Senin, 12 Maret 2012

Rumah Doa, Bait Allah, dan Hati Kita; Memurnikan Relasi dengan Tuhan di Tengah Dunia yang Berisik

Oleh RP. Yoseph Selvinus Agut OFM, Komunitas Novisiat OFM Transitus Depok

KOTA DEPOK
- Dalam sejarah panjang bangsa Israel, kerinduan akan kehadiran Allah yang nyata di tengah umat-Nya menjadi benang merah yang tak pernah putus. Sejak masa pengembaraan di padang gurun, Tabut Perjanjian—dua loh batu yang memuat hukum Allah—dibawa sebagai simbol perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Namun, kerinduan itu baru menemukan bentuk tetap ketika Raja Salomo membangun Bait Allah di Yerusalem: rumah kudus tempat Allah berkenan tinggal.

Bait Allah bukan sekadar bangunan. Ia adalah pusat spiritual, tempat umat berseru dan Allah menjawab “dari bait-Nya” (Mzm 18:7). Ia adalah ruang perjumpaan, tempat relasi antara manusia dan Sang Ilahi dijalin dalam doa, kurban, dan pengharapan.

Namun, dalam Injil Yohanes (2:13–25), kita menyaksikan Yesus yang marah. Ia mengusir para pedagang dari pelataran Bait Allah, menjungkirbalikkan meja penukar uang, dan berseru: “Jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan!” (Yoh. 2:16). Ini bukan sekadar kemarahan emosional, tetapi tindakan profetik yang mengguncang kesadaran religius umat.

Sebagai seorang advokat dan aktivis kerasulan awam, saya melihat bahwa tindakan Yesus ini adalah kritik tajam terhadap mentalitas “logika pasar” yang menyusup ke dalam ruang spiritual. Ketika doa menjadi transaksi, ketika persembahan menjadi alat tawar-menawar, ketika ibadah menjadi panggung pencitraan—saat itulah rumah doa kehilangan maknanya.

Yesus tidak menolak persembahan atau ritual. Ia menolak manipulasi. Ia menolak relasi yang dibangun atas dasar pamrih. Ia menuntut kemurnian hati, bukan kemegahan lahiriah.

Ketika Yesus berkata, “Rombaklah Bait Allah ini dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali” (Yoh. 2:19), Ia sedang mengungkapkan kebenaran yang lebih dalam: bahwa diri-Nya adalah Bait Allah yang sejati. Tubuh-Nya yang disalibkan dan bangkit menjadi tempat perjumpaan baru antara Allah dan manusia.

Setiap kali kita merayakan Ekaristi, kita tidak hanya mengenang peristiwa itu, tetapi mengalaminya secara nyata. Kristus hadir dalam rupa roti dan anggur, dan ketika kita menyambut-Nya dalam Komuni Kudus, kita pun menjadi Bait Allah yang hidup.

Maka, pertanyaannya: sudahkah kita menyadari bahwa diri kita adalah rumah doa? Sudahkah hati kita menjadi tempat yang layak bagi Allah untuk tinggal?

Kisah ini mengajak kita untuk merenungkan kembali fungsi rumah-rumah doa kita—gereja, kapel, ruang doa. Apakah tempat-tempat itu masih menjadi ruang perjumpaan yang mempersatukan, atau justru menjadi panggung pameran gaya hidup yang memisahkan?

Lebih dari itu, kita diajak untuk melihat ke dalam diri. Sebab rumah doa yang paling hakiki adalah hati kita sendiri. Dari sanalah doa-doa kita berasal, dan ke sanalah doa-doa kita bermuara. Hati yang bersih melahirkan tindakan yang tulus. Pribadi yang baik akan memancarkan kebaikan bagi sesama.

Sebagai bagian dari kerasulan awam, kita dipanggil untuk membawa semangat pemurnian ini ke dalam dunia sosial, ekonomi, hukum, dan kemasyarakatan. Kita harus menjadi suara yang menolak manipulasi agama untuk kepentingan pribadi. Kita harus menjadi saksi bahwa iman bukan alat transaksi, tetapi relasi yang hidup dengan Allah dan sesama.

Rumah doa bukan hanya tempat kita berdoa, tetapi tempat kita diubah. Dan dari perubahan itulah, kita diutus untuk mengubah dunia.

 

#baitallah #rumahdoa #kerasulanawam #yesusdanbaitallah #imanyangmurni #ekaristihidup #gerejayanghidup #mewartakankasihallah #katolikaktif #hatiyangmenjadibaitallah

1 komentar:

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin