![]() |
| Oleh RP. Yoseph Selvinus Agut OFM, Komunitas Novisiat OFM Transitus Depok |
KOTA DEPOK - Dalam sejarah panjang bangsa Israel, kerinduan akan kehadiran Allah yang nyata di tengah umat-Nya menjadi benang merah yang tak pernah putus. Sejak masa pengembaraan di padang gurun, Tabut Perjanjian—dua loh batu yang memuat hukum Allah—dibawa sebagai simbol perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Namun, kerinduan itu baru menemukan bentuk tetap ketika Raja Salomo membangun Bait Allah di Yerusalem: rumah kudus tempat Allah berkenan tinggal.
Bait Allah bukan sekadar bangunan. Ia adalah pusat
spiritual, tempat umat berseru dan Allah menjawab “dari bait-Nya” (Mzm 18:7).
Ia adalah ruang perjumpaan, tempat relasi antara manusia dan Sang Ilahi dijalin
dalam doa, kurban, dan pengharapan.
Namun, dalam Injil Yohanes (2:13–25), kita menyaksikan Yesus
yang marah. Ia mengusir para pedagang dari pelataran Bait Allah,
menjungkirbalikkan meja penukar uang, dan berseru: “Jangan kamu membuat rumah
Bapa-Ku menjadi tempat berjualan!” (Yoh. 2:16). Ini bukan sekadar kemarahan
emosional, tetapi tindakan profetik yang mengguncang kesadaran religius umat.
Sebagai seorang advokat dan aktivis kerasulan awam, saya
melihat bahwa tindakan Yesus ini adalah kritik tajam terhadap mentalitas
“logika pasar” yang menyusup ke dalam ruang spiritual. Ketika doa menjadi
transaksi, ketika persembahan menjadi alat tawar-menawar, ketika ibadah menjadi
panggung pencitraan—saat itulah rumah doa kehilangan maknanya.
Yesus tidak menolak persembahan atau ritual. Ia menolak
manipulasi. Ia menolak relasi yang dibangun atas dasar pamrih. Ia menuntut kemurnian
hati, bukan kemegahan lahiriah.
Ketika Yesus berkata, “Rombaklah Bait Allah ini dan dalam
tiga hari Aku akan mendirikannya kembali” (Yoh. 2:19), Ia sedang mengungkapkan
kebenaran yang lebih dalam: bahwa diri-Nya adalah Bait Allah yang sejati.
Tubuh-Nya yang disalibkan dan bangkit menjadi tempat perjumpaan baru antara
Allah dan manusia.
Setiap kali kita merayakan Ekaristi, kita tidak hanya
mengenang peristiwa itu, tetapi mengalaminya secara nyata. Kristus hadir dalam
rupa roti dan anggur, dan ketika kita menyambut-Nya dalam Komuni Kudus, kita
pun menjadi Bait Allah yang hidup.
Maka, pertanyaannya: sudahkah kita menyadari bahwa diri kita
adalah rumah doa? Sudahkah hati kita menjadi tempat yang layak bagi Allah untuk
tinggal?
Kisah ini mengajak kita untuk merenungkan kembali fungsi
rumah-rumah doa kita—gereja, kapel, ruang doa. Apakah tempat-tempat itu masih
menjadi ruang perjumpaan yang mempersatukan, atau justru menjadi panggung
pameran gaya hidup yang memisahkan?
Lebih dari itu, kita diajak untuk melihat ke dalam diri.
Sebab rumah doa yang paling hakiki adalah hati kita sendiri. Dari sanalah
doa-doa kita berasal, dan ke sanalah doa-doa kita bermuara. Hati yang bersih
melahirkan tindakan yang tulus. Pribadi yang baik akan memancarkan kebaikan
bagi sesama.
Sebagai bagian dari kerasulan awam, kita dipanggil untuk
membawa semangat pemurnian ini ke dalam dunia sosial, ekonomi, hukum, dan
kemasyarakatan. Kita harus menjadi suara yang menolak manipulasi agama untuk
kepentingan pribadi. Kita harus menjadi saksi bahwa iman bukan alat transaksi,
tetapi relasi yang hidup dengan Allah dan sesama.
Rumah doa bukan hanya tempat kita berdoa, tetapi tempat kita
diubah. Dan dari perubahan itulah, kita diutus untuk mengubah dunia.
#baitallah #rumahdoa
#kerasulanawam #yesusdanbaitallah #imanyangmurni #ekaristihidup
#gerejayanghidup #mewartakankasihallah #katolikaktif #hatiyangmenjadibaitallah

Amin. Salam Damai.
BalasHapusBy Sir Timan
Bisnis Online