namun memiliki iman yang mengguncang kekuasaan yang
menindas.
Abad ke-19 di Korea adalah masa kelam bagi umat Katolik. Kekaisaran Joseon,
yang menganut Konfusianisme sebagai ideologi negara, memandang ajaran Katolik
sebagai ancaman terhadap tatanan sosial dan politik. Gereja Katolik dianggap
menyebarkan ajaran asing yang merusak loyalitas terhadap raja dan keluarga.
Penganiayaan besar-besaran pun terjadi, terutama pada tahun 1839, yang dikenal
sebagai Penganiayaan Gihae. Dalam badai kekerasan inilah nama Agatha
Yi Kyong-i muncul sebagai salah satu martir yang paling menggetarkan hati.
Lahir sekitar tahun 1814 dari keluarga Katolik, Agatha tumbuh dalam
kemiskinan dan kesederhanaan. Ia menikah dengan seorang kasim istana, namun
pernikahan itu tidak sah menurut hukum Gereja. Setelah berkonsultasi dengan
Uskup Imbert, ia memilih berpisah demi menjaga kemurnian imannya.
Tanpa tempat tinggal, Agatha tinggal bersama sesama umat Katolik miskin.
Pada 17 Juli 1839, ia ditangkap bersama Agatha Kwon Chin-i. Meski sempat
dibebaskan karena belas kasihan polisi, mereka kembali ditangkap dan dipenjara.
Di dalam penjara, Agatha disiksa dengan kejam, dipukuli, namun tidak pernah
menyangkal imannya.
Agatha bukan hanya simbol keteguhan pribadi, tetapi juga lambang kerasulan
awam yang sejati. Ia tidak berkhotbah di mimbar, namun hidupnya adalah
kesaksian nyata akan kasih Allah. Dalam penderitaan, ia tetap menguatkan sesama
tahanan, berdoa, dan menolak untuk mengkhianati komunitasnya.
Kisahnya menjadi inspirasi bagi banyak umat Katolik Korea dan dunia. Ia
dibeatifikasi oleh Paus Pius XI pada 1925 dan dikanonisasi oleh Paus Yohanes
Paulus II pada 6 Mei 1984 bersama 102 martir Korea lainnya.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat kisah Agatha sebagai panggilan
bagi kita semua—umat awam—untuk menjadi terang di tengah dunia. Dalam konteks
sosial, ekonomi, dan hukum yang kompleks, kita dipanggil untuk menjadi saksi
kasih, seperti Agatha, yang memilih kebenaran meski harus kehilangan segalanya.
Kita mungkin tidak menghadapi pedang secara harfiah, tetapi kita menghadapi
tekanan moral, ketidakadilan sosial, dan godaan kompromi. Di sinilah kerasulan
awam menemukan maknanya: menjadi garam dan terang dunia, bukan dengan
kekuasaan, tetapi dengan kesetiaan pada Injil.
Santa Agatha Yi Kyong-i mengajarkan bahwa kekuatan iman tidak diukur dari
status sosial, melainkan dari keberanian untuk berkata “ya” kepada Tuhan,
bahkan di tengah ancaman maut. Kisahnya bukan sekadar sejarah, tetapi undangan
untuk hidup dalam kebenaran, kasih, dan pengabdian.
Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. — Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja
Katolik
#santaagathayikyongi
#martirjoseon #kerasulanawam #gerejakatolik #imanyangmenginspirasi #kasihallah
#martirkorea #wanitakatoliktangguh #kekudusandalamkesederhanaan #wartakasih #shdariusleka #parokisantopaulusdepok
#reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin