Jumat, 27 Januari 2012

Misa Imlek; Wadah Syukur dan Dialog Budaya dalam Semangat Kerasulan Awam

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK
- Sejak Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres No. 14/1967 dan menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, serta kemudian dijadikan hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2003, masyarakat Tionghoa di Indonesia kembali memperoleh ruang untuk mengekspresikan identitas budayanya secara terbuka. Di tengah semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, Gereja Katolik Paroki St. Paulus Depok mengambil langkah berani dan penuh kasih: menyelenggarakan Misa Imlek perdana pada Senin, 23 Januari 2012.

Misa yang dihadiri lebih dari seribu umat ini dipimpin oleh Pastor Tauchen Hotlan Girsang, OFM dan Pastor Stanilaus Agus Haryanto, OFM. Suasana liturgi yang meriah, dengan nuansa budaya Tionghoa dan koor dari Orang Muda Katolik (OMK), menghadirkan pengalaman spiritual yang menyentuh. Dalam homilinya, Pastor Haryo menekankan bahwa simbol naga air dalam Tahun Baru Imlek 2563 bukanlah bentuk pemujaan, melainkan lambang perubahan. “Perubahan yang dimaksud adalah komitmen untuk melakukan sesuatu demi kesejahteraan bersama,” ujarnya.

Yohanes Kho Hang Shing, koordinator acara, menjelaskan bahwa Imlek adalah momen syukur atas pergantian musim dan rezeki yang diterima. “Sebagai umat Katolik keturunan Tionghoa, kami merasa perlu merayakan syukur ini di gereja, rumah iman kami,” tuturnya. Ia menegaskan bahwa meskipun Imlek berasal dari budaya Tionghoa, semangatnya bersifat universal: berbagi berkat dan mempererat persaudaraan.

Kho Shing juga menekankan pentingnya keterlibatan seluruh umat, tanpa memandang latar belakang etnis. “Kita satu tubuh Kristus yang tidak bisa dipisahkan. Imlek adalah kesempatan untuk bersatu dalam kasih,” katanya.

Dalam menggerakkan umat, Kho Shing menggunakan kekuatan firman Tuhan. “Saya mengajak mereka yang telah diberkati untuk berbagi, seperti sabda Yesus: ‘Berilah kepada Kaisar yang menjadi hak Kaisar dan kepada Allah yang menjadi hak Allah.’ Firman Tuhan menyentuh hati mereka,” ungkapnya. Ia berharap ke depan Misa Imlek dapat diselenggarakan lebih baik dengan kepanitiaan yang terstruktur.

Terkait kontroversi pelarangan Misa Imlek di beberapa keuskupan, Pastor Tauchen menjelaskan bahwa perbedaan pandangan sering kali muncul karena percampuran antara unsur budaya dan iman. Ia mengutip konsep "interkulturasi" dari Paus Benediktus XVI, yang menekankan pentingnya dialog antara budaya dan iman, bukan asimilasi penuh. “Budaya dan iman masing-masing punya nilai. Yang tidak cocok bisa ditinggalkan, yang baik bisa memperkaya iman,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa Misa Imlek adalah kesempatan untuk mengenal dan menghargai keanekaragaman budaya. “Ini baik untuk kita kenal. Ke depan, bisa diagendakan dalam kalender liturgis agar lebih serius dan terstruktur,” harapnya.

Acara ditutup dengan pembagian jeruk dan angpao sebagai simbol berkat dan sukacita. Misa Imlek di Paroki St. Paulus Depok bukan sekadar perayaan budaya, tetapi wujud nyata kerasulan awam yang menjembatani iman dan kehidupan, budaya dan kasih. Sebuah langkah kecil yang membawa dampak besar bagi persaudaraan sejati.

 

#misaimlek #kerasulanawam #imandanbudaya #gerejahidup #syukurbersama #stpaulusdepok #kasihtanpabatas #interkulturasi #katolikaktif #persaudaraandalamkristus

“Mari, Ikutlah Aku!”; Totalitas Panggilan dan Kerasulan Awam di Tengah Dunia

Oleh: RP. Tauchen Hotlan Girsang, OFM. – Pastor Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK - Dalam Injil Markus 1:14–20, kita menemukan sebuah kisah yang ringkas namun revolusioner: panggilan Yesus kepada empat murid pertama—Simon, Andreas, Yakobus, dan Yohanes. Mereka bukan kaum terpelajar, bukan pula pemuka agama. Mereka hanyalah nelayan biasa. Namun, ketika Yesus berseru, “Mari, ikutlah Aku!”, mereka meninggalkan segalanya dan mengikuti-Nya. Inilah titik mula kemuridan, dan sekaligus panggilan kerasulan awam yang terus bergema hingga hari ini.

Panggilan bukanlah sekadar ajakan, melainkan sapaan kasih dari Allah yang menuntut respons total. Dalam konteks kerasulan awam, panggilan ini hadir dalam bentuk yang sangat konkret: menjadi pelayan di tengah keluarga, masyarakat, dan Gereja. Kita dipanggil untuk menjadi penjala manusia, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi melalui kesaksian hidup yang nyata.

Yesus memulai panggilan-Nya dengan seruan: “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” Pertobatan bukan hanya soal meninggalkan dosa, tetapi juga soal mengubah arah hidup. Dalam kerasulan awam, pertobatan berarti berpaling dari sikap apatis menuju keterlibatan aktif dalam karya keselamatan Allah. Ini adalah panggilan untuk menjadi terang di tengah kegelapan sosial, ekonomi, dan hukum yang melilit masyarakat.

Para murid tidak menawar atau menunda. Mereka langsung mengikuti Yesus. Ini adalah teladan iman yang total. Dalam kerasulan awam, kita pun dipanggil untuk melayani tanpa pamrih, tanpa menunggu waktu luang, tanpa menimbang untung-rugi. Iman yang hidup adalah iman yang bergerak, yang berani mengambil risiko demi kasih.

Kata kunci dari panggilan ini adalah “meninggalkan.” Para murid meninggalkan pekerjaan, keluarga, dan zona nyaman mereka. Ini bukan ajakan untuk mengabaikan tanggung jawab, tetapi untuk menempatkan Tuhan sebagai pusat hidup. Dalam kerasulan awam, totalitas berarti memberi waktu, tenaga, dan hati untuk pelayanan, meski harus mengorbankan kenyamanan pribadi.

Yesus tidak pernah memanggil tanpa menyediakan jalan. Ia menjamin kehidupan para murid-Nya. Paulus mengingatkan bahwa dunia ini akan berlalu, dan hanya nilai-nilai kekal yang akan bertahan. Maka, pelayanan kita bukanlah kehilangan, melainkan investasi rohani yang berbuah kekal.

Di tengah tantangan zaman—ketimpangan sosial, krisis moral, dan ketidakadilan hukum—kerasulan awam menjadi semakin relevan. Kita dipanggil untuk hadir di ruang-ruang publik, menjadi suara kenabian yang menyuarakan kebenaran dan keadilan. Dalam bidang sosial, ekonomi, hukum, dan kemasyarakatan, kerasulan awam adalah jembatan antara iman dan kehidupan nyata.

Yesus masih berseru hari ini: “Mari, ikutlah Aku!” Pertanyaannya, adakah kita cukup berani untuk meninggalkan sesuatu demi mengikuti-Nya? Adakah kita cukup percaya bahwa pelayanan kita akan diberkati-Nya? Semoga kita semua, sebagai murid-murid zaman ini, mampu menjawab panggilan itu dengan totalitas dan sukacita.

 

#panggilanmurid #kerasulanawam #imandalamaksi #totalitaspelayanan #penjalamanusia #gerejahidup #kasihallah #refleksiinjil #katolikaktif #yesusmemanggil

Senin, 16 Januari 2012

Evaluasi Natal; Cermin Kerasulan Awam dalam Pelayanan Gereja

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK
- Perayaan Natal dan Tahun Baru adalah momen puncak dalam kehidupan umat Kristiani. Di Paroki St. Paulus Depok, perayaan Natal 2011 dan Tahun Baru 2012 berlangsung dengan penuh sukacita dan berjalan relatif lancar. Namun, di balik kemeriahan liturgi dan semangat iman, tersimpan dinamika pelayanan yang menuntut refleksi dan evaluasi mendalam.

Pada Minggu, 8 Januari 2012, sekitar 25 pengurus dan panitia berkumpul di ruang gereja lama untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Tujuannya jelas: menelaah pelaksanaan kegiatan dan penggunaan dana, serta menyusun catatan perbaikan untuk masa depan.

Salah satu catatan menarik datang dari Ambros S. Mally, anggota panitia, yang menggambarkan suasana misa malam Natal pukul 17.30 sebagai “seperti arisan.” Umat yang membludak terpaksa duduk di tikar hingga memenuhi lorong dan taman gereja. Kekhusyukan misa pun sedikit terganggu karena ketertiban sulit dikendalikan.

Fenomena ini mencerminkan dua sisi: antusiasme umat yang tinggi, namun belum diimbangi dengan kesiapan sarana dan prasarana. Ini menjadi tantangan nyata bagi kerasulan awam dalam mengelola dinamika komunitas iman yang terus bertumbuh.

Ketua Panitia, Andreas Sugeng Mulyono, menyampaikan bahwa evaluasi ini mencakup semua aspek: liturgi, keamanan, logistik, hingga komunikasi antar seksi. “Apakah masukan ini akan dilaksanakan atau tidak, kita serahkan kepada panitia berikutnya. Yang penting, kita belajar dari pengalaman,” ujarnya.

Evaluasi ini bukan sekadar kritik, tetapi bentuk tanggung jawab kerasulan awam dalam memastikan bahwa setiap perayaan iman menjadi ruang yang nyaman, tertib, dan bermakna bagi seluruh umat.

Keterlibatan umat dalam kepanitiaan adalah wujud nyata kerasulan awam. Mereka bukan hanya pelaksana teknis, tetapi juga pewarta kasih Allah melalui pelayanan. Evaluasi ini menjadi bagian dari proses pembelajaran kolektif, agar pelayanan semakin profesional, inklusif, dan berorientasi pada kebutuhan umat.

Gereja yang hidup adalah gereja yang mau mendengar, belajar, dan berubah. Evaluasi Natal dan Tahun Baru ini menjadi contoh bagaimana komunitas iman tidak berhenti pada selebrasi, tetapi terus bergerak menuju pelayanan yang lebih baik. Dalam semangat sinodalitas, setiap suara didengar, setiap pengalaman dihargai, dan setiap tantangan dijadikan peluang untuk bertumbuh.

 

#kerasulanawam #evaluasinatal #gerejahidup #pelayananumat #stpaulusdepok #imandalamaksi #natalbersama #sinodalitas #kasihuntuksesama #katolikaktif

Tahun Anak; Menyemai Iman, Menumbuhkan Harapan

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK
- Tahun 2012 menjadi penanda penting dalam perjalanan pastoral Keuskupan Bogor. Setelah dua tahun sebelumnya memusatkan perhatian pada pasangan suami istri dan kaum muda, kini Gereja Katolik—melalui visi Bapa Uskup Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM—mengalihkan fokusnya kepada anak-anak. Dalam semangat Tahun Keluarga yang telah dicanangkan sejak 2010, Gereja ingin menyapa dan membina generasi masa depan dengan lebih intensif dan terarah.

Momentum ini dimulai secara simbolis dan spiritual pada Hari Anak Misioner Sedunia ke-169, Minggu 8 Januari 2012, di Paroki St. Paulus Depok. Sebuah misa kudus yang penuh sukacita menjadi pembuka Tahun Anak, sekaligus menjadi panggung bagi anak-anak Bina Iman untuk menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar penerima warisan iman, tetapi juga pewarta aktif dalam kehidupan Gereja.

Misa konselebran yang dipimpin oleh Pastor Tauchen Hotlan Girsang, OFM dan Pastor Yosafat Ivon Sinaga, OFM Cap menjadi ruang spiritual yang hidup. Anak-anak Bina Iman Anak (BIA) menari dengan penuh semangat, sementara Saint Paul Choir Children (SPCC) mengisi liturgi dengan nyanyian yang menyentuh hati.

Dalam homilinya, Pastor Yosafat membuka dengan kuis interaktif bertema “aksara bermakna”, mengajak anak-anak memahami simbol-simbol iman secara menyenangkan. Ia menegaskan, “Anak-anak adalah tulang punggung dan harapan Gereja. Dengan pekerjaan kecil yang dilakukan dengan cinta, mereka bisa menjadi bintang—saluran kasih bagi keluarga dan masyarakat.”

Pastor Tauchen, selaku pastor paroki, menjelaskan bahwa Tahun Anak bukan sekadar seremoni, melainkan komitmen nyata. “Kami ingin menggali potensi rohani anak-anak dan menyediakan ruang bina iman yang layak. Pembinaan sudah dimatangkan oleh para pendamping,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa kegiatan anak di Paroki St. Paulus disinergikan dengan program dekenat dan keuskupan. Ini menunjukkan bahwa pembinaan iman anak adalah bagian integral dari misi kerasulan awam yang berkelanjutan.

Tahun Anak adalah panggilan bagi para orang tua dan komunitas untuk menjadi teladan iman. Kerasulan awam dalam konteks ini berarti menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan iman anak—di rumah, sekolah, dan masyarakat. Gereja hadir bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi sebagai rumah pembinaan karakter Kristiani.

Anak-anak bukan sekadar objek pembinaan, tetapi subjek aktif dalam pewartaan. Melalui tindakan sederhana—menolong teman, mendoakan keluarga, berbagi dengan sesama—mereka telah menjadi pewarta kasih Allah. Tahun Anak adalah panggilan untuk melihat mereka sebagai mitra dalam misi Gereja.

 

#tahunanak #kerasulanawam #binaimananak #gerejahidup #imananak #stpaulusdepok #kasihuntuksesama #pewartacilik #misianak #katolikaktif

Jumat, 06 Januari 2012

Ketika Iman Diuji; Kerasulan Awam dan Perjuangan Umat Katolik Parung

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

PARUNG
- Menjelang Natal 2011, ketika umat Kristiani di seluruh penjuru negeri bersiap menyambut kelahiran Sang Juru Selamat, umat Katolik Paroki St. Johannes Babtista di Parung, Kabupaten Bogor, justru menghadapi kenyataan getir. Bukan hanya karena belum memiliki rumah ibadah permanen sejak 2007, tetapi juga karena adanya larangan resmi dari pemerintah daerah untuk melaksanakan kegiatan keagamaan di tanah milik mereka sendiri.

Sejak permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diajukan delapan tahun lalu, umat Parung belum juga mendapatkan kepastian hukum. Alih-alih mendapat solusi, pada 2010 Bupati Bogor mengeluarkan Surat Keputusan No. 453.2/556-Huk yang secara sepihak menghentikan seluruh kegiatan Gereja Katolik Paroki St. Johannes Babtista.

Menjelang Natal, tekanan terhadap umat semakin terasa. Spanduk-spanduk yang mengatasnamakan masyarakat Muslim Parung bermunculan, menyatakan dukungan terhadap SK Bupati dan menolak keberadaan gereja. Namun, fakta di lapangan berbicara lain. “Dari 23 spanduk yang dicetak, hanya empat yang berhasil dipasang. Sisanya ditolak oleh warga sekitar,” ungkap Hendrik, anggota Dewan Paroki.

Ia menambahkan bahwa RT, RW, dan warga dari 13 desa di sekitar lokasi gereja justru mendukung keberadaan umat Katolik. “Yang menolak bukan warga sini. Mereka dari luar wilayah,” tegasnya.

Pada 22 Desember 2011, saat umat menghadap Bupati untuk menyampaikan aspirasi, muncul usulan agar perayaan Natal dipindahkan ke lapangan Perumahan Telaga Kahuripan. Meski terdengar kompromistis, usulan ini menyisakan luka. “Kami keberatan. Ini bukan soal tempat, tapi soal hak. Kami ingin beribadah di tanah kami sendiri,” ujar Hendrik.

Kisah ini adalah potret nyata kerasulan awam yang tidak diam di hadapan ketidakadilan. Umat Parung, dengan segala keterbatasannya, tetap teguh memperjuangkan hak konstitusional mereka untuk beribadah. Mereka tidak hanya menjadi umat yang taat, tetapi juga warga negara yang sadar hukum dan hak asasi.

Keterlibatan umat dalam advokasi, dialog, dan aksi damai adalah bentuk nyata kerasulan awam yang hidup. Ini adalah panggilan untuk menjadi terang dan garam dunia, bukan hanya di altar, tetapi juga di ruang publik.

P. Markus Solo, SVD Sekretaris Kongregasi Hubungan Antar Umat Beragama kawasan Asia, menyayangkan pelanggaran kebebasan beragama ini. “Kita berasaskan kebhinekaan. Pemerintah harus memberi perhatian serius,” ujarnya.

Ismail Hasani dari Setara Institute menambahkan bahwa sepanjang 2011 terjadi 244 kasus pelanggaran kebebasan beragama, dengan 299 bentuk tindakan kekerasan. Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan menjadi provinsi dengan pelanggaran tertinggi. “Pesan toleransi yang disampaikan Presiden sebanyak 19 kali sepanjang tahun tidak membekas,” tegasnya.

Natal adalah perayaan damai, namun damai sejati tidak hadir tanpa keadilan. Umat Katolik Parung mengajarkan kita bahwa iman bukan hanya soal doa, tetapi juga keberanian memperjuangkan kebenaran. Dalam semangat kerasulan awam, mereka menjadi saksi kasih Allah yang tidak diam di hadapan ketidakadilan.

 

#kebebasanberagama #kerasulanawam #gerejauntuksemua #nataldiparung #imanyangberjuang #kasihtanpabatas #bhinekatunggalika #toleransiuntukindonesia #stjohannesbabtista #solidaritasumat

Selasa, 03 Januari 2012

Menyambut Sang Terang; Kerasulan Awam dan Wajah Gereja yang Hidup di Paroki St. Paulus Depok

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK
- Menjelang perayaan Natal, denyut kehidupan gereja-gereja di Jabodetabek terasa semakin nyata. Di tengah hiruk-pikuk kota metropolitan, umat Kristiani—baik Katolik maupun Protestan—bergerak serempak dalam semangat menyambut kelahiran Sang Juru Selamat. Di Paroki St. Paulus Depok, suasana itu bukan sekadar simbolik, melainkan nyata dalam kerja keras, doa, dan aksi nyata yang mencerminkan semangat kerasulan awam yang hidup.

Natal bukan sekadar perayaan liturgis. Ia adalah momentum iman yang menggerakkan hati dan tangan. Di bawah kepemimpinan Bapak Andreas Sugeng Mulyono, Panitia Natal dan Tahun Baru 2012 di Paroki St. Paulus Depok menunjukkan bagaimana iman diterjemahkan dalam tindakan. “Dekorasi gereja, kandang Natal, pohon Natal, latihan koor, tenda, hingga pembersihan gereja—semuanya kami siapkan bersama. Dukungan dari Pastor Paroki, DPP/DKP, dan umat lingkungan sangat luar biasa,” ujarnya.

Keterlibatan umat lintas usia dan latar belakang dalam persiapan ini menjadi cermin dari semangat sinodalitas: berjalan bersama dalam iman, harapan, dan kasih. Ini bukan sekadar kerja panitia, melainkan kerja Gereja yang hidup.

Kerasulan awam tidak berhenti di dalam tembok gereja. Ia menjelma dalam aksi nyata yang menyentuh kehidupan masyarakat. Pada 4 Desember 2011, Panitia Natal bekerja sama dengan Seksi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) mengadakan pengobatan gratis dan donor darah. Sebanyak 74 pasien dilayani, dan 36 dari 52 pendaftar berhasil mendonorkan darahnya.

Kegiatan ini bukan hanya bentuk pelayanan, tetapi juga pewartaan kasih Allah yang konkret. Dana kegiatan sepenuhnya ditanggung oleh Seksi PSE, menunjukkan bahwa solidaritas dan tanggung jawab sosial adalah bagian integral dari iman Katolik.

Masa Adventus adalah masa penantian yang aktif. Ia bukan sekadar menunggu, tetapi mempersiapkan hati dan hidup untuk menyambut Kristus. Dalam konteks ini, kesiapan batin menjadi prioritas, namun tidak mengesampingkan kesiapan lahiriah yang mendukung suasana sakral perayaan.

Bapak Andreas berharap agar panitia di tahun-tahun mendatang semakin solid dan inovatif. “Semoga pelayanan kita semakin baik dan menjadi berkat bagi lebih banyak orang,” harapnya.

Letak strategis Gereja St. Paulus Depok menuntut perhatian khusus terhadap keamanan dan parkir. Panitia telah berkoordinasi dengan Polsek Pancoran Mas, Polres Depok, Kodim, dan Koramil. Bahkan, lahan parkir milik Gereja Pentakosta, Puri Agung, dan Kantor Pajak turut digunakan. Ini adalah contoh nyata kolaborasi lintas iman dan institusi demi kenyamanan umat.

Kisah dari Paroki St. Paulus Depok adalah potret bagaimana kerasulan awam menjadikan Gereja Katolik relevan di tengah masyarakat. Melalui aksi sosial, pelayanan liturgis, dan kolaborasi lintas sektor, umat Katolik mewartakan kasih Allah yang hidup dan menyentuh.

Natal bukan hanya tentang mengenang kelahiran Yesus, tetapi tentang menghadirkan-Nya dalam dunia yang haus akan kasih, keadilan, dan pengharapan. Dan dalam setiap tindakan kecil—dari mendekorasi gereja hingga melayani sesama—kita semua dipanggil menjadi bagian dari karya keselamatan itu.

 

#kerasulanawam #natalbersama #gerejahidup #kasihuntuksesama #stpaulusdepok #psebergerak #adventus #damainatal #imandalamaksi #katolikaktif

Menjadi Gembala di Zaman Digital; Mewartakan Kebenaran dalam Gurita Kepalsuan

Oleh: RP. Tauchen Hotlan Girsang, OFM. – Pastor Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK
- Injil Lukas membuka kisah kelahiran Yesus dengan narasi yang menggugah: para gembala, kaum sederhana yang hidup di pinggiran masyarakat, menjadi penerima pertama kabar kelahiran Sang Juru Selamat. Mereka tidak menunda. Mereka tidak menimbang untung rugi. Mereka bergegas menuju Betlehem, meninggalkan kawanan domba demi menyambut kelahiran Yesus. Perjumpaan itu mengubah segalanya. Mereka melihat, mendengar, dan mengalami kebenaran. Dan kebenaran itu membuat mereka pulang sambil memuji Allah.

Para gembala menjadi pewarta pertama. Mereka menggantikan tugas malaikat, menyampaikan kabar keselamatan kepada dunia. Mereka tidak membawa teori, tetapi kesaksian hidup. Mereka tidak menyebar opini, tetapi kebenaran yang telah mereka alami sendiri.

Hari ini, kita hidup dalam zaman yang berbeda. Dunia digital menawarkan kemudahan, tetapi juga jebakan. Informasi menyebar dalam hitungan detik, namun kebenaran sering kali terkubur di bawah tumpukan hoaks, manipulasi, dan sensasi. Kita menyaksikan betapa sulitnya mengungkap kebenaran dalam kasus korupsi, kekerasan, atau sengketa hukum. Bahkan dalam hal-hal sepele, kepalsuan kerap menjadi pilihan yang lebih aman.

Kita hidup dalam masyarakat yang terbiasa menyelamatkan diri dengan kebohongan. Kita membungkus kebusukan dengan senyum manis, menyembunyikan dusta di balik kata-kata manis. Kita menjadi bagian dari mata rantai kepalsuan: menyukai berita palsu, menyebarkannya, dan menjadikannya alat pembenaran.

Natal bukan sekadar perayaan liturgis. Ia adalah undangan untuk bertemu dengan Yesus, Sang Kebenaran. Tanpa perjumpaan itu, mustahil kita memiliki keberanian untuk memilih kebenaran di tengah dunia yang lebih menyukai kebohongan. Seperti para gembala, kita dipanggil untuk menjadi saksi dan pembawa kabar baik.

Kita diajak untuk berani meninggalkan zona nyaman, meninggalkan kepalsuan yang menenangkan, dan memilih kebenaran yang membebaskan. Kita diajak untuk menjadi gembala zaman ini—mereka yang berani bergegas, menyambut Yesus, dan mewartakan kasih-Nya kepada dunia.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya menyaksikan bagaimana komunitas-komunitas Katolik bergerak dalam bidang sosial, ekonomi, hukum, dan kemasyarakatan. Mereka hadir di tengah masyarakat, mendampingi korban ketidakadilan, memberdayakan ekonomi umat, dan menjadi suara bagi yang tak bersuara.

Kebenaran bukan hanya soal kata-kata, tetapi tindakan nyata. Ketika umat Katolik terlibat dalam advokasi hukum, pendampingan sosial, dan pemberdayaan ekonomi, mereka sedang mewartakan kasih Allah. Mereka menjadi terang di tengah kegelapan, menjadi gembala yang membawa kabar baik.

Konferensi Waligereja Indonesia dalam pesan Natal 2011 menggarisbawahi empat sikap yang relevan hingga kini:

  1. Sederhana dan bersahaja – Meneladani Yesus yang lahir di kandang, mengosongkan diri-Nya demi manusia.
  2. Rajin dan giat – Seperti para gembala yang cepat-cepat menjumpai Yesus.
  3. Tanpa diskriminasi – Menerima siapa pun seperti para Majus dari Timur diterima oleh Kanak-kanak Yesus.
  4. Tidak separatis – Menghayati ajaran Yesus bahwa siapa pun yang tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.

Empat sikap ini menjadi fondasi kerasulan awam dalam mewartakan kasih dan kebenaran Allah di tengah masyarakat.

Perayaan Natal adalah saat di mana kita berharap boleh merayakan terkuaknya kebenaran sejati yang dibawa oleh Yesus sendiri. Semoga kelahiran Yesus menjadi pijakan bagi paroki dan komunitas kita untuk berjalan di dalam kebenaran, walau di sekeliling kita masih ada gurita kepalsuan.

Mari kita menjadi gembala zaman ini. Mari kita bergegas, menjumpai Yesus, dan membawa terang-Nya ke tengah dunia. Sebab hanya dalam Dia, Sang Kebenaran, kita menemukan keselamatan, damai, dan kasih sejati. Tuhan Yesus memberkati.

 

#kebenarannatal #kerasulanawamkatolik #gembalazamanini #mewartakasihallah #nataldalamaksi #imandankeadilan #beraniuntukbenar

Jejak-Mu di Tengah Sunyi


"Jejak-Mu di Tengah Sunyi"

Di manakah engkau ya Yesus...
Saat aku mencari....
Hanya kosong....tanpa jejak jelas...
Tidak di rumah...sekolah..gereja.... sunyi sepi

Adakah Engkau...
di sosok anak pengamen ingusan...
yang bernyanyi lantang tidak karuan dengan kecrekan
Di perempatan jalan?  Atau...

Pengemis di depan Gereja...
Meski beda agama... Atau bahkan tak punya agama
Bagi mereka.....Perut lebih penting dari dogma.....
.......Adakah jejak-Mu di sana....Atau ...

di panti asuhan, panti jompo, sel-sel penjara,
rumah sakit....rumah singgah, sekolah jalanan...
yang menungggu sapaan dan uluran tangan...
Dengan dana .......kasih....... dan sayang

Butakah mata dan hati kami.......
Memikirkan diri sendiri dan hanya berkeluh kesah tentang kesusahan kami
hingga tak jelas melihat jejak-Mu........ di antara mereka
Hanya ingat.....saat natal tiba
Itupun hanya sebatas seremoni dan hura-hura saja

Saat ini...di sini...di gereja ini
dimana orang datang dan pergi.......
untuk berdoa...?,....bergaya.....?..atau malah mengisi pundi-pundi pribadi...
dengan manisnya kata dan seribu tipu daya....
namun mencaci-maki sesuka hati...bila hasrat tak terpenuhi
merasa diri ini penting........... benar .......dan ...........punya kuasa
dengan selimut status,..... gengsi.........., kedudukan.............. juga.......harta
merasa diri paling benar...paling baik.......paling suci... ..
Yang lain.......tak berarti...........
Hingga....tersisa hanya....  kosong, angkuh, dingin dan ….sepi.... …

"Kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu dan....dengan segenap jiwamu dan
dengan segenap kekuatanmu dan ....dengan segenap akal budimu, dan
kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". 
Itu Sabda-Mu yang utama dan terutama....

Itukah yang Engkau inginkan dari kami
Untuk makin pasrah...ikhlas..... pada Ilahi
Bersama Engkau yang  hadir pada sesama kami……di hidup dan kehidupan kami
Bukan di kandang natal…….
Tak juga di gereja ini …..meski dengan altar yang penuh bunga warna-warni….
Tapi di hidup……. dan kehidupan kami sehari-hari………………
Bila ingin bersahabat dengan-Mu lagi


Kota Depok, 23 November 2011
Bambang Budiharto

Natal Tanpa Sang Tamu; Ketika Palungan Kosong di Tengah Kemeriahan

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK
- Setiap tahun, menjelang Natal, kita disibukkan oleh satu pertanyaan yang terdengar sederhana namun sarat makna: “Apa yang kita siapkan untuk menyambut kelahiran Yesus?” Pertanyaan ini, meski sering diucapkan, jarang benar-benar direnungkan secara mendalam. Kita menjawabnya dengan spontan: pohon Natal yang indah, lampu kelap-kelip, kado-kado, makanan lezat, liburan keluarga, dan pesta yang meriah. Semua itu sah-sah saja. Namun, apakah Yesus yang kita rayakan turut hadir dan berkenan atas semua kemeriahan itu?

Sebuah kisah sederhana yang pernah saya baca di sebuah media mengajak kita untuk merenung lebih dalam. Kisah ini bukan hanya menyentuh, tetapi juga menampar kesadaran kita sebagai umat beriman.

Diceritakan, sebuah keluarga mengadakan pesta Natal yang megah. Rumah dihias dengan gemerlap, meja dipenuhi makanan dan minuman, musik mengalun, tawa dan nyanyian menggema. Namun di tengah pesta itu, seorang asing berpakaian sederhana mengetuk pintu. Ia mengetuk berkali-kali, namun tak kunjung dibukakan karena semua orang sibuk dalam euforia perayaan.

Akhirnya, sang tuan rumah membukakan pintu. Melihat penampilan orang asing itu, ia menolak dengan halus namun tegas. “Maaf, pesta ini hanya untuk keluarga dan teman dekat,” katanya. Orang asing itu pun pergi dengan sedih, menatap pesta dari balik jendela, lalu berbisik dalam hati: “Mengapa mereka merayakan kelahiran-Ku, tapi Aku justru tidak diperbolehkan hadir?”

Kisah ini, meski fiktif, mencerminkan realitas yang sering terjadi. Kita merayakan Natal dengan gegap gempita, namun melupakan Sang Pemilik Pesta. Kita menghias palungan, tapi lupa mengundang Sang Bayi Kudus untuk bersemayam di dalamnya.

Sebagai umat Katolik, kita diajak untuk tidak berhenti pada simbol-simbol lahiriah. Natal bukan sekadar ornamen, lagu, atau pesta. Natal adalah perayaan inkarnasi—Allah yang menjadi manusia, hadir dalam kesederhanaan, dalam palungan, dalam keheningan malam, dalam keluarga kecil yang miskin namun penuh kasih.

Yesus tidak lahir di istana, tetapi di kandang. Ia tidak disambut oleh para bangsawan, tetapi oleh para gembala. Maka, menyambut Natal berarti menyiapkan hati yang sederhana, terbuka, dan penuh kasih. Bukan hati yang sibuk dengan kemewahan, tetapi hati yang siap menjadi palungan tempat Sang Juru Selamat bersemayam.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa tugas kita bukan hanya merayakan Natal, tetapi menghadirkan Kristus dalam kehidupan nyata. Kita dipanggil untuk menjadi palungan hidup—tempat di mana kasih Allah menjelma dalam tindakan nyata: memberi makan yang lapar, mengunjungi yang sakit, menyapa yang kesepian, dan menghibur yang berduka.

Natal bukan hanya tentang mengenang kelahiran Yesus dua ribu tahun lalu. Natal adalah tentang membiarkan Yesus lahir kembali hari ini—di hati kita, di keluarga kita, di komunitas kita, dan di dunia yang sedang terluka.

Maka, pertanyaannya bukan lagi “Apa yang kita siapkan untuk Natal?” tetapi “Untuk siapa kita menyiapkan semua ini?” Apakah Yesus sungguh hadir dalam pesta kita? Apakah kita menyediakan ruang bagi-Nya, atau justru menutup pintu karena terlalu sibuk dengan kemeriahan?

Mari kita siapkan hati kita, bukan hanya rumah kita. Mari kita undang Yesus, bukan hanya tamu-tamu. Mari kita hadirkan kasih, bukan hanya kemewahan. Sebab hadiah terindah bagi Yesus bukanlah kado mahal, tetapi hati yang terbuka dan hidup yang dipersembahkan bagi sesama.

 

#natalbersamakristus #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imanyanghidup #yesusdipalunganhati #maknanatalsejati #undangyesusmasuk #nataluntuksesama #hidupsebagaipalungan