KOTA DEPOK - Perkawinan beda agama yang telah tercatat dalam satu Kartu Keluarga (KK) bukan hanya persoalan administratif, tetapi menyimpan konsekuensi hukum, sosial, dan pastoral yang kompleks. Gereja Katolik memandang isu ini dengan hati yang penuh kasih, namun juga dengan ketegasan iman.
Di tengah masyarakat plural seperti Indonesia, cinta lintas
iman bukanlah hal baru. Banyak pasangan Katolik yang jatuh cinta dan menikah
dengan pasangan dari agama lain. Namun, ketika cinta itu diwujudkan dalam
bentuk perkawinan, muncul pertanyaan: Apakah sah secara hukum? Bagaimana
pandangan Gereja? Apa dampaknya bagi anak dan status hukum keluarga?
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Artinya, jika
dua orang berbeda agama menikah tanpa adanya konversi atau penyesuaian agama,
maka negara tidak dapat mencatatkan perkawinan tersebut secara sah.
Namun, dalam praktiknya, beberapa pasangan mengajukan
permohonan ke pengadilan negeri untuk mendapatkan penetapan hukum agar dapat
menikah secara sipil. Setelah itu, mereka bisa dicatatkan dalam sistem
administrasi kependudukan dan masuk dalam satu KK. Meski demikian, Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 mempertegas bahwa
pencatatan semacam ini tidak serta-merta mengesahkan perkawinan beda agama
menurut hukum agama.
Gereja Katolik, berdasarkan Kanon 1124–1125 Kitab Hukum
Kanonik, tidak melarang secara mutlak perkawinan beda agama, tetapi
mensyaratkan dispensasi dari otoritas Gereja dan adanya komitmen bahwa
anak-anak akan dibaptis dan dibesarkan dalam iman Katolik. Tanpa hal ini,
perkawinan tidak dapat diberkati secara sakramental.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya sering mendampingi
pasangan yang bergumul dalam situasi ini. Banyak dari mereka mengalami tekanan
batin, konflik keluarga, bahkan kebingungan identitas anak. Maka, penting bagi
umat untuk memahami bahwa perkawinan bukan hanya soal cinta, tetapi juga
soal iman dan tanggung jawab moral.
Berikut beberapa konsekuensi penting dari perkawinan beda
agama yang tercatat dalam satu KK:
Cinta sejati tidak hanya mengikuti perasaan, tetapi juga tunduk pada kebenaran. Gereja tidak menolak cinta lintas iman, tetapi mengajak umat untuk mempertimbangkan dengan matang konsekuensi spiritual dan hukum yang menyertainya. Dalam terang iman, perkawinan adalah jalan kekudusan, bukan sekadar kontrak sosial.
Sebagai bagian dari kerasulan awam, kita dipanggil untuk
tidak menghakimi, tetapi mendampingi. Komunitas Katolik harus menjadi ruang
dialog, bukan penghakiman. Namun, pendampingan harus dilakukan dengan kejujuran
iman dan kesetiaan pada ajaran Gereja.
Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. –
Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#shdariusleka #reels #foryou #fyp
#jangkauanluas @semuaorang #perkawinanbedaagama #kerasulanawam #katolikdanhukum
#imandancinta #gerejakatolikindonesia


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin