Rabu, 11 April 2012

“Aku Haus”; Sabda Kelima dan Rasa Haus Manusia Akan Kasih

Oleh: RP. Urbanus Kopong Ratu, OFM, – Pastor Vikaris Paroki Santo Paulus Depok periode 2014-2016

KOTA DEPOK
- Di tengah penderitaan yang tak terperikan, Yesus yang tergantung di salib mengucapkan tujuh sabda terakhir. Di antara sabda-sabda itu, sabda kelima—“Aku haus” (Yoh 19:28)—terdengar paling manusiawi, paling sederhana, namun sekaligus paling menggugah. Ia bukan sekadar ungkapan kebutuhan fisik, melainkan ekspresi terdalam dari solidaritas Allah terhadap penderitaan manusia.

Yesus, yang pernah berkata kepada perempuan Samaria bahwa Ia adalah air kehidupan, kini justru menyatakan kehausan. Dalam Kitab Wahyu, dari takhta Anak Domba mengalir air kehidupan yang jernih bagaikan kristal (Why 22:1). Maka, sabda “Aku haus” bukan hanya tentang tubuh yang kelelahan, tetapi tentang hati yang merindukan kasih, pengampunan, dan pertobatan manusia.

Yesus tidak meminta air. Ia tidak mengeluh. Ia tidak menuntut. Ia hanya menyatakan: “Aku haus.” Ini adalah sabda yang lahir dari tubuh yang terkoyak dan hati yang ditinggalkan. Ia haus akan cinta manusia. Ia haus akan pertobatan kita. Ia haus akan kehadiran kita yang tulus.

Dalam konteks sosial kita hari ini, bangsa Indonesia pun sedang haus: haus akan pemimpin yang jujur, yang kata dan tindakannya sejalan. Dalam keluarga, ada suami yang haus akan pengampunan, istri yang haus akan kejujuran, anak-anak yang haus akan kehadiran orang tua. Rasa haus ini bukan soal air, tetapi soal relasi yang retak, kasih yang pudar, dan harapan yang nyaris padam.

Di sisi Yesus, seorang perampok yang disalibkan menunjukkan rasa haus yang lain: haus akan kasih dan pengampunan. “Yesus, ingatlah akan aku apabila Engkau datang sebagai Raja,” katanya. Dan Yesus menjawab dengan sabda kedua yang penuh pengharapan: “Hari ini juga engkau akan bersama dengan Aku di dalam Firdaus.”

Inilah wajah Allah yang kita imani: Allah yang tidak menghitung dosa masa lalu, tetapi menyambut pertobatan dengan sukacita. Allah yang tidak menolak orang berdosa, tetapi justru merangkul mereka yang haus akan kasih.

Masa tobat adalah waktu untuk merenungkan: apakah kita peka terhadap rasa haus sesama? Apakah kita menjadi jawaban atas kerinduan orang lain akan kasih, keadilan, dan pengampunan? Apakah kita berani menjadi Veronika yang mengulurkan kain, atau Simon dari Kirene yang memanggul salib bersama Yesus?

Yesus berkata, “Apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang kepada-Ku.” Maka, mari kita datang kepada-Nya dengan hati yang haus akan kasih dan pengampunan. Mari kita menjadi pribadi yang juga mampu merasakan dan menjawab rasa haus orang lain.

Pada hari Paskah, kita akan mendengar sabda kemenangan: “Yesus telah bangkit, Alleluya!” Namun, untuk sampai ke sana, kita harus terlebih dahulu merasakan sabda kelima: “Aku haus.” Kita harus berani menanggapi sabda itu dengan pertobatan, dengan kasih, dan dengan tindakan nyata.

Semoga dalam sisa masa tobat ini, kita semakin peka terhadap rasa haus sesama dan semakin berani menjadi saluran kasih Allah di dunia. Dengan demikian, kita layak menyambut Paskah dengan hati yang suci dan tulus.

 

#sabdasalib #akuhaus #kerasulanawam #kasihyangmenyelamatkan #imandalamaksi #refleksiprapaskah #yesussumberpengharapan #katolikaktif #stpaulusdepok #gerejahidup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin