
Oleh: RP. Urbanus Kopong Ratu, OFM, – Pastor Vikaris Paroki Santo Paulus Depok periode 2014-2016
KOTA DEPOK - Di tengah penderitaan yang tak terperikan,
Yesus yang tergantung di salib mengucapkan tujuh sabda terakhir. Di antara
sabda-sabda itu, sabda kelima—“Aku haus” (Yoh 19:28)—terdengar paling
manusiawi, paling sederhana, namun sekaligus paling menggugah. Ia bukan sekadar
ungkapan kebutuhan fisik, melainkan ekspresi terdalam dari solidaritas Allah
terhadap penderitaan manusia.
Yesus, yang pernah berkata kepada perempuan Samaria bahwa Ia
adalah air kehidupan, kini justru menyatakan kehausan. Dalam Kitab Wahyu, dari
takhta Anak Domba mengalir air kehidupan yang jernih bagaikan kristal (Why
22:1). Maka, sabda “Aku haus” bukan hanya tentang tubuh yang kelelahan, tetapi
tentang hati yang merindukan kasih, pengampunan, dan pertobatan manusia.
Yesus tidak meminta air. Ia tidak mengeluh. Ia tidak
menuntut. Ia hanya menyatakan: “Aku haus.” Ini adalah sabda yang lahir dari
tubuh yang terkoyak dan hati yang ditinggalkan. Ia haus akan cinta manusia. Ia
haus akan pertobatan kita. Ia haus akan kehadiran kita yang tulus.
Dalam konteks sosial kita hari ini, bangsa Indonesia pun
sedang haus: haus akan pemimpin yang jujur, yang kata dan tindakannya sejalan.
Dalam keluarga, ada suami yang haus akan pengampunan, istri yang haus akan
kejujuran, anak-anak yang haus akan kehadiran orang tua. Rasa haus ini bukan
soal air, tetapi soal relasi yang retak, kasih yang pudar, dan harapan yang
nyaris padam.
Di sisi Yesus, seorang perampok yang disalibkan menunjukkan
rasa haus yang lain: haus akan kasih dan pengampunan. “Yesus, ingatlah akan aku
apabila Engkau datang sebagai Raja,” katanya. Dan Yesus menjawab dengan sabda
kedua yang penuh pengharapan: “Hari ini juga engkau akan bersama dengan Aku di
dalam Firdaus.”
Inilah wajah Allah yang kita imani: Allah yang tidak
menghitung dosa masa lalu, tetapi menyambut pertobatan dengan sukacita. Allah
yang tidak menolak orang berdosa, tetapi justru merangkul mereka yang haus akan
kasih.
Masa tobat adalah waktu untuk merenungkan: apakah kita peka
terhadap rasa haus sesama? Apakah kita menjadi jawaban atas kerinduan orang
lain akan kasih, keadilan, dan pengampunan? Apakah kita berani menjadi Veronika
yang mengulurkan kain, atau Simon dari Kirene yang memanggul salib bersama
Yesus?
Yesus berkata, “Apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan
menarik semua orang kepada-Ku.” Maka, mari kita datang kepada-Nya dengan hati
yang haus akan kasih dan pengampunan. Mari kita menjadi pribadi yang juga mampu
merasakan dan menjawab rasa haus orang lain.
Pada hari Paskah, kita akan mendengar sabda kemenangan:
“Yesus telah bangkit, Alleluya!” Namun, untuk sampai ke sana, kita harus
terlebih dahulu merasakan sabda kelima: “Aku haus.” Kita harus berani
menanggapi sabda itu dengan pertobatan, dengan kasih, dan dengan tindakan
nyata.
Semoga dalam sisa masa tobat ini, kita semakin peka terhadap
rasa haus sesama dan semakin berani menjadi saluran kasih Allah di dunia.
Dengan demikian, kita layak menyambut Paskah dengan hati yang suci dan tulus.
#sabdasalib #akuhaus #kerasulanawam #kasihyangmenyelamatkan #imandalamaksi #refleksiprapaskah #yesussumberpengharapan #katolikaktif #stpaulusdepok #gerejahidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin