Jumat, 27 Januari 2012

Misa Imlek; Wadah Syukur dan Dialog Budaya dalam Semangat Kerasulan Awam

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK
- Sejak Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres No. 14/1967 dan menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, serta kemudian dijadikan hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2003, masyarakat Tionghoa di Indonesia kembali memperoleh ruang untuk mengekspresikan identitas budayanya secara terbuka. Di tengah semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, Gereja Katolik Paroki St. Paulus Depok mengambil langkah berani dan penuh kasih: menyelenggarakan Misa Imlek perdana pada Senin, 23 Januari 2012.

Misa yang dihadiri lebih dari seribu umat ini dipimpin oleh Pastor Tauchen Hotlan Girsang, OFM dan Pastor Stanilaus Agus Haryanto, OFM. Suasana liturgi yang meriah, dengan nuansa budaya Tionghoa dan koor dari Orang Muda Katolik (OMK), menghadirkan pengalaman spiritual yang menyentuh. Dalam homilinya, Pastor Haryo menekankan bahwa simbol naga air dalam Tahun Baru Imlek 2563 bukanlah bentuk pemujaan, melainkan lambang perubahan. “Perubahan yang dimaksud adalah komitmen untuk melakukan sesuatu demi kesejahteraan bersama,” ujarnya.

Yohanes Kho Hang Shing, koordinator acara, menjelaskan bahwa Imlek adalah momen syukur atas pergantian musim dan rezeki yang diterima. “Sebagai umat Katolik keturunan Tionghoa, kami merasa perlu merayakan syukur ini di gereja, rumah iman kami,” tuturnya. Ia menegaskan bahwa meskipun Imlek berasal dari budaya Tionghoa, semangatnya bersifat universal: berbagi berkat dan mempererat persaudaraan.

Kho Shing juga menekankan pentingnya keterlibatan seluruh umat, tanpa memandang latar belakang etnis. “Kita satu tubuh Kristus yang tidak bisa dipisahkan. Imlek adalah kesempatan untuk bersatu dalam kasih,” katanya.

Dalam menggerakkan umat, Kho Shing menggunakan kekuatan firman Tuhan. “Saya mengajak mereka yang telah diberkati untuk berbagi, seperti sabda Yesus: ‘Berilah kepada Kaisar yang menjadi hak Kaisar dan kepada Allah yang menjadi hak Allah.’ Firman Tuhan menyentuh hati mereka,” ungkapnya. Ia berharap ke depan Misa Imlek dapat diselenggarakan lebih baik dengan kepanitiaan yang terstruktur.

Terkait kontroversi pelarangan Misa Imlek di beberapa keuskupan, Pastor Tauchen menjelaskan bahwa perbedaan pandangan sering kali muncul karena percampuran antara unsur budaya dan iman. Ia mengutip konsep "interkulturasi" dari Paus Benediktus XVI, yang menekankan pentingnya dialog antara budaya dan iman, bukan asimilasi penuh. “Budaya dan iman masing-masing punya nilai. Yang tidak cocok bisa ditinggalkan, yang baik bisa memperkaya iman,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa Misa Imlek adalah kesempatan untuk mengenal dan menghargai keanekaragaman budaya. “Ini baik untuk kita kenal. Ke depan, bisa diagendakan dalam kalender liturgis agar lebih serius dan terstruktur,” harapnya.

Acara ditutup dengan pembagian jeruk dan angpao sebagai simbol berkat dan sukacita. Misa Imlek di Paroki St. Paulus Depok bukan sekadar perayaan budaya, tetapi wujud nyata kerasulan awam yang menjembatani iman dan kehidupan, budaya dan kasih. Sebuah langkah kecil yang membawa dampak besar bagi persaudaraan sejati.

 

#misaimlek #kerasulanawam #imandanbudaya #gerejahidup #syukurbersama #stpaulusdepok #kasihtanpabatas #interkulturasi #katolikaktif #persaudaraandalamkristus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin