Jumat, 09 Desember 2011

Dari Magelang ke Altar; Kisah Panggilan dan Pengabdian Pastor Agustinus Anton Widarto, OFM

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK
- Sabtu sore, 3 September 2011, menjadi momen yang tak terlupakan bagi umat Paroki St. Paulus Depok. Dalam Misa pukul 17.30 WIB, umat menyambut dengan sukacita Misa Perdana Pastor Agustinus Anton Widarto, OFM, yang baru saja ditahbiskan oleh Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta. Misa ini menjadi perayaan iman dan syukur atas panggilan hidup imamat yang dijawab dengan penuh keberanian dan kerendahan hati oleh putra Magelang ini.

Lahir pada 8 April 1983 dari pasangan FX. Srinyoto dan Fransiska Romana Sriwarti, Pastor Anton adalah anak kedua dari dua bersaudara. Sejak kecil, benih panggilan hidup membiara telah tumbuh dalam dirinya. Ketertarikannya semakin kuat ketika ia berkenalan dengan seorang bruder yang memperkenalkannya pada kehidupan religius. Namun, jalan menuju altar tidak selalu mulus. Orangtuanya sempat menolak keputusannya karena kekhawatiran akan kesepian di masa tua. Namun, cinta yang tulus dan keteguhan hati Anton akhirnya meluluhkan hati mereka.

Setelah menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 1 Muntilan dan SMA Negeri Magelang, ia melanjutkan ke Seminari Menengah Martoyudan pada tahun 2001. Tahun berikutnya, ia menjalani masa postulan di Yogyakarta, dan kemudian menempuh studi Filsafat dan Teologi di Jakarta dari 2004 hingga 2010.

Selama masa diakonatnya di Paroki St. Paulus Depok, Pastor Anton merasakan dukungan yang luar biasa dari umat dan para imam. “Bersyukur diterima di paroki ini. Pastor paroki selalu mengingatkan dan memotivasi saya untuk menyapa umat,” ujarnya. Ia mengutip pesan St. Fransiskus Asisi: “Perbaikilah gerejamu,” sebagai inspirasi untuk terlibat aktif dalam kehidupan komunitas.

Dalam homilinya yang singkat namun menyentuh, ia berkata, “Orang baik adalah orang yang berani memperbaiki kesalahannya. Terima kasih atas perhatian dan dukungan atas panggilan saya.” Ucapan ini mencerminkan kerendahan hati dan kesadaran akan pentingnya pertobatan dan pembaruan diri dalam panggilan hidup imamat.

Kini, Pastor Anton mengemban tugas sebagai pengelola keuangan di Provinsi OFM Indonesia. Sebuah tanggung jawab besar yang dijalani dengan semangat pelayanan dan kesetiaan.

Keputusannya bergabung dengan Ordo Fratrum Minorum (OFM) bukan tanpa alasan. Sejak masa novisiat di Transitus Depok (2003–2004), ia merasakan kedekatan spiritual dengan semangat St. Fransiskus Asisi. “Saya yakin ada maksud Tuhan di balik semua ini. Nama besar St. Fransiskus Asisi menjadi inspirasi saya,” ungkapnya.

Sebagai imam Fransiskan, ia tidak hanya menjalani hidup doa dan pelayanan, tetapi juga menjadi bagian dari komunitas yang hidup dalam kesederhanaan, persaudaraan, dan cinta terhadap ciptaan.

Kepada Orang Muda Katolik (OMK) St. Paulus Depok, Pastor Anton menyampaikan pesan yang tegas namun penuh kasih. “Kaum muda adalah masa depan Gereja. Mereka harus lebih dewasa. Jika melihat sesuatu yang dianggap tradisional atau ketinggalan zaman, jangan hanya mengkritik. Lakukan sesuatu. Bangun komunikasi. Terima kritik dan teguran dengan hati terbuka.”

Pesan ini menjadi pengingat bahwa Gereja bukan hanya tempat ibadah, tetapi ruang pertumbuhan dan keterlibatan. Kaum muda dipanggil bukan hanya untuk hadir, tetapi untuk berkontribusi.

Dalam acara ramah tamah, Pastor Stanislaus Agus Haryanto, OFM, menyampaikan pesan mendalam: “Menjadi imam membutuhkan waktu lama, sekitar 10–11 tahun. Jangan merasa paling super. Imam hadir untuk melayani, bukan dilayani.”

Kisah Pastor Anton adalah kisah tentang panggilan, perjuangan, dan pengabdian. Ia adalah saksi bahwa jalan menuju altar bukanlah jalan yang mudah, tetapi penuh rahmat. Dan bagi kita semua, kisah ini menjadi undangan untuk terus mendukung panggilan hidup membiara, serta menjadi bagian dari Gereja yang hidup, dinamis, dan penuh kasih.

 

#panggilanimamat #pastorantonwidartoofm #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imanyanghidup #omkberkarya #fransiskanindonesia #pelayananbukankekuasaan #menjadiimamadalahpilihan

Yohanes Pembaptis; Nabi yang Membuka Jalan dan Menyusutkan Diri

Oleh: Fr. Leonardus Hambur, OFM, yang kini sedang menjalan Tahun Orientasi Pastoral di Paroki Santo Paulus Depok

KOTA DEPOK
- Dalam sejarah keselamatan, nama Yohanes Pembaptis tidak pernah tenggelam. Ia bukan hanya tokoh transisi antara Perjanjian Lama dan Baru, tetapi juga menjadi figur profetik yang menggetarkan hati dan menggugah kesadaran. Ia bukan nabi biasa. Ia adalah suara yang berseru-seru di padang gurun, mempersiapkan jalan bagi Tuhan. Dan lebih dari itu, ia adalah teladan kerendahan hati yang radikal.

Yesus sendiri memberikan kesaksian yang luar biasa tentang Yohanes. “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis” (Mat 11:11). Namun, Yohanes tidak pernah menepuk dada. Ia tidak membangun panggung untuk dirinya. Ia justru berkata, “Ia (Yesus) harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh 3:30).

Dalam dunia yang haus akan pengakuan dan sorotan, Yohanes tampil sebagai anomali. Ia hidup di padang gurun, mengenakan pakaian dari bulu unta, dan makan belalang serta madu hutan. Ia tidak mencari kenyamanan, apalagi popularitas. Ia tidak tertarik menjadi pusat perhatian. Ia tahu siapa dirinya: bukan Mesias, bukan Elia, bukan nabi besar yang ditunggu-tunggu. Ia hanyalah suara. Suara yang memanggil pertobatan. Suara yang menunjuk kepada Sang Terang.

Yesus mengajukan pertanyaan retoris kepada orang banyak: “Untuk apakah kamu pergi ke padang gurun? Melihat buluh yang digoyangkan angin? Melihat orang berpakaian halus?” Tidak. Mereka pergi untuk melihat nabi. Dan bukan sembarang nabi, melainkan utusan yang mempersiapkan jalan bagi Tuhan.

Yohanes adalah pribadi yang tahu tempatnya. Ia tidak mengambil kemuliaan yang bukan miliknya. Ia tidak membiarkan orang-orang mengkultuskannya. Ia menolak semua klaim kebesaran. Ia tahu bahwa tugasnya adalah membuka jalan, bukan menjadi tujuan. Ia tahu bahwa dirinya hanyalah lentera, bukan cahaya itu sendiri.

Namun, kerendahan hatinya tidak membuatnya lemah. Ia adalah nabi yang berani. Ia mengkritik ketidakadilan, bahkan kepada penguasa. Ia menegur Herodes karena mengambil istri saudaranya, dan karena itu ia dipenjara dan akhirnya dipenggal. Tapi Yohanes tidak pernah mundur. Ia tetap setia pada kebenaran, meski harus membayar dengan nyawa.

Dalam masa Advent ini, Yohanes mengajak kita untuk menyiapkan jalan bagi Tuhan—bukan di padang gurun, tetapi di hati kita. Ia mengajak kita untuk merendahkan diri, membersihkan hati dari kesombongan, dan membuka ruang bagi Kristus untuk lahir. Sebab Yesus tidak lahir di istana, tetapi di kandang yang sederhana. Maka, hanya hati yang sederhana yang mampu menyambut-Nya.

Sebagai umat Katolik, kita dipanggil untuk menjadi seperti Yohanes: menjadi suara yang menghadirkan terang Kristus bagi mereka yang menderita, tersingkir, tertawan, dan miskin. Kita dipanggil untuk berkarya bukan demi kemuliaan pribadi, tetapi demi kemuliaan Allah. Kita dipanggil untuk menjadi besar dalam kerendahan hati, bukan dalam kesombongan.

Pertanyaan reflektif untuk kita semua: Apakah kita siap menjadi kecil agar Kristus semakin besar? Apakah kita bersedia menjadi suara yang memudar agar terang Kristus bersinar? Apakah kita cukup rendah hati untuk mengakui bahwa kita hanyalah utusan, bukan tujuan?

Yohanes Pembaptis telah menunjukkan jalannya. Kini giliran kita untuk melanjutkan jejaknya.

 

#yohanespembaptis #advent #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imanyanghidup #kerendahanhati #yesussemakinbesar #suaradipadanggurun #pewartakebenaran

Selasa, 06 Desember 2011

Bahtera di Tengah Kabut; Menyikapi Perkawinan Campur dalam Terang Iman Katolik

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK - Perkawinan adalah perjumpaan dua pribadi yang berkomitmen untuk saling mencintai dan mengarungi kehidupan bersama. Namun dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, perjumpaan itu kerap kali melintasi batas-batas agama. Maka, tak mengherankan jika angka perkawinan campur—terutama beda agama—terus meningkat. Data Keuskupan Bogor mencatat bahwa antara tahun 2009 hingga 2011, angka perkawinan campur mencapai 34,04%, tertinggi di Asia. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin dari dinamika sosial dan tantangan pastoral yang nyata.

Minggu, 19 November 2011, Komisi Keluarga Dekenat Utara Keuskupan Bogor menyelenggarakan Seminar Kawin Campur di Gereja Katolik St. Thomas Kelapa Dua, Depok. Mengangkat tema “Bahtera di Tengah Kabut”, seminar ini menjadi ruang refleksi dan diskusi terbuka bagi umat Katolik yang sedang atau akan menghadapi realitas perkawinan beda agama.

Dalam sambutannya, Yohanes Handoyo, Ketua Panitia sekaligus Ketua Seksi Kerasulan Keluarga St. Markus Depok Timur, mengibaratkan rumah tangga sebagai bahtera yang harus siap menembus kabut. “Kabut pasti ada dalam perkawinan. Pertanyaannya: apakah kita sudah mempersiapkan bahtera itu dengan baik?” ujarnya.

Acara ini dihadiri oleh 213 peserta dari enam paroki se-Dekenat Utara, termasuk 55 pasangan suami istri dan 80 Orang Muda Katolik. Hadir pula para pastor, di antaranya RD Antonius Dwi Haryanto dan RD Andreas Bramantyo, serta para pembicara kompeten seperti RP. Andang L. Binawan, SJ, RD Alfons Sutarno, dan psikolog Dra. Ratih Ibrahim, MM, Psi.

Gereja Katolik tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa perkawinan campur akan terus terjadi. Namun, Gereja juga tidak tinggal diam. Dalam dokumen Familiaris Consortio (78), Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa perkawinan campur adalah situasi pastoral yang sulit (situazione irregolare) dan memerlukan perhatian khusus.

RP. Andang L. Binawan, SJ, menyampaikan dengan lugas, “Pernikahan beda agama akan terjadi konflik besar. Untuk itu, selamat berjuang.” Sebuah pernyataan yang bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk menyadarkan bahwa cinta saja tidak cukup. Diperlukan kesiapan iman, komunikasi, dan komitmen yang matang.

RD Alfons Sutarno menambahkan bahwa sejarah Gereja di Asia menunjukkan betapa beratnya pergumulan dalam menghadapi perkawinan campur. “Iman bisa tergerus jika tidak dipersiapkan dengan baik,” tegasnya. Ia mengajak kaum muda untuk berpikir realistis dan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap iman dan keluarga.

Tiga narasumber perempuan—Anastasia Irene, Editha Yuli, dan Sri Hasnawati—berbagi kisah nyata mereka. Ibu Editha Yuli menyebut pernikahannya sebagai “yang terburuk dari yang paling buruk.” Sementara Ibu Anastasia Irene mengaku menyesal karena mengabaikan dampak buruk dari perkawinan campur dan akhirnya memilih berpisah demi iman dan anak-anaknya.

Namun, tidak semua kisah berakhir pahit. Ibu Sri Hasnawati justru menemukan kebahagiaan dalam perkawinannya. “Kuncinya adalah doa dan usaha yang terus-menerus. Dalam pelayanan di gereja dan lingkungan, saya selalu bersama,” ungkapnya. Kisah ini menunjukkan bahwa meski sulit, bukan tidak mungkin membangun keluarga lintas iman yang harmonis—asal ada komitmen dan dukungan komunitas.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa tugas kita bukan menghakimi, tetapi mendampingi. Gereja harus hadir sebagai ibu yang bijak—tegas dalam ajaran, tetapi penuh kasih dalam pendekatan. Kita perlu menciptakan ruang dialog yang jujur dan terbuka, di mana kaum muda bisa bertanya, berdiskusi, dan menemukan terang dalam kebingungan mereka.

Seminar ini adalah langkah konkret ke arah itu. Ia bukan solusi instan, tetapi benih kesadaran. Bahwa perkawinan bukan hanya soal cinta, tetapi juga iman. Bahwa bahtera rumah tangga harus dibangun di atas dasar yang kokoh, agar mampu menembus kabut zaman.

Perkawinan campur adalah realitas yang tak bisa dihindari. Namun, Gereja dan umatnya tidak boleh menyerah. Kita harus terus membina, mendampingi, dan mendoakan. Karena pada akhirnya, yang menyelamatkan bukanlah keseragaman, tetapi kesetiaan. Kesetiaan pada iman, pada pasangan, dan pada Tuhan.

 

#kawincampur #kerasulankeluarga #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imandanperkawinan #bahteraditengahkabut #familiarisconsortio #omkberpikirmatang #keluargakatolik #seminarkawincampur

Rekoleksi Misdinar; Menyalakan Semangat Pelayanan Sejak Dini

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK
-Dalam dunia yang semakin pragmatis dan serba instan, menemukan anak-anak muda yang bersedia melayani di altar adalah anugerah yang tak ternilai. Mereka bukan hanya pelengkap liturgi, tetapi wajah Gereja yang hidup. Pada Minggu, 6 November 2011, sebanyak 75 misdinar dari Paroki Santo Paulus dan Santo Matius Depok Tengah berkumpul dalam sebuah rekoleksi bersama di Novisiat Transitus Depok. Sebuah momentum yang bukan hanya membekali, tetapi juga menyegarkan kembali semangat pelayanan mereka.

Rekoleksi yang berlangsung dari pukul 11.00 hingga 15.00 WIB ini dipandu oleh tiga frater OFM: Frater Leon, Frater Edu, dan Frater Epa. Kegiatan diawali dengan doa pembuka dan sesi perkenalan yang hangat. Para peserta dibagi ke dalam tujuh kelompok kecil, masing-masing dinamai dengan nama binatang peliharaan—sebuah pendekatan kreatif untuk membangun keakraban dan dinamika kelompok.

Sesi pertama yang dipandu Frater Leon membahas secara mendalam tentang siapa itu misdinar dan apa tugasnya. Bukan sekadar mengenakan jubah dan membawa lilin, tetapi menjadi pelayan altar yang memahami makna liturgi dan spiritualitasnya. Sesi ini diselingi dengan tanya jawab dan permainan interaktif yang dipandu Frater Epa, menciptakan suasana yang hidup dan menyenangkan.

Setelah doa Angelus dan makan siang bersama, sesi kedua dimulai dengan nyanyian dan permainan yang kembali membangkitkan semangat. Frater Leon kemudian melanjutkan dengan materi tentang spiritualitas misdinar. Ia menekankan bahwa pelayanan di altar bukan sekadar rutinitas, tetapi panggilan untuk menghadirkan Kristus dalam tindakan sederhana.

Materi tentang “pirus misdinar”—nilai-nilai dasar yang harus dimiliki seorang pelayan altar—juga dibahas. Di antaranya: kesetiaan, tanggung jawab, kerendahan hati, dan semangat pengorbanan. Para peserta diajak untuk merenungkan kembali motivasi mereka melayani dan bagaimana mereka dapat menjadi teladan di tengah komunitas.

Menjelang akhir kegiatan, perwakilan dari kedua paroki menyampaikan kesan dan pesan. Suara-suara yang muncul mencerminkan kegembiraan, rasa syukur, dan harapan agar kegiatan seperti ini dapat terus berlanjut. Rekoleksi ini bukan hanya mempererat persaudaraan antar misdinar, tetapi juga memperdalam pemahaman mereka akan tugas suci yang mereka emban.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat bahwa kegiatan seperti ini adalah investasi jangka panjang Gereja. Misdinar bukan hanya pelayan altar, tetapi calon-calon pemimpin umat, pewarta, bahkan mungkin imam dan biarawan di masa depan. Mereka perlu dibina, didampingi, dan diberi ruang untuk bertumbuh dalam iman dan pelayanan.

Rekoleksi ini adalah bukti bahwa Gereja tidak tinggal diam. Ia hadir, membina, dan menumbuhkan. Ia menanam benih-benih panggilan dalam hati anak-anak muda yang bersedia berkata “ya” kepada Tuhan, bahkan dalam hal-hal kecil.

Kepada semua pihak yang telah mendukung terselenggaranya rekoleksi ini—para frater, panitia, orang tua, dan para pendamping—kami ucapkan terima kasih. Semoga semangat pelayanan yang telah ditanam hari ini terus tumbuh dan berbuah dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat.

Karena di sekitar altar, bukan hanya lilin yang menyala. Tetapi juga hati yang terbakar oleh kasih dan semangat untuk melayani.

 

#rekoleksimisdinar #pelayanaltar #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imanyanghidup #melayanidengansukacita #misdinarstpaulus #misdinarstmatius #semangatpelayanansejakdini

Di Sekitar Altar; Misdinar dan Semangat Pelayanan Sejak Dini

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK
- Minggu pagi, 20 November 2011, menjadi hari yang penuh sukacita dan haru bagi keluarga besar Paroki St. Paulus Depok. Dalam Misa kedua pukul 08.00 WIB, sebanyak 28 anak dilantik menjadi Misdinar baru oleh Pastor Paroki, Pater Tauchen Hotlan Girsang, OFM. Mereka adalah wajah-wajah muda yang telah melewati proses pembinaan dan pelatihan selama lima bulan—sebuah proses panjang yang menuntut komitmen, kedisiplinan, dan semangat pelayanan.

Dari sekitar 40 anak yang mendaftar, hanya 28 yang bertahan hingga akhir. Ini bukan sekadar angka, tetapi cerminan dari proses pemurnian niat dan ketekunan. Dalam dunia yang serba instan, kesediaan anak-anak ini untuk bertumbuh dalam pelayanan adalah tanda harapan bagi Gereja.

Misa pagi itu diawali dengan perarakan dari halaman gereja. Para calon misdinar mengenakan jubah merah, didampingi oleh misdinar senior seperti Michael dan Selvi. Suasana liturgi menjadi lebih hidup, bukan hanya karena warna-warni jubah, tetapi karena semangat yang terpancar dari wajah-wajah muda yang siap melayani.

Dalam homilinya, Pastor Tauchen menyampaikan pesan yang menyentuh dan membumi. “Para misdinar yang dilantik tahun ini kecil-kecil. Tapi semoga semangat pelayanannya sangat besar, tidak sekecil badannya,” ujarnya disambut senyum hangat umat. Ia juga menyinggung tantangan geografis yang dihadapi anak-anak yang tinggal di Citayam. “Kalau bertugas pukul 06.00, mereka harus berangkat jam 05.00 karena macet. Ini pengorbanan yang luar biasa.”

Pastor Tauchen tak lupa menyampaikan terima kasih kepada para orang tua. “Tanpa dukungan mereka, Perayaan Ekaristi tidak bisa berjalan dengan baik,” katanya. Pernyataan ini bukan basa-basi. Dalam kerasulan awam, keluarga adalah ladang pertama tempat iman ditanam dan tumbuh. Ketika orang tua mendukung anaknya menjadi misdinar, mereka sedang menanam benih pelayanan yang akan tumbuh menjadi pohon panggilan hidup.

Menjadi misdinar bukan sekadar tugas liturgis. Ia adalah sekolah pelayanan. Di sekitar altar, anak-anak belajar tentang disiplin, tanggung jawab, dan spiritualitas. Mereka belajar bahwa melayani bukan soal dilihat, tetapi soal memberi. Bahwa altar bukan panggung, tetapi tempat perjumpaan dengan Kristus.

Setelah misa, para misdinar baru mengikuti sesi perkenalan dan dinamika kelompok. Acara ditutup dengan makan siang bersama—sebuah momen sederhana yang mempererat persaudaraan dan semangat kolegialitas.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa pelantikan misdinar bukan hanya seremoni tahunan. Ia adalah pernyataan iman. Bahwa Gereja tidak pernah kehabisan pelayan. Bahwa di tengah dunia yang sibuk dan bising, masih ada anak-anak yang mau bangun pagi, mengenakan jubah, dan berdiri di sekitar altar.

Proficiat kepada para misdinar baru Paroki St. Paulus Depok. Semoga kalian menjadi lilin-lilin kecil yang menerangi dunia dengan semangat pelayanan dan kasih Kristus.

 

#misdinarstpaulusdepok #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imanyanghidup #pelayanansejakdini #anakanakpelayanaltar #semangatliturgi #proficiatmisdinarbaru #menjadiberkat

Kamis, 17 November 2011

Kembali Menjadi Pewarta; KEP dan Kebangkitan Iman Katolik di Paroki St. Paulus Depok

Oleh: RP. Tauchen Hotlan Girsang, OFM. – Pastor Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK - Di tengah derasnya arus zaman dan derasnya tantangan iman, banyak orang tua Katolik merasa tugas mereka selesai ketika anak dibaptis dan disekolahkan di sekolah Katolik. Namun, realitas pastoral menunjukkan bahwa banyak dari anak-anak ini tumbuh tanpa pernah sungguh-sungguh mengalami penginjilan secara pribadi. Mereka mengenal agama, tetapi belum tentu mengenal Kristus. Mereka tahu tentang Gereja, tetapi belum tentu mencintainya.

Fenomena ini bukan sekadar statistik. Ia hadir dalam bentuk misa yang diikuti ala kadarnya, meningkatnya kasus kawin campur, perpindahan ke gereja non-Katolik, hingga keraguan terhadap ajaran Gereja seperti devosi kepada Bunda Maria dan tradisi sakramental. Banyak umat kehilangan kebanggaan terhadap iman Katoliknya. Di sinilah Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP) menjadi sangat relevan dan mendesak.

KEP terakhir kali diadakan di Paroki St. Paulus Depok pada tahun 2007. Setelah mengalami masa kefakuman, kerinduan akan pembaruan iman mendorong Pastor Paroki dan umat untuk menghidupkannya kembali. Maka, pada Minggu, 13 November 2011, KEP Angkatan II resmi dibuka oleh Pastor Tauchen Hotlan Girsang, OFM, dalam sebuah misa pembukaan yang dihadiri antusias oleh umat.

Respon positif terlihat dari jumlah peserta yang melampaui target awal, yakni sekitar 25 orang. Dalam sambutannya, Pastor Tauchen menegaskan, “Mengikuti KEP adalah sebuah panggilan. Ini bukan sekadar kursus, tetapi perjalanan iman untuk mengenal kembali siapa kita sebagai orang Katolik dan ke mana arah bahtera Gereja kita.”

Usai misa pembukaan, para peserta langsung membentuk dinamika kelompok di ruang serbaguna paroki. Di sinilah benih-benih pewartaan mulai ditanam. Mereka akan mendalami 10 materi utama yang disusun oleh Badan Pelayanan Keuskupan Pembaharuan Karismatik Katolik (BPK PKK) Keuskupan Bogor, ditambah materi kontekstual dari paroki.

Ibu Elisabeth Setyaningsih, sekretaris panitia KEP II, menyampaikan bahwa semua persiapan berjalan lancar. Buku pegangan peserta telah siap dibagikan pada pertemuan kedua. Sementara itu, Bapak Andreas M. Sirad dari Seksi Kitab Suci menegaskan bahwa panitia siap mendampingi seluruh proses hingga selesai.

Menariknya, peserta KEP kali ini didominasi oleh umat dari Lingkungan St. Alfonsus dan St. Bonaventura, dua dari 17 lingkungan yang ada di paroki. Ini menunjukkan bahwa semangat untuk memperdalam iman dan menjadi pewarta mulai tumbuh kembali di akar rumput.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa KEP bukan hanya program, tetapi gerakan. Gerakan untuk membangkitkan kembali semangat pewartaan di kalangan umat awam. Sebab, seperti ditegaskan dalam Konsili Vatikan II, evangelisasi bukan hanya tugas para imam dan religius, tetapi juga seluruh umat beriman.

Pastor Tauchen mengingatkan bahwa dalam KEP, peserta tidak hanya belajar tentang ajaran Gereja universal, tetapi juga mengenal visi dan misi paroki. “Ibarat bahtera, kita harus tahu ke mana arah kapal ini berlayar,” ujarnya. Dalam dunia yang terus berubah, pewartaan pun harus menemukan bentuk dan model baru yang relevan dan kontekstual.

KEP adalah kesempatan. Kesempatan untuk mengenal kembali iman kita, untuk mencintai Gereja, dan untuk menjadi berkat bagi orang lain. Maka, pertanyaannya sederhana namun mendalam: Anda sebagai keluarga Katolik, apakah Anda mau menjadi pewarta?

Jika ya, itulah iman Katolik. Iman yang hidup, yang bergerak, dan yang memberi. Jangan tunggu sampai terlambat. Jadilah berkat hari ini.

 

#kursusevangelisasipribadi #kepstpaulusdepok #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imanyanghidup #pewartazamanini #kebangkitanimankatolik #jadilahberkat #evangelisasiuntuksemua

Yesus Kristus Raja Semesta Alam; Ketika Takhta-Nya Adalah Salib, dan Mahkotanya Adalah Kasih

Oleh: RP. Tauchen Hotlan Girsang, OFM. – Pastor Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK - Dalam sejarah manusia, gelar “raja” selalu identik dengan kekuasaan, otoritas, dan warisan darah biru. Raja adalah simbol supremasi, pemegang tongkat komando atas wilayah dan rakyatnya. Namun, ketika kita menyebut Yesus sebagai Raja Semesta Alam, kita sedang berbicara tentang sebuah kekuasaan yang tidak dibangun di atas dominasi, melainkan di atas pengorbanan. Sebuah kerajaan yang tidak dibatasi oleh geografi, tetapi meliputi seluruh ciptaan. Sebuah takhta yang bukan dari emas, melainkan dari kayu salib.

Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam bukan sekadar perayaan liturgis penutup tahun gerejawi. Ia adalah momen reflektif yang mengajak kita meninjau ulang pemahaman kita tentang kekuasaan, keadilan, dan kasih.

Injil Matius 25:31–46 menempatkan Yesus sebagai Raja dalam konteks pengadilan terakhir. Namun, berbeda dari pengadilan dunia yang penuh prosedur, pembelaan, dan negosiasi, pengadilan Kristus hanya mengenal satu ukuran: kasih. Bukan gelar, bukan jabatan, bukan jumlah misa yang dihadiri, tetapi seberapa besar kasih yang telah kita bagikan kepada mereka yang lapar, haus, asing, telanjang, sakit, dan terpenjara.

Yesus tidak menanyakan seberapa sering kita berdoa, tetapi apakah kita memberi makan kepada yang lapar. Ia tidak menanyakan seberapa banyak kita tahu tentang doktrin, tetapi apakah kita menyambut orang asing. Ia tidak menanyakan seberapa besar persembahan kita, tetapi apakah kita mengunjungi yang sakit dan terpenjara.

Dalam pengadilan itu, mereka yang di sebelah kanan adalah yang beroleh hidup kekal. Mereka yang di sebelah kiri, sebaliknya, masuk ke dalam api kekal. Ini bukan ancaman, tetapi peringatan. Bahwa hidup kita hari ini menentukan nasib kekal kita kelak. Dan menariknya, tidak ada pengacara dalam pengadilan itu. Tidak ada pembela. Tidak ada ruang untuk manipulasi. Hanya kasih yang bicara.

Sebagai seorang advokat, saya memahami betul pentingnya pembelaan dalam sistem hukum manusia. Namun di hadapan Sang Raja, tidak ada ruang untuk retorika. Yang ada hanyalah rekaman hidup kita sendiri—seberapa dalam kita telah mengasihi.

St. Fransiskus Asisi pernah berkata bahwa ia melihat wajah Allah dalam diri orang kusta. Ia tidak hanya mengasihi orang miskin, tetapi menghayati kasih itu sebagai bentuk cintanya kepada Yesus yang miskin dan tersalib. Ia tidak memberi dari kelebihan, tetapi dari kekurangannya. Ia tidak mencintai karena mudah, tetapi karena ia telah lebih dahulu dicintai.

Pertanyaannya: mampukah kita melihat wajah Yesus dalam diri mereka yang terpinggirkan? Dalam wajah anak jalanan, dalam tubuh renta yang terbaring di panti jompo, dalam tatapan kosong narapidana yang menyesal?

Sebagai bagian dari kerasulan awam, kita dipanggil untuk menjadi perpanjangan tangan kasih Kristus di dunia. Kita tidak perlu menjadi imam atau biarawan untuk mengasihi. Kita hanya perlu menjadi manusia yang peduli. Menjadi Katolik bukan hanya soal liturgi, tetapi soal aksi. Bukan hanya soal iman, tetapi juga perbuatan.

Yesus Kristus adalah Raja Semesta Alam. Namun Ia memilih menjadi Raja yang melayani, bukan dilayani. Raja yang mencuci kaki murid-murid-Nya. Raja yang memikul salib. Raja yang mati agar kita hidup.

Hari ini, ketika kita merayakan Kristus sebagai Raja, mari kita bertanya: apakah kita telah mengakui-Nya sebagai Raja dalam hidup kita? Apakah kita telah menjadikan kasih sebagai hukum tertinggi? Apakah kita siap diadili bukan berdasarkan status, tetapi berdasarkan kasih?

Sebab pada akhirnya, hanya satu hal yang akan diperhitungkan: “Apa yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40).


#kristusrajasemestaalam #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imanyanghidup #kasihyangmenyelamatkan #pengadilanterakhir #yesusadalahraja #berbuatkasihadalahpanggilan #takhtakasihmahkotasalib

Selasa, 15 November 2011

“Jiwaku Memuliakan Tuhan”: Ketika Kasih Menjadi Jalan Hidup

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK - Berbicara tentang panggilan hidup membiara bukanlah soal angka atau statistik. Ini bukan tentang berapa banyak yang terpanggil, tetapi seberapa dalam kasih yang mendorong seseorang untuk memberi—bahkan sampai terasa menyakitkan. Seperti yang pernah ditulis oleh Santa Teresa dari Kalkuta, “Jangan pernah takut untuk memberi. Namun, jangan memberi dari kelebihanmu. Berikanlah saat hal itu sukar bagimu.” Inilah esensi dari persembahan diri yang sejati: kasih yang melampaui kenyamanan.

Semangat inilah yang hidup dalam diri para suster Kongregasi Puteri Renha Rosari (PRR), yang pada Minggu, 6 November 2011, hadir di Paroki St. Paulus Depok. Bukan untuk berkampanye atau mencari panggilan, melainkan untuk menjual kalender 2012 hasil desain sendiri. Hasil penjualan itu akan digunakan untuk mendukung pelayanan bagi penderita kusta di Naub, NTT, serta karya sosial lintas agama di daerah-daerah terpencil seperti Balibo dan Wasior, Papua.

Didirikan pada 15 Agustus 1958 di Lebao, Larantuka, Flores Timur oleh Mgr. Gabriel J.W. Manek, SVD—uskup pribumi pertama dari Indonesia Timur—Kongregasi PRR lahir dari kebutuhan mendesak Gereja lokal akan tenaga pastoral, khususnya bagi kaum miskin dan terpinggirkan. Dengan moto sederhana namun kuat, “Jiwaku Memuliakan Tuhan”, para suster PRR menjadikan pelayanan sebagai bentuk pujian hidup kepada Allah.

Kini, lebih dari setengah abad kemudian, PRR telah berkembang pesat. Dengan lebih dari 400 anggota berkaul kekal, mereka hadir di 31 keuskupan di tiga benua: Asia (Indonesia dan Timor Leste), Eropa (Italia dan Belgia), serta Afrika (Kenya). Namun, semangat mereka tetap sama: melayani tanpa membeda-bedakan.

Sr. Maria Gabriella, PRR, dalam wawancara dengan Komsos, menegaskan bahwa pelayanan mereka tidak mengenal sekat. “Cintailah dan layanilah sesamamu tanpa membeda-bedakan suku, ras, agama, atau golongan. Karena kalau tidak, kamu tidak akan pernah melihat Allah,” ujarnya. Sebuah pernyataan yang menggugah, sekaligus menjadi cermin bagi kita semua.

Pelayanan PRR tidak hanya terbatas pada bidang pastoral, tetapi juga merambah ke pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat. Mereka hadir di tempat-tempat yang sering dilupakan, menyentuh mereka yang menderita dan terbuang, dan menjadikan kasih sebagai bahasa universal.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat bahwa kehadiran para suster PRR bukan hanya menjadi inspirasi, tetapi juga tantangan. Di tengah dunia yang semakin individualistik, mereka menunjukkan bahwa hidup bisa menjadi persembahan. Bahwa memberi bukan soal berapa banyak, tetapi seberapa tulus. Bahwa mencintai Tuhan berarti mencintai sesama—terutama yang paling hina, seperti dikatakan Yesus dalam Matius 25:40.

Panggilan hidup membiara bukanlah jalan mudah. Ia menuntut pengorbanan, kesetiaan, dan keberanian untuk mencintai tanpa syarat. Namun, justru di situlah letak keindahannya. Karena kasih yang sejati selalu menuntut totalitas.

Mungkin kita tidak semua dipanggil menjadi biarawan atau biarawati. Namun, kita semua dipanggil untuk mencintai. Untuk melayani. Untuk memuliakan Tuhan dalam hidup sehari-hari. Dan seperti para suster PRR, kita pun bisa berkata: “Jiwaku Memuliakan Tuhan”—bukan hanya dengan kata, tetapi dengan hidup yang menjadi berkat bagi sesama.

 

#jiwakumemuliakantuhan #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #panggilanhidup #pelayanantanpabatas #prr #kasihyangmenggerakkan #imanyanghidup #melayanidengancinta

Selasa, 08 November 2011

“Marilah Pergi, Kita Diutus”; KEP dan Misi Evangelisasi Awam di Tengah Dunia

️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

KOTA DEPOK
- Setiap kali Misa berakhir, kita mendengar seruan yang sama: “Marilah pergi, kita diutus.” Namun, seberapa sering kita merenungkan makna kalimat itu? Apakah ia hanya menjadi penutup liturgi yang formal, ataukah sungguh menjadi panggilan hidup yang menggerakkan kita untuk mewartakan Injil dalam keseharian?

Di Paroki St. Paulus Depok, seruan itu tidak dibiarkan menjadi hampa. Ia dijawab dengan tindakan nyata melalui penyelenggaraan Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP) angkatan ke-2—sebuah program yang dirancang untuk membentuk para rasul awam yang siap diutus, bukan hanya dalam kata, tetapi dalam karya.

KEP bukanlah sekadar kursus biasa. Ia lahir dari semangat pembaruan Gereja pasca Konsili Vatikan II, yang menegaskan bahwa evangelisasi adalah tugas seluruh umat, bukan hanya para imam dan religius. Dirintis oleh Pastor L. Sugiri van den Heuvel, SJ pada 1988, KEP bertujuan membentuk pribadi-pribadi yang mengalami pertobatan mendalam, mencintai doa, memahami ajaran Gereja, dan siap menjadi saksi Kristus di tengah dunia.

Dekrit Apostolicam Actuositatem (Nomor 2 & 6) menegaskan bahwa kerasulan awam harus berorientasi pada penginjilan, pengudusan, dan pembaruan tata dunia. KEP menjawab panggilan itu dengan membekali umat untuk menginjili diri sendiri terlebih dahulu, sebelum mewartakan kepada orang lain.

Berdasarkan informasi dari Sie Kitab Suci, Bapak Andreas Muhammad Sirad, hingga 30 Oktober 2011 tercatat sekitar 20 peserta yang mendaftar. Setelah melalui berbagai pertimbangan, kursus ini dijadwalkan dimulai pada 13 November 2011, setiap Sabtu dan Minggu pukul 19.00–21.00 WIB.

Dalam Misa kedua pada Minggu, 30 Oktober, Pastor Stanislaus Agus Haryanto, OFM, menegaskan kembali pentingnya evangelisasi dalam homilinya. Ia menyampaikan empat karakter yang harus dimiliki umat Katolik:

  1. Missioner: Hidup dalam perwartaan, menghadirkan Kristus melalui tindakan nyata, bukan sekadar kata-kata. Evangelisasi bukan soal menjadikan orang lain Katolik, tetapi menghadirkan kebaikan Kristus dalam hidup bersama.
  2. Mandiri: Umat harus menghidupi imannya tanpa bergantung pada paroki atau hierarki. Gereja hidup karena umatnya hidup.
  3. Berdaya Tahan: Dalam dunia yang penuh tantangan, umat harus memiliki ketangguhan spiritual dan sosial untuk tetap setia pada iman.
  4. Berdaya Pikat: Gereja harus menjadi tempat yang menarik, terbuka, dan mampu menjalin dialog lintas iman.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa KEP adalah salah satu bentuk konkret dari pemberdayaan umat. Ia bukan hanya membentuk pengetahuan, tetapi juga membentuk hati. Ia mengajak kita untuk tidak hanya menjadi umat yang duduk di bangku gereja, tetapi menjadi pewarta yang berjalan di tengah masyarakat.

Evangelisasi bukanlah monopoli para imam. Setiap orang yang telah dibaptis dipanggil untuk menjadi saksi Kristus. Dan dalam dunia yang semakin sekuler, suara awam menjadi semakin penting. Kita dipanggil untuk menjadi terang dan garam, bukan dengan menghakimi, tetapi dengan mengasihi.

KEP adalah panggilan untuk bergerak. Untuk keluar dari zona nyaman. Untuk menjadikan iman sebagai kekuatan yang mengubah hidup, keluarga, dan masyarakat. Maka, ketika kita mendengar seruan “Marilah pergi, kita diutus,” mari kita jawab dengan penuh kesadaran: “Ya Tuhan, utuslah aku.”

Sebab dunia menanti pewarta-pewarta baru. Dan Gereja menanti kita untuk menjawab panggilan itu.

 

#kursusevangelisasipribadi #marilahpergikitadiutus #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #evangelisasiadalahtugaskita #imanyanghidup #kepstpaulusdepok #pewartakristuszamanini #beranidiutus

Kamis, 27 Oktober 2011

OMK dan IYD 2012; Ketika Iman, Budaya, dan Kreativitas Bertemu

️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

JAKARTA - “100% Katolik, 100% Indonesia.” Slogan legendaris Mgr. Soegijapranata, SJ, bukan sekadar semboyan, melainkan panggilan hidup. Dan panggilan itu kini menggema dalam semangat Orang Muda Katolik (OMK) Indonesia yang tengah bersiap menyambut Indonesian Youth Day (IYD) 2012—sebuah momentum nasional yang dirancang bukan hanya sebagai perayaan iman, tetapi juga sebagai ruang perjumpaan, refleksi, dan transformasi sosial.

Dengan populasi yang mencakup lebih dari 60% umat Katolik Indonesia, OMK bukan sekadar kelompok usia. Mereka adalah wajah masa depan Gereja dan bangsa. Dalam terang dokumen Gaudium et Spes dan Injil Matius 25:40, OMK dipanggil untuk hadir dalam suka dan duka masyarakat, terutama bagi mereka yang miskin, tersingkir, dan difabel.

Namun, panggilan itu tidak datang begitu saja. Ia membutuhkan pendampingan, katekese yang kontekstual, dan ruang untuk bertumbuh. Gereja menyadari bahwa Injil harus disampaikan dalam bahasa yang dimengerti OMK—bahasa yang menyentuh hati, menggugah pikiran, dan membangkitkan semangat.

Dalam Sidang KWI Oktober 2010, para Uskup Indonesia sepakat untuk menyelenggarakan IYD 2012 di Keuskupan Sanggau, Kalimantan Barat. Namun, karena keterbatasan kapasitas, tidak semua OMK bisa hadir secara fisik. Maka, panitia membuka ruang partisipasi kreatif melalui rangkaian lomba: desain logo, cipta lagu tema, jingle, menulis, fotografi, film pendek, hingga pemilihan Catholic Young Leaders.

Tujuannya jelas: menjadikan IYD sebagai milik bersama. Sebuah gerakan yang tidak hanya mengandalkan kehadiran fisik, tetapi juga keterlibatan batin dan kreativitas.

Soft launching IYD 2012 dimulai pada 21 Agustus 2011 di Gedung KWI, Cikini, dengan Lomba Desain Logo. Dari 60 karya yang masuk, panitia dan juri—Surianto Rustan, Ratna Yunita, dan Julius Bernhard Schluter—melakukan penilaian ketat berdasarkan orisinalitas, relevansi, estetika, dan kekhasan Sanggau.

Pada 23 Oktober 2011, diumumkanlah para pemenang:

  • Juara 1: Amy Yulia Gultom
  • Juara 2: Sheila Widyaningsih
  • Juara Favorit: Audric Gani

Tidak ada juara ketiga, karena juri menilai belum ada karya yang memenuhi kriteria secara menyeluruh. Namun, semua peserta diapresiasi atas semangat dan kualitas karya mereka. Logo pemenang akan menjadi wajah resmi IYD 2012, hadir di setiap publikasi dan dokumentasi.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat bahwa IYD bukan sekadar event. Ia adalah laboratorium iman. Di sinilah OMK belajar menjadi murid Kristus yang kreatif, solider, dan berakar dalam budaya. Di sinilah mereka belajar bahwa menjadi Katolik bukan berarti meninggalkan keindonesiaan, tetapi justru merayakannya dalam terang Injil.

IYD adalah panggung bagi OMK untuk bersuara, berkarya, dan berjejaring. Ia adalah ruang di mana iman bertemu dengan seni, budaya, dan teknologi. Ia adalah bukti bahwa Gereja tidak pernah lelah mempercayai generasi muda.

IYD 2012 adalah milik kita semua. Mari kita rayakan dengan semangat yang sama: semangat untuk menjadi terang dan garam dunia, semangat untuk menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia. Mari kita kibarkan semangat kaum muda—dengan karya, doa, dan aksi nyata.

 

#iyd2012 #omkberkarya #100persenkatolik100persenindonesia #kreatifdalamiman #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #omkindonesia #imanyangmenginspirasi #katekesekreatif #kibarkansemangatkaummuda

Jumat, 21 Oktober 2011

Kamu Harus Memberi Mereka Makan; Gerakan Pangan dan Solidaritas Iman di Paroki St. Paulus Depok

️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

KOTA DEPOK
- Minggu pagi, 16 Oktober 2011, halaman Gereja Katolik St. Paulus Depok tak hanya dipenuhi umat yang hendak mengikuti Misa kedua, tetapi juga oleh aroma rebusan ubi, singkong, kacang, dan wedang jahe yang mengepul hangat dari meja-meja sederhana. Di balik kesederhanaan itu, tersimpan pesan yang kuat: iman yang hidup harus menyentuh perut yang lapar.

Dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS), para ibu dari Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), yang dikoordinir oleh Ibu Agustin Widodo dari Sie PSE, menggerakkan 17 lingkungan dan 7 wilayah untuk menyumbangkan hasil bumi dan pangan lokal. Sebuah gerakan yang bukan hanya simbolik, tetapi juga profetik.

Pukul 08.00 WIB, perayaan dimulai dengan perarakan dari halaman pastoral, diiringi gamelan khas Jawa. Umat dari Lingkungan St. Laurensius menandu aneka hasil bumi—padi, singkong, semangka, pete, wortel, hingga kelapa—yang telah dihias indah oleh Bapak FX. Marjono dan timnya. Sebuah liturgi inkulturatif yang menyatukan iman, budaya, dan pangan.

Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Pastor Stanislaus Agus Suharyanto, OFM, dengan koor dari anak-anak SMP Desa Putera. Dalam homilinya, Pastor Haryo mengutip Mgr. Soegijapranata, SJ: “Menjadi Katolik 100%, menjadi Indonesia 100%.” Ia mengajak umat untuk merefleksikan kembali kualitas kekatolikan kita yang kini mulai pudar. “Kalau kita tidak lagi unggul dalam iman dan kepedulian, maka kita harus bertanya: di mana letak kekatolikan kita?” tegasnya.

Usai Misa, sekitar 1.500 umat berkumpul di halaman gereja untuk menikmati rebusan bersama. Dalam suasana kekeluargaan yang hangat, Pastor Tauchen Hotlan Girsang, OFM, menyampaikan tiga refleksi penting:

  1. Kepedulian terhadap yang lapar
    Kita diajak untuk lebih peka terhadap mereka yang kekurangan pangan, baik karena kemiskinan, bencana, maupun ketidakadilan struktural.
  2. Kesetaraan dalam pangan
    Dalam acara ini, tidak ada sekat antara kaya dan miskin. Semua menikmati pangan yang sama—hasil bumi yang sederhana namun penuh makna.
  3. Panggilan untuk berbagi
    Tuhan telah menyediakan cukup bagi semua. Namun kerakusan dan egoisme membuat sebagian besar kekayaan hanya dinikmati segelintir orang. Kita dipanggil untuk membuka mata dan hati bagi sesama.

Pastor Haryo menambahkan, “Gerakan Hari Pangan Sedunia ini harus menjadi momentum untuk membangun solidaritas. Kita harus menghargai jerih payah para petani dan menghidupkan kembali semangat berbagi.”

Dalam wawancara singkat, Pastor Haryo juga menyoroti pentingnya menghidupkan kembali Komisi PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi) di tingkat paroki dan keuskupan. “Selama ini belum ada program kerja yang sungguh menyentuh isu pangan. Ini harus menjadi perhatian serius dalam pertemuan para imam ke depan,” ujarnya.

Gerakan pangan bukan hanya soal makan bersama, tetapi soal membangun kesadaran kolektif akan pentingnya kedaulatan pangan, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial. Gereja, sebagai komunitas iman, harus menjadi pelopor dalam hal ini.

Bapak Nobertus Danun dari Lingkungan St. Yosep menyampaikan kesan positifnya. “Hari ini kita disadarkan bahwa kita tidak harus bergantung pada beras. Potensi pangan lokal sangat besar,” ujarnya. Ia bahkan mengusulkan agar dalam setiap rapat lingkungan atau paroki, konsumsi diganti dengan rebusan lokal, bukan kue-kue mahal. Sebuah usulan sederhana, namun sarat makna.

Hari Pangan Sedunia di Paroki St. Paulus Depok bukan sekadar perayaan tahunan. Ia adalah panggilan untuk menghidupi iman yang konkret—iman yang memberi makan, bukan hanya secara rohani, tetapi juga jasmani. Sebab, seperti kata Yesus, “Kamu harus memberi mereka makan” (Luk 9:13).

Mari kita terus menanam, merawat, dan membagikan hasil bumi dengan cinta. Sebab dalam setiap butir padi, dalam setiap rebusan singkong, ada kasih Allah yang hendak dibagikan kepada dunia.

 

#haripangansedunia #kamuharusmemberimerekamakan #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #psebergerak #imanyangmengenyangkan #solidaritaspangan #wkriberkarya #liturgiyangmembumi #parokistpaulusdepok

Senin, 17 Oktober 2011

Menanam Harapan, Merawat Ciptaan; Aksi Ekologis Paroki St. Paulus Depok

️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

KOTA DEPOK
- Pemanasan global bukan lagi sekadar wacana ilmiah. Ia telah menjadi kenyataan yang kita rasakan bersama: suhu bumi meningkat, cuaca tak menentu, bencana ekologis datang silih berganti. Di tengah krisis ini, pertanyaannya bukan lagi “apa yang terjadi?”, melainkan “apa yang bisa kita lakukan?”. Dan Paroki St. Paulus Depok menjawabnya dengan tindakan nyata: menanam 1.000 pohon palem sebagai bagian dari perayaan pesta nama St. Fransiskus Asisi, pelindung ekologi.

Minggu, 9 Oktober 2011, pukul 10.30 WIB, halaman parkir Gereja St. Paulus Depok berubah menjadi ladang harapan. Di bawah terik matahari, umat berkumpul menyaksikan penanaman pohon secara simbolik oleh Pastor Paroki, Pater Tauchen Hotlan Girsang, OFM. Hadir pula Bapak Anzelmus Apri Hartana dari DPP/DKP, para ketua wilayah dan lingkungan, serta umat dari berbagai penjuru paroki.

Dalam keterangannya, Pater Tauchen menegaskan bahwa aksi ini bukan sekadar penghijauan, tetapi bentuk nyata dari spiritualitas Fransiskan: mencintai dan menghargai ciptaan sebagai jalan untuk mengalami kehadiran Tuhan. “Kita diajak untuk melihat Tuhan dalam setiap daun, setiap hembusan angin, setiap tetes embun,” ujarnya.

Ibu Maria Enny Ruswanti, Koordinator Sie JPIC (Justice, Peace, and Integrity of Creation), menambahkan bahwa kegiatan ini juga merupakan pemanfaatan lahan tidur—ruang yang selama ini tak difungsikan secara optimal. “Kita sering lupa bahwa merawat lingkungan adalah bagian dari iman kita,” katanya. Ia juga menyoroti pentingnya rasa memiliki dari setiap wilayah dan lingkungan agar tanaman yang ditanam tidak sekadar menjadi simbol, tetapi benar-benar hidup dan tumbuh.

Sayangnya, tidak semua perwakilan hadir dalam kegiatan ini. Namun, Ibu Enny tetap optimis bahwa semangat kebersamaan yang telah tumbuh akan terus dipupuk. “Kita semua bertanggung jawab. Ini bukan tugas satu seksi atau satu kelompok, tapi seluruh umat,” tegasnya.

Sementara itu, di ruang Roma, Gereja Lama, rapat panitia Natal 2011 dan Tahun Baru 2012 tengah berlangsung. Dipimpin oleh Bapak Andreas Sugeng Mulyono, rapat ini dihadiri lebih dari 30 orang, mayoritas dari Wilayah I. Mereka membahas pemantapan tugas, wewenang, dan mekanisme pelaksanaan rangkaian acara Natal dan Tahun Baru.

Menariknya, meski berbeda ruang dan agenda, kedua kegiatan ini memiliki benang merah yang sama: tanggung jawab. Baik dalam merawat lingkungan maupun dalam menyelenggarakan liturgi, semua membutuhkan keterlibatan, koordinasi, dan semangat pelayanan.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat bahwa aksi penanaman pohon ini bukan hanya soal ekologi, tetapi juga soal teologi. Ini adalah bentuk nyata dari iman yang hidup, iman yang tidak berhenti di altar, tetapi menjalar ke tanah, ke akar, ke udara yang kita hirup.

St. Fransiskus Asisi mengajarkan kita untuk menyapa matahari sebagai saudara, menyebut air sebagai saudari, dan memeluk bumi sebagai ibu. Dalam dunia yang semakin terasing dari alam, kita dipanggil untuk menjadi penjaga rumah bersama—rumah yang sedang sakit, tetapi belum terlambat untuk disembuhkan.

Menanam pohon adalah menanam harapan. Harapan bahwa anak cucu kita masih bisa menghirup udara segar. Harapan bahwa Gereja tetap menjadi suara profetik di tengah krisis ekologis. Harapan bahwa umat Katolik, khususnya di Paroki St. Paulus Depok, terus menjadi pelopor dalam merawat bumi sebagai bagian dari pewartaan kasih Allah.

Mari kita jaga pohon-pohon itu. Mari kita jaga bumi ini. Sebab mencintai lingkungan bukan sekadar pilihan, tetapi panggilan iman.

 

#kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #stfransiskuspelindungekologi #menanamharapan #jpic #pewartaanlewataksi #imanyanghidup #parokistpaulusdepok #cintalingkungancintaallah #rumahbersama

Cantaraning-go; Nada-Nada Iman dari Tanah Manggarai

️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

KOTA DEPOK
- Minggu pagi, 9 Oktober 2011, pukul 08.00 WIB, Gereja Katolik St. Paulus Depok dipenuhi warna-warni budaya. Bukan hanya oleh liturgi yang khusyuk, tetapi juga oleh kehadiran kelompok koor “Cantaraning-go”—keluarga besar umat Katolik asal Manggarai, Flores, yang menetap di Depok. Dengan busana adat lengkap, nyanyian khas, dan iringan musik tradisional, mereka menghadirkan suasana misa inkulturasi yang bukan hanya meriah, tetapi juga sarat makna spiritual dan budaya.

Cantaraning-go bukan sekadar kelompok paduan suara. Nama mereka sendiri mengandung makna mendalam: “Centa” berarti “minta”, dan “Raning” berarti “pujian”—sebuah ajakan untuk memuji Tuhan. Sejak 2008, kelompok ini tumbuh dari semangat kebersamaan para perantau Manggarai yang merasa senasib dan sepenanggungan di tanah rantau. Mereka tidak hanya berkumpul untuk melepas rindu kampung halaman, tetapi juga menjadikan kebersamaan itu sebagai bentuk pelayanan nyata dalam liturgi Gereja.

Dengan anggota sekitar 50 orang dari 20 kepala keluarga, Cantaraning-go telah menjadi wajah khas dalam berbagai perayaan liturgi di Paroki St. Paulus Depok. Mereka bukan hanya menyanyi, tetapi juga membawa serta warisan budaya yang menyatu dengan iman Katolik.

Misa hari itu dipimpin secara konselebrasi oleh Pater Tauchen Hotlan Girsang, OFM, bersama Pater Bonefasius Budiman, OFM (tamu dari Keuskupan Medan), Pater Fransiskus Manulang, O.Carm, dan para Frater Fransiskan. Dalam homilinya, Pater Tauchen menekankan bahwa suasana misa yang penuh nyanyian, tarian, dan simbol budaya adalah cerminan dari perjamuan Anak Domba—sebuah pesta surgawi yang mengundang semua orang untuk mengalami kasih Allah dalam kehidupan sehari-hari.

Pater Bone menambahkan dimensi sejarah yang menggugah. Ia mengisahkan bagaimana Keuskupan Ruteng, yang baru berusia satu abad, telah melahirkan lebih dari 100 imam praja. Ia juga mengangkat peran Uskup Wilhelmus van Bekkum, yang pada 1961 mencetuskan gagasan misa inkulturasi sebagai bentuk syukur atas panen dan kehidupan. Sebuah liturgi yang tidak hanya sakral, tetapi juga membumi.

Salah satu momen yang paling menyentuh adalah pemberian ayam dan arak di depan gereja, disertai ungkapan dalam bahasa Manggarai. Tindakan ini bukan sekadar seremoni, tetapi simbol perjanjian dan kesanggupan untuk hidup dalam konsistensi iman. Arak, dalam konteks ini, bukan untuk mabuk, tetapi sebagai lambang keberanian dalam mewartakan Injil.

Di tengah arus globalisasi dan materialisme, misa inkulturasi menjadi pengingat bahwa budaya lokal bukanlah penghalang iman, melainkan jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam akan kasih Allah. Selama nilai-nilai budaya tidak bertentangan dengan Injil, maka budaya dapat menjadi wahana pewartaan yang kuat dan menyentuh.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat peristiwa ini sebagai contoh konkret bagaimana umat awam dapat mengambil peran aktif dalam pewartaan. Cantaraning-go bukan hanya menyanyi, mereka mewartakan. Mereka menghadirkan wajah Gereja yang hidup, yang merangkul budaya, dan yang menyapa umat dengan bahasa hati.

Kita semua dipanggil untuk menjadi seperti mereka: menjaga warisan, melayani dengan sukacita, dan mewartakan kasih Allah dalam konteks kehidupan kita masing-masing. Baik melalui budaya, profesi, maupun pelayanan sosial, kita semua adalah bagian dari tubuh Kristus yang hidup dan bergerak di tengah dunia.

Misa inkulturasi bukanlah nostalgia budaya semata. Ia adalah liturgi yang menghidupkan, yang menyatukan langit dan bumi, iman dan budaya, tradisi dan pewartaan. Semoga semangat Cantaraning-go menjadi inspirasi bagi komunitas-komunitas lain untuk terus berkarya, bersaksi, dan memuji Tuhan dengan seluruh keberadaan mereka.

 

#cantaraninggo #misainkulturasi #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imandanbudaya #liturgiyangmenghidupkan #manggaraiuntukkristus #pewartaanlewatbudaya #ekaristiadalahpesta

Jumat, 07 Oktober 2011

Undangan Sang Raja; Pesta Iman dalam Perjamuan Ekaristi

Oleh: Fr. Leonardus Hambur, OFM yang melaksanakan Tahun Orientasi Pastoral di Paroki Santo Paulus Depok

KOTA DEPOK
- Setiap kali kita menghadiri sebuah pesta pernikahan, ada tiga hal yang tak pernah luput dari perhatian: makanan dan minuman yang disajikan, para tamu undangan yang hadir, serta busana yang dikenakan. Ketiganya menjadi tolok ukur keberhasilan pesta sebagai ungkapan syukur, sukacita, dan kebersamaan. Namun, pernahkah kita menyadari bahwa gambaran ini sejatinya mencerminkan sesuatu yang lebih agung—yakni undangan Allah sendiri dalam perjamuan surgawi?

Dalam Yesaya 25:6–12, kita mendengar nubuat tentang perjamuan surgawi yang disiapkan oleh Tuhan semesta alam. Sebuah pesta agung di Gunung Sion, di mana maut telah ditelan, air mata dihapus, dan berkat berlimpah disediakan bagi semua bangsa. Ini bukan sekadar janji eskatologis, tetapi juga gambaran kasih Allah yang universal dan inklusif.

Yesus, dalam Injil Matius 22:1–14, mengangkat kembali gambaran ini dalam bentuk perumpamaan: seorang Raja yang mengadakan perjamuan nikah bagi putranya. Semua orang diundang, tetapi hanya mereka yang menanggapi undangan dengan sungguh-sungguh dan berpakaian pantas yang diperkenankan masuk. Dua syarat ditegaskan: tanggapan positif dan kesiapan diri.

Sebagai umat Katolik, kita percaya bahwa perayaan Ekaristi adalah perjamuan kudus yang menghadirkan Kristus sendiri sebagai Tuan Pesta. Dalam setiap Misa, kita diundang untuk duduk bersama-Nya, menerima sabda-Nya, dan menyambut tubuh dan darah-Nya. Namun, apakah kita sungguh menyadari makna undangan ini?

Kata “mengundang” mengandung makna kasih yang aktif. Allah tidak memaksa, tetapi menawarkan. Kita bebas menanggapi atau menolak. Namun, setiap pilihan membawa konsekuensi. Menolak berarti menjauh dari rahmat; menerima berarti membuka diri pada keselamatan.

Sering kita berkata, “Yang penting hatinya.” Pernyataan ini tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Dalam perjamuan surgawi, seperti dalam pesta pernikahan, busana menjadi simbol kesiapan dan penghormatan. Dalam konteks Ekaristi, busana bukan sekadar pakaian fisik, tetapi juga sikap batin yang tercermin dalam penampilan lahiriah.

Menghadiri Misa dengan pakaian yang pantas bukan soal gaya, tetapi soal hormat. Kita datang bukan ke ruang publik biasa, tetapi ke hadapan Sang Raja. Maka, keterlibatan kita harus total: tubuh dan jiwa, lahir dan batin, niat dan tindakan.

Sebagai rasul awam, kita tidak hanya diundang, tetapi juga diutus. Kita dipanggil untuk menjadi perpanjangan undangan Allah kepada dunia. Dalam bidang sosial, ekonomi, hukum, dan kemasyarakatan, kita harus menjadi saksi bahwa perjamuan Allah terbuka bagi semua orang—terutama mereka yang lemah, tersingkir, dan haus akan kasih.

Kita diundang untuk mempersembahkan diri, seperti Kristus mempersembahkan diri-Nya. Kita dipanggil untuk berbagi, membantu, dan menghadirkan sukacita bagi sesama. Sebab perjamuan Ekaristi tidak berhenti di altar, tetapi harus berlanjut dalam kehidupan sehari-hari.

Perjamuan surgawi bukan sekadar janji masa depan. Ia dimulai di sini dan sekarang, dalam setiap Ekaristi yang kita rayakan. Maka, mari kita tanggapi undangan itu dengan hati yang tulus, niat yang murni, dan penampilan yang pantas. Sebab Sang Raja telah menyiapkan segalanya—tinggal bagaimana kita menanggapi.

Dan ketika kita melangkah keluar dari gereja, mari kita bawa semangat perjamuan itu ke dunia: menjadi kabar sukacita, menjadi busana kasih bagi yang telanjang, menjadi roti bagi yang lapar, dan menjadi undangan hidup bagi mereka yang belum mengenal Sang Tuan Pesta.

 

#perjamuansurgawi #ekaristiadalahpesta #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imanyanghidup #busanaiman #undanganilahi #pewartaankasih #hadirsepenuhdiri

Jumat, 30 September 2011

Pewartaan Lewat Panggung; Ketika Generasi Muda Menyuarakan Iman

️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

KOTA DEPOK
- Minggu pagi, pukul 07.00 WIB, di Gereja Paroki St. Herkulanus, Depok, suasana Misa Ekaristi tampak berbeda. Di antara umat yang hadir, tampak sekelompok siswa dan siswi Katolik dari SMA Negeri 1 Depok mengenakan wajah penuh semangat. Mereka bukan sekadar hadir untuk mengikuti Misa, tetapi juga bersiap untuk sebuah misi pewartaan: mengikuti lomba drama dalam rangka Pesta Syukur Pewartaan Komisi Kateketik Keuskupan Bogor di SMA Regina Pacis, Bogor.

Didampingi oleh Frater Agustinus Deddy Budiawan, para siswa ini membawa semangat “nothing to lose”—meski persiapan mereka minim, bahkan beberapa rekan tidak bisa ikut karena sakit. Namun, semangat mereka tidak surut. Mereka tahu, pewartaan bukan soal kesempurnaan, tetapi soal keberanian untuk bersaksi.

Drama bukan sekadar seni panggung. Dalam konteks iman Katolik, drama adalah media pewartaan yang hidup. Ia menghidupkan pesan Injil dalam bentuk yang bisa dirasakan, dilihat, dan dihayati. Ketika anak-anak muda ini berdiri di atas panggung, mereka bukan hanya berakting. Mereka sedang mewartakan kasih Allah dengan bahasa yang dimengerti generasi mereka.

Rombongan ini terdiri dari wajah-wajah muda dari berbagai paroki:

  • Dari Paroki St. Herkulanus: Dea Irene, Maria Kharisma B.G., Monica Agustin S., dan Yose Gregory Tarigan
  • Dari Paroki St. Paulus: Angela Pingkan Pustika R., Stella Adriana Putri, Stevanny Putri, dan Jonathan Odilo
  • Dari Paroki St. Joannes Baptista: Margaretha Silia K. Herin
  • Dari Paroki St. Matius: Felicius Wayandhana
  • Dari Paroki St. Thomas: Nicolaus Ernest Mamonto

Mereka adalah wajah-wajah muda Gereja yang bersatu dalam semangat kerasulan awam.

Setiba di lokasi lomba, mereka mendaftarkan diri dan mendapat nomor urut dua untuk kategori SMA. Acara ini juga dimeriahkan oleh siswa SD dan SMP se-Keuskupan Bogor, termasuk dari SMP Mardi Yuana Depok. Meski tanpa target juara, mereka tetap tampil dengan sukacita dan optimisme.

Dan benar, seperti kata pepatah: “Rejeki tak akan ke mana.” Dengan segala keterbatasan, mereka justru keluar sebagai juara pertama lomba drama tingkat SMA se-Keuskupan Bogor. Sebuah pencapaian yang bukan hanya membanggakan, tetapi juga menyentuh: bahwa Tuhan bekerja melalui siapa saja yang mau melayani, bahkan dalam kesederhanaan.

Tak hanya itu, OMK Wilayah IV dari Paroki St. Herkulanus juga menyabet juara pertama dalam lomba audiovisual. Sebuah bukti bahwa pewartaan bisa dilakukan melalui berbagai media—panggung, layar, dan hati.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat peristiwa ini sebagai cermin dari harapan Gereja. Anak-anak muda ini bukan sekadar peserta lomba. Mereka adalah pewarta masa kini. Mereka menunjukkan bahwa iman Katolik tidak hanya hidup di altar, tetapi juga di panggung, di sekolah, dan di ruang-ruang publik.

Kita, para orang dewasa, para pendamping, para imam, dan para penggerak komunitas, memiliki tanggung jawab untuk terus mendampingi mereka. Memberi ruang, memberi kepercayaan, dan memberi teladan. Sebab pewartaan bukan hanya tugas para imam, tetapi juga tugas setiap orang yang telah dibaptis—termasuk para pelajar SMA yang berani tampil di atas panggung dengan iman yang hidup.

Proficiat untuk para juara dari SMA Negeri 1 Depok dan OMK Wilayah IV Paroki St. Herkulanus. Kemenangan ini bukan hanya soal piala, tetapi tentang keberanian untuk bersaksi. Semoga semangat ini terus menyala, dan menjadi inspirasi bagi komunitas-komunitas lain untuk terus mewartakan kasih dan cinta Allah dengan cara yang kreatif, kontekstual, dan menyentuh hati.


#pewartaanlewatdrama #kerasulanawammuda #omkberdaya #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imanyanghidup #komisikateketikbogor #pestasyukurpewartaan #omkjuara #panggungpewartaan