Jumat, 19 Desember 2025

Perkawinan Beda Agama dan Satu Kartu Keluarga; Antara Cinta, Iman, dan Konsekuensi Hukum

KOTA DEPOK - Perkawinan beda agama yang telah tercatat dalam satu Kartu Keluarga (KK) bukan hanya persoalan administratif, tetapi menyimpan konsekuensi hukum, sosial, dan pastoral yang kompleks. Gereja Katolik memandang isu ini dengan hati yang penuh kasih, namun juga dengan ketegasan iman.

Di tengah masyarakat plural seperti Indonesia, cinta lintas iman bukanlah hal baru. Banyak pasangan Katolik yang jatuh cinta dan menikah dengan pasangan dari agama lain. Namun, ketika cinta itu diwujudkan dalam bentuk perkawinan, muncul pertanyaan: Apakah sah secara hukum? Bagaimana pandangan Gereja? Apa dampaknya bagi anak dan status hukum keluarga?

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Artinya, jika dua orang berbeda agama menikah tanpa adanya konversi atau penyesuaian agama, maka negara tidak dapat mencatatkan perkawinan tersebut secara sah.

Namun, dalam praktiknya, beberapa pasangan mengajukan permohonan ke pengadilan negeri untuk mendapatkan penetapan hukum agar dapat menikah secara sipil. Setelah itu, mereka bisa dicatatkan dalam sistem administrasi kependudukan dan masuk dalam satu KK. Meski demikian, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 mempertegas bahwa pencatatan semacam ini tidak serta-merta mengesahkan perkawinan beda agama menurut hukum agama.

Gereja Katolik, berdasarkan Kanon 1124–1125 Kitab Hukum Kanonik, tidak melarang secara mutlak perkawinan beda agama, tetapi mensyaratkan dispensasi dari otoritas Gereja dan adanya komitmen bahwa anak-anak akan dibaptis dan dibesarkan dalam iman Katolik. Tanpa hal ini, perkawinan tidak dapat diberkati secara sakramental.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya sering mendampingi pasangan yang bergumul dalam situasi ini. Banyak dari mereka mengalami tekanan batin, konflik keluarga, bahkan kebingungan identitas anak. Maka, penting bagi umat untuk memahami bahwa perkawinan bukan hanya soal cinta, tetapi juga soal iman dan tanggung jawab moral.

Berikut beberapa konsekuensi penting dari perkawinan beda agama yang tercatat dalam satu KK:

Cinta sejati tidak hanya mengikuti perasaan, tetapi juga tunduk pada kebenaran. Gereja tidak menolak cinta lintas iman, tetapi mengajak umat untuk mempertimbangkan dengan matang konsekuensi spiritual dan hukum yang menyertainya. Dalam terang iman, perkawinan adalah jalan kekudusan, bukan sekadar kontrak sosial.

Sebagai bagian dari kerasulan awam, kita dipanggil untuk tidak menghakimi, tetapi mendampingi. Komunitas Katolik harus menjadi ruang dialog, bukan penghakiman. Namun, pendampingan harus dilakukan dengan kejujuran iman dan kesetiaan pada ajaran Gereja.

 

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

#shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang #perkawinanbedaagama #kerasulanawam #katolikdanhukum #imandancinta #gerejakatolikindonesia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin