AUSTRIA - Pada malam Natal tahun 1818, di sebuah gereja kecil di Oberndorf, Austria, dua pria berdiri di depan altar. Salah satunya adalah Pastor Joseph Hermann Mohr, imam muda Katolik berusia 26 tahun. Yang lainnya, Franz Xaver Gruber, seorang guru sekolah dan organis. Di tengah keheningan malam dan keterbatasan alat musik karena organ gereja rusak, mereka mempersembahkan sebuah lagu sederhana namun abadi: Stille Nacht, Heilige Nacht—yang kini dikenal di seluruh dunia sebagai “Malam Kudus”.
Ya, benar. Pastor Joseph Mohr adalah penulis lirik lagu “Stille Nacht”. Ia
menulis puisi tersebut pada tahun 1816 saat bertugas di Mariapfarr, sebuah desa
kecil di pegunungan Salzburg. Dua tahun kemudian, saat bertugas di Gereja St.
Nikolaus, Oberndorf, ia meminta Gruber untuk menggubah melodi bagi puisinya.
Karena organ gereja rusak akibat banjir, mereka memutuskan untuk menyanyikannya
dengan iringan gitar pada Misa Malam Natal 24 Desember 1818.
Lagu itu dinyanyikan pertama kali oleh Mohr dan Gruber di hadapan umat
paroki yang sederhana. Tak ada orkestra megah, tak ada paduan suara besar.
Hanya dua suara, satu gitar, dan satu pesan: damai di bumi, kasih Allah bagi
manusia.
Lagu “Stille Nacht” bukan sekadar nyanyian Natal. Ia adalah permenungan
teologis yang dalam tentang misteri inkarnasi. Dalam bait-baitnya, kita
menemukan gema dari Injil Lukas 2:11—“Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat,
yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.” Lagu ini menekankan kesederhanaan
kelahiran Yesus, damai surgawi, dan kasih Allah yang menyentuh bumi.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa liturgi dan musik suci adalah bagian
integral dari pewartaan iman. Dalam Sacrosanctum Concilium (Konstitusi
Liturgi Suci, Konsili Vatikan II), dinyatakan bahwa musik liturgi memiliki
peran luhur dalam mengangkat jiwa kepada Allah. “Stille Nacht” adalah contoh
sempurna bagaimana seni dapat menjadi sarana evangelisasi yang menyentuh hati.
Sebagai seorang aktivis kerasulan awam, saya melihat kisah Pastor Mohr
sebagai inspirasi. Ia tidak hanya menulis lagu, tetapi mewartakan kasih Allah
melalui kepekaan sosial dan spiritualitas yang mendalam. Lagu ini lahir dari
konteks penderitaan pasca perang, kelaparan, dan kemiskinan. Namun justru dari
situ, ia menyuarakan harapan.
Kita, para awam, dipanggil untuk melakukan hal serupa. Dalam bidang hukum,
sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan, kita bisa menjadi “lagu Malam Kudus” bagi
dunia: menyuarakan keadilan, menghadirkan damai, dan menjadi saksi kasih Allah
di tengah masyarakat yang terluka.
Hari ini, “Stille Nacht” telah diterjemahkan ke lebih dari 300 bahasa dan
dinyanyikan di seluruh dunia setiap malam Natal. Lagu ini bahkan dinyanyikan
oleh tentara dari pihak yang berseberangan saat gencatan senjata Natal tahun
1914 di medan Perang Dunia I—sebuah bukti bahwa damai Kristus melampaui batas
politik dan senjata.
Pastor Joseph Mohr wafat dalam kesederhanaan pada tahun 1848. Ia tidak
pernah tahu bahwa lagu yang ia tulis akan menjadi warisan spiritual dunia.
Namun, seperti sabda Yesus dalam Matius 13:31-32, benih kecil yang ia tabur
tumbuh menjadi pohon besar tempat burung-burung bersarang.
✍
Oleh; Darius Leka, S.H., M.H. - Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja
Katolik
#stillenacht #malamkudus #josephmohr #kerasulanawam #gerejakatolik #natal
#cintaallahuntukdunia #tradisisuci #refleksiiman #shdariusleka #parokisantopaulusdepok #reels #foryou #fyp
#jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin