KOTA DEPOK - “Dikiranya jadi pastor Katolik itu gampang.” Kalimat itu sering mampir ke telinga saya, diucapkan dengan nada bercanda, kadang serius, kadang sinis. Sebagai seorang awam Katolik yang aktif dalam pelayanan sosial dan hukum, saya merasa terpanggil untuk meluruskan persepsi ini. Karena sesungguhnya, menjadi imam dalam Gereja Katolik bukanlah jalan pintas menuju status atau kekuasaan. Ia adalah panggilan hidup yang menuntut pengorbanan total, formasi panjang, dan kesetiaan seumur hidup.
Dalam Gereja Katolik, menjadi pastor bukan sekadar profesi, melainkan
panggilan ilahi (vocatio). Seseorang yang ingin menjadi imam harus
memenuhi syarat-syarat mendasar: telah dibaptis secara Katolik, seorang
laki-laki, bersedia hidup selibat, bebas dari kasus hukum, serta lulus berbagai
tes psikologis dan medis. Namun, itu baru gerbang awal.
Formasi calon imam berlangsung selama 8 hingga 12 tahun, mencakup studi
filsafat, teologi, spiritualitas, dan pastoral. Mereka dibentuk bukan hanya
secara intelektual, tetapi juga secara rohani dan emosional. Proses ini mencerminkan
ajaran Konsili Vatikan II dalam Presbyterorum Ordinis, yang menekankan
bahwa imam harus menjadi gembala yang menyerupai Kristus, Gembala Baik.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya menyadari bahwa panggilan untuk
mewartakan Injil tidak hanya milik para imam. Umat awam pun dipanggil untuk
menjadi saksi Kristus di tengah dunia. Dalam Lumen Gentium dan Apostolicam
Actuositatem, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa kerasulan awam adalah
partisipasi aktif dalam misi keselamatan Gereja.
Saya sendiri terlibat dalam berbagai kegiatan sosial dan hukum: memberikan
bantuan hukum pro bono bagi masyarakat miskin, mengadvokasi korban kekerasan,
serta mendampingi komunitas basis dalam memahami hak-hak mereka. Ini adalah
bentuk nyata dari pewartaan kasih Allah melalui tindakan.
Gereja Katolik berdiri di atas tiga pilar: Kitab Suci, Tradisi Suci, dan
Magisterium. Ketiganya menjadi fondasi dalam memahami panggilan imamat dan
kerasulan awam. Dalam Surat kepada Ibrani 5:1, tertulis: “Sebab setiap imam
besar, yang diambil dari antara manusia, ditetapkan bagi manusia dalam hubungan
mereka dengan Allah.” Ini menegaskan bahwa imam adalah jembatan antara Allah
dan umat.
Namun, awam pun memiliki peran penting. Dalam Evangelii Gaudium,
Paus Fransiskus menegaskan bahwa setiap orang Kristiani adalah misionaris
sejati. Maka, kerasulan awam bukanlah pelengkap, melainkan bagian integral dari
tubuh Gereja.
Gereja bukan hanya tempat ibadah, melainkan komunitas yang hidup dan
bergerak. Dalam semangat Gaudium et Spes, Gereja dipanggil untuk hadir
di tengah dunia, terutama di tengah penderitaan dan ketidakadilan. Kerasulan
awam menjadi perpanjangan tangan Gereja dalam bidang sosial, ekonomi, hukum,
dan kemasyarakatan.
Saya percaya, mewartakan kasih Allah tidak cukup hanya dengan kata-kata. Ia
harus diwujudkan dalam tindakan nyata: membela yang lemah, memperjuangkan
keadilan, dan menghadirkan harapan di tengah keputusasaan.
Menjadi pastor memang tidak gampang. Tapi menjadi rasul awam pun bukan
perkara ringan. Keduanya adalah jalan panggilan yang berbeda, namun sama-sama
mulia. Keduanya membutuhkan komitmen, pengorbanan, dan cinta yang mendalam
kepada Allah dan sesama.
Maka, ketika ada yang bertanya, “Gampang ya jadi pastor?”, saya akan
menjawab: “Tidak. Susahnya setara dengan naik gunung sambil membawa beban
hidup.” Tapi justru dalam kesulitan itulah, kita menemukan makna sejati dari
panggilan: menjadi alat kasih Allah di dunia.
✍️
Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. - Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja
Katolik
#kerasulanawam #imamatkatolik #gerejakatolik #panggilanhidup #evangelisasi
#cintaallahuntukdunia #dariusleka #advokatkatolik #pelayanansosial
#refleksiiman #tradisisuci #magisterium #kitabsuci #shdariusleka #parokisantopaulusdepok #reels
#foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin