
Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013
KOTA DEPOK - Sejak Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres No. 14/1967
dan menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, serta kemudian dijadikan hari
libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2003, masyarakat
Tionghoa di Indonesia kembali memperoleh ruang untuk mengekspresikan identitas
budayanya secara terbuka. Di tengah semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi
Bhinneka Tunggal Ika, Gereja Katolik Paroki St. Paulus Depok mengambil langkah
berani dan penuh kasih: menyelenggarakan Misa Imlek perdana pada Senin, 23
Januari 2012.
Misa yang dihadiri lebih dari seribu umat ini dipimpin oleh
Pastor Tauchen Hotlan Girsang, OFM dan Pastor Stanilaus Agus Haryanto, OFM.
Suasana liturgi yang meriah, dengan nuansa budaya Tionghoa dan koor dari Orang
Muda Katolik (OMK), menghadirkan pengalaman spiritual yang menyentuh. Dalam
homilinya, Pastor Haryo menekankan bahwa simbol naga air dalam Tahun Baru Imlek
2563 bukanlah bentuk pemujaan, melainkan lambang perubahan. “Perubahan yang
dimaksud adalah komitmen untuk melakukan sesuatu demi kesejahteraan bersama,”
ujarnya.
Yohanes Kho Hang Shing, koordinator acara, menjelaskan bahwa
Imlek adalah momen syukur atas pergantian musim dan rezeki yang diterima.
“Sebagai umat Katolik keturunan Tionghoa, kami merasa perlu merayakan syukur
ini di gereja, rumah iman kami,” tuturnya. Ia menegaskan bahwa meskipun Imlek
berasal dari budaya Tionghoa, semangatnya bersifat universal: berbagi berkat
dan mempererat persaudaraan.
Kho Shing juga menekankan pentingnya keterlibatan seluruh
umat, tanpa memandang latar belakang etnis. “Kita satu tubuh Kristus yang tidak
bisa dipisahkan. Imlek adalah kesempatan untuk bersatu dalam kasih,” katanya.
Dalam menggerakkan umat, Kho Shing menggunakan kekuatan
firman Tuhan. “Saya mengajak mereka yang telah diberkati untuk berbagi, seperti
sabda Yesus: ‘Berilah kepada Kaisar yang menjadi hak Kaisar dan kepada Allah
yang menjadi hak Allah.’ Firman Tuhan menyentuh hati mereka,” ungkapnya. Ia
berharap ke depan Misa Imlek dapat diselenggarakan lebih baik dengan
kepanitiaan yang terstruktur.
Terkait kontroversi pelarangan Misa Imlek di beberapa
keuskupan, Pastor Tauchen menjelaskan bahwa perbedaan pandangan sering kali
muncul karena percampuran antara unsur budaya dan iman. Ia mengutip konsep
"interkulturasi" dari Paus Benediktus XVI, yang menekankan pentingnya
dialog antara budaya dan iman, bukan asimilasi penuh. “Budaya dan iman
masing-masing punya nilai. Yang tidak cocok bisa ditinggalkan, yang baik bisa
memperkaya iman,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa Misa Imlek adalah kesempatan untuk
mengenal dan menghargai keanekaragaman budaya. “Ini baik untuk kita kenal. Ke
depan, bisa diagendakan dalam kalender liturgis agar lebih serius dan
terstruktur,” harapnya.
Acara ditutup dengan pembagian jeruk dan angpao sebagai
simbol berkat dan sukacita. Misa Imlek di Paroki St. Paulus Depok bukan sekadar
perayaan budaya, tetapi wujud nyata kerasulan awam yang menjembatani iman dan
kehidupan, budaya dan kasih. Sebuah langkah kecil yang membawa dampak besar
bagi persaudaraan sejati.
#misaimlek #kerasulanawam
#imandanbudaya #gerejahidup #syukurbersama #stpaulusdepok #kasihtanpabatas
#interkulturasi #katolikaktif #persaudaraandalamkristus







